Roman
ini disulam dengan kecupan malam, ia bercerita tentang bulan, matahari dan
pergantian antara keduanya.
Sesekali
kita pura-pura tak tahu karena sandiwaranya terlalu berlebihan. Namun kelabu
tak kunjung dilumat matahari.
Aku
menunggu, tentu menunggu halaman terakhir dari roman tebal yang kita tulis
setiap hari.
Aku
tahu, Kita sedang mencari halaman yang hilang, bahkan sebenarnya tidak ada. Tahukah, aku ingin menulis tiga kali mengapa saat
melihat kita lemas tak waras.
*
* *
Mengapa
kita tergesa-gesa menulis roman fatalis ini?
Mengapa
pula kita membacanya berulang-ulang setiap hari sepulang kau menari?
Mengapa
kau memarahi pensil teman kita saat menulis kata per kata, lalu aku dipaksa
membanting buku yang kita tumpuk berminggu-minggu, hingga kau dan aku
bertengkar saat halaman itu tetap saja hilang, atau sebenarnya tak ada?
*
* *
Tiga
mengapa ini ku tulis disampingmu, benar-benar saat bersamamu.
Sesekali
kita terlihat berpandangan, meski pura-pura saja.
Jujur,
Aku sebenarnya melihat keningmu dan kamu diam-diam bergeser sejengkal kebawah;
kau menatap tajam komat-kamit bibirku dengan was-was hingga aku tak berani
menulis mengapaku yang keempat.
Aku
takut kau menantang Tuhan, menuduh aku menulis halaman itu lalu menelannya.
*
* *
Malam
ini tiba-tiba kau menulis beberapa halaman untuk menghibur pembaca di Bumi.
Kau
selipkan apa saja yg kau benci, memutarkan rotasi, hingga matahari kau paksa
terbit diujung barat.
Kau
telah melepaskan dadu, dan aku dipaksa
bertaruh.
Inikah
halaman hilang yg kita inginkan?
Atau
matahari esok akan kembali menelannya, lalu kita bertengkar lagi, menulis lagi,
lalu kembali hilang .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar