Oleh Muflih Hidayat
Tanggal
1 Maret ditetapkan sebagai Hari Kehakiman Nasional. Momen ini sangat menarik
untuk membincang dunia kehakiman di Indonesia, apalagi setelah mencuatnya kasus
KPK-POLRI yang diproses melalui praperadilan. Keputusan hakim Sarpin Rizaldy (SR)
yang mengabulkan gugatan tersangka Komjen Pol Budi Gunawan, memicu kontroversi.
Oleh karena itu Komisi Yudisial sedang menulusuri apakah keputusan SR melanggar
kode etik kehakiman atau tidak. Di lain pihak, putusan tersebut dianggap
sebagai kemenangan POLRI dan membuktikan bahwa KPK ngawur dalam menetapkan tersangka.
Terlepas
dari pro-kontra putusan SR, hakim yang seharusnya menjadi penegak keadilan,
Justru terkesan dijadikan alat manuver serangan politis antar elite negara. Di
tengah maraknya polemik kehakiman seperti ini, ada wacana lama yang kembali
diangkat tentang bagaimana menyikapi kelemahan hukum positif. Yakni, pencarian
keadilan melalui jalan mubahalah.
Istilah
mubahalah mulai tenar saat Anas
Urbaningrum (AU) dijatuhi vonis oleh majelis hakim terkait kasus korupsi
Hambalang. AU menantang majelis hakim untuk melakukan sumpah, bahwa
masing-masing pihak telah melakukan hal yang benar, barangsiapa yang berdusta,
maka ia bersedia menerima laknat Allah. Namun, majelis hakim sama sekali tidak
menghiraukan tantangan AU dan bergegas meninggalkan ruang persidangan.
Tradisi
mubahalah dalam islam memang benar
adanya. Nabi Muhammad pernah mempraktikannya tatkala menghadapi pendeta Nasrani
dalam perdebatan tentang kenabian Isa AS. Hal ini dijelaskan dalam al Quran
surat Ali Imran ayat 61. Di Indonesia, Tradisi seperti ini mirip dengan ritual
sumpah pocong. Yakni sebuah ritual yang dilakukan di masjid, di mana kedua
belah pihak yang berseteru dibungkus dengan kain kafan dan bersumpah bahwa
siapa yang berdusta, maka siap menanggung murka Allah. Pihak yang berdusta
diyakini akan mati secara tragis beberapa hari setelah ritual dilakukan.
Larutnya
kemelut KPK-POLRI memancing beberapa nitizen di sosial media untuk mengusulkan
penyelesaian melalui jalur mubahalah
atau sumpah pocong. Hal ini direspon oleh Mahfudz MD yang dikenal sebagai pakar
hukum dan mantan ketua Mahkamah Konstitusi. Mahfudz sama sekali tidak
membenarkan praktik mubahalah atau sumpah
pocong untuk dilaksanakan dalam sidang resmi. Alasannya, sistem peradilan
Indonesia tidak mengenal mubahalah atau
sumpah pocong, “melainkan melakukan pembuktian melalui proses peradilan, yang
di dalamnya terdapat sumpah” tegasnya.
Sementara itu, vonis
hakim yang dianggap jauh dari spirit keadilan, mendorong AU untuk
menggelontorkan tantangan mubahalah
kepada majelis hakim, jaksa penuntut umum, dan seluruh jajaran KPK yang telah
menyeretnya ke persidangan. AU ingin memohon keadilan kepada Tuhan di saat
pengadilan tak mampu menunaikan tugasnya.
Bagi
penulis, mubahalah atau sumpah pocong
merupakan ritual semata yang secara esensi tidak berbeda dengan sumpah yang biasa
dilakukan sebelum persidangan. Seluruh subjek persidangan disumpah terlebih
dahulu sesuai dengan keyakinannya masing-masing sebelum menyampaikan
pendapatnya. Jika AU meyakini bahwa Allah Maha Adil dan Maha Mendengar, maka
cukuplah sumpah tersebut tanpa harus melalui ritual mubahalah atau sumpah pocong.
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
BalasHapusJika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)