“Syafruddin Prawiranegara”
Oleh: Siti Mahfudzoh
Mahasiswi Perbandingan
Agama, Semester I
Kemerdekaan bangsa Indonesia
tidaklah diraih dengan mudah. Memerlukan perjuangan berpuluh-puluh tahun untuk
mewujudkannya. Selama masa perjuangan itu, sudah tak terhitung putra bangsa
yang harus meregang nyawa dalam upaya mengusir bangsa penjajah dari bumi
Indonesia. Selama masa itu pula sudah tak terhitung materi yang harus
dikorbankan untuk kepentingan perjuangan.
Nyatanya, kemerdekaan
Indonesia baru bisa diraih pada tahun 1945 setelah melewati masa perjuangan
yang amat panjang, yakni setelah bangsa Belanda melepas taring-taring
kekuasaannya selama lebih 3,5 abad ditambah jepang yang berhasil menjajah harta
kekayaan penduduk pribumi, selama 3,5 tahun yang menyakitkan. Dengan kata lain,
kemerdekaan bangsa Indonesia sesungguhnya diraih dengan perjuangan
berdarah-darah yang menyedihkan.
Kini saat bangsa Indonesia
sudah merdeka, kita dihadapkan pada pertanyaan penting, siapakah Pahlawan bangsa
yang pantas untuk kita kenang jasanya?
Tentu jumlahnya lebih dari
jutaan nama. Namun pasti ada beberapa nama untuk kita ingat. Selain nama-nama
tenar seperti Soekarno dan Hatta, masih banyak tokoh penting yang terlibat
dalam lahirnya kemerdekaan Indonesia. seperti seorang presiden yang namanya
tidak tercantum dalam urutan presiden walaupun hanya menjadi Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia, yaitu Syafruddin Prawiranegara. tapi ia sudah
menorehkan jiwa dan raganya untuk Indonesia yang pada saat itu sangat amat
genting, Namun sayang nama ini nyaris tidak terdengar dikalangan kaum muda pada
saat ini, namanya begitu saja dilupakan tidak melihat seberapa beratnya
jasa-jasa yang telah diberikan pada saat ia menjadi presiden walaupun hanya 8
bulan. Dia adalah Putra Bangsa yang berasal dari Banten, Tidak terlalu luas
untuk wilayah Indonesia mengetahui tentang beliau. Tapi adakah penduduk Banten sendiri mengetahui
bahwa daerahnya pernah menjadi kebanggaan memiliki putra bangsa seperti
Syafruddin Prawiranegara? tentu ada yang mengetahui, tetapi hanya sebagian
kecil. Entah sejarah yang tak sampai atau mungkin tidak ada nama beliau dalam
sejarah. Dia adalah pahlawan yang terlupakan.
Maka dari itu Penulis akan membahas
tentang pahlawan yang terlupakan ini, yaitu Syafruddin Prawiranegara.
Syafruddin Prawiranegara merupakan pejuang pada masa
kemerdekaan Republik Indonesia yang lahir di Serang, Banten, 28 Februari 1911. Beliau menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah
Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan RI di Yogyakarta ke tangan Belanda. Tepat saat peristiwa
Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948. Tokoh yang lahir di Anyar Kidul ini lebih akrab disapa “Kuding” oleh keluarga maupun kawan-kawannya. Dalam
darahnya, mengalir campuran Banten dan Minang. Buyutnya dari pihak ayah, Sutan
Alam Intan, masih keturunan raja Pagaruyunh di Sumatera Barat yang dibuang ke
Banten karena terlibat Perang Padri. Sutan Alam menikah dengan putri bangsawan
Banten, melahirkan kakeknya yang memiliki anak yang bernama Raden Arsyad
Prawiraatmadja. Ayah Syafruddin bekerja sebagai jaksa, tetapi cukup dekat
dengan masyarakat sehingga dibuang oleh Belanda ke Jawa Timur.
Sebagai keturunan bangsawan, Syarifuddin memperoleh
pendidikan formalnya dengan baik. Beliau menempuh pendidikan Europeesche
Lagere School (ELS) pada tahun 1925, dilanjutkan ke MULO di Madiun pada tahun
1928, dan Algemene Middelbare School (AMS) di Bandung pada tahun 1931. Beliau mengambil pendidikan tinggi di Rechtshoogeschool
(sekolah tinggi hukum) di Jakarta (sekarang Fakultas Hukum di Universitas
Indonesia) pada tahun 1939, dan berhasil meraih gelar Meester in de Rechten
(saat ini setara dengan magister hukum). Selepas meraih gelar Meester,
Syafruddin yang dikenal sebagai kutu buku ini pernah bekerja sebagai pegawai
siaran radio swasta (1939-1940), petugas Departemen Keuangan Belanda
(1940-1942), dan pegawai Departemen Keuangan Jepang.
Pascakemerdekaan RI, Syafruddin yang dimasa mudanya sudah akrab
dengan berbagai organisasi pergerakan nasional menjadi anggota Badan Pekerja
Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) pada tahun 1945. Badan ini bertugas
sebagai badan legislatif di Indonesia sebelum terbentuknya MPR dan DPR. KNIP
diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN).
Ketika Belanda melakukan Agresi Militer II di
Indonesia pada tanggal 19 Desember 1949, pada saat itu Soekarno-Hatta
dan kawan-kawan sedang ditawan oleh Belanda, kemudian Soekarno-Hatta memutuskan
untuk memberi mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk mendirikan
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang pada saat itu pusat pemerintahan
berada di Yogyakarta, Soekarno-Hatta sempat mengirimkan telegram yang berbunyi,
“Kami, presiden Republik Indonesia Republik Indonesia memberitahukan bahwa
pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam enam pagi Belanda telah mulai
serangannya atas ibu kota Yogyakarta. Jika dalam keadaan pemerintah tidak dapat
menjalankan kewajibannya lagi, kami mengusahakan kepada Mr. Syafruddin
Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di
Sumatera.”
Namun sangat disayangkan, telegram itu tidak sampai ke Bukit Tinggi, Yogyakarta (posisi Syafruddin saat itu) karena sulitnya sistem
komunikasi. Namun, ketika mendengar berita bahwa tentara Belanda telah
menduduki ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pemimpin pemerintahan
RI, pada tanggal 19 Desember sore hari, Syafruddin segera mengambil inisiatif senada. Yaitu mendirikan Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia. Dalam rapat di sebuah
rumah dekat Ngarai Sianok, Bukit Tinggi,
19 Desember 1948, ia mengusulkan pembentukan suatu pemerintahan darurat (emergency
government). Gubernur Sumatera Utara, Teuku Muhammad Hasan menyetujui usul
tersebut demi menyelamatkan RI yang berada dalam bahaya.
Atas usaha Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang di prakarsai oleh
Syafruddin Prawiranegara, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. kemudian
adanya Perjanjian Roem-Royen mengakhiri upaya Belanda dalam Agresi Militernya.
Akhirnya, soekarno dan kawan-kawan dibebaskan hingga bisa kembali ke
Yogyakarta. Dan pemerintahan Pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI
dengan Pesiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta dan sejumlah menteri kedua
kabinet. Serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi terjadi pada
tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta.
Selama 8 bulan, ia menjadi
presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, walaupun singkat, Ia tengah
berhasil meredamkan Agresi Militer Belanda II melalui Perjanjian Roem-Royen.
Kiprahnya sebagai pahlawan bangsa tidak diragukan lagi, sudah jelas beliau
patut dikenang jasanya dan dicatat dalam sejarah.
Selain itu, Sebagai aktivis, karir
politik Syafruddin memang terbilang cemerlang. Tercatat, ia pernah menduduki
beberapa jabatan penting di pemerintahan RepublikIndonesia. Ia pernah ditunjuk
pemerintah Soekarno untuk menempati jabatan Wakil Menteri Keuangan pada 1946
dan Menteri Kemakmuran pada 1947. Pada saat masih menjabat sebagai Menteri
Kemakmuran inilah terjadi Agresi Militer Belanda II 1948, dan menyebabkan
terbentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Setelah menyerahkan kembali kekuasaan menjadi
presiden PDRI, Syafruddin menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri RI pada 1949
dan Menteri RI pada 1949 -1950. Selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, kiprahnya dalam dunia
keuangan sangat berperan penting sehingga pada Maret 1950, ia melaksanakan
pengguntingan uang dari nilai 5 rupiah ke atas sehingga nilainya tinggal separuh
yang pada saat itu sedang terjadi Krisis Moneter (Krismon), tidak sedikit yang
banyak menimbulkan pro dan kontra, namun Syafruddin tetap teguh dalam kebijakan
yang digagasnya, karena demi Krisis moneter tersebut berkurang. Kebijaksanaan moneter
yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan “Gunting Syafruddin”.
Pada tahun 1951, Syafruddin
menjabat sebagai Gubernur Bank Sentral Indonesia yang pertama. Sebelumnya, ia
adalah Presiden Direktur Javasche Bank yang terakhir yang kemudian diubah
menjadi Bank Sentral Indonesia.
Ketika pada awal tahun 1958,
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) berdiri. Hal ini akibat
ketidakpuasan terhadap pemerintah karena ketimpangan-ketimpangan sosial yang
terjadi dan pengaruh komunis (terutama PKI) yang semakin menguat. Syafruddin
diangkat sebagai perdana menteri PRRI dan membentuk kabinet tandingan sebagai
jawaban atas dibentuknya kabinet Ir.Juanda di
Jawa. Kabinet PRRI berbasis di Sumatera Tengah. PRRI masih mengakui
Soekarno sebagai presiden PRRI karena diangkat secara konstitusional.
Pada bulan Agustus 1958,
perlawanan PRRI dinyatakan berakhir dan pemerintah pusat di Jakarta berhasil
menguasai kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya bergabung dengan PRRI. Keputusan
Presiden RI No. 449/1961 menetapkan pemberian amnesti dan abolisi bagi
orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan, termasuk PRRI yang perdana
menterinya adalah Syafruddin Prawiranegara.
Kiprahnya dalam dunia politik
amat begitu besar, menurut hemat penulis, PRRI tidak layak di cap sebagai
pemberontak karena mencoba menghilangkan pengaruh-pengaruh komunis dalam
pemerintahan. Dan seharusnya dianggap sebagai Pelopor Upaya Pembersihan PKI dalam
pemerintahan. Hal-hal ini perlu di jadikan
pelajaran atas apa yang seharusnya apresiasi yang diberikan.
Setelah bertahun-tahun
berkarir di dunia politik, Syafruddin akhirnya memilih berdakwah sebagai
kesibukan masa tuanya. Ternyata, hal itu tidak mudah. Berulang kali ia dilarang
naik mimbar karena cap-an Pemberontak PRRI. Pada Juni 1985, ia diperiksa
sehubungan isi khutbahnya pada Hari Raya Idl Fitri 1404 H di Masjid Al-A’raf,
Tanjung Priok, Jakarta.
“Saya ingin mati didalam Islam, dan ingin
menyadarkan bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada
Allah,” ujar Syafruddin mengenai aktivitasnya.
Ditengah kesibukan sebagai mubaligh, syafruddin
masih sempat menyusun buku Sejarah Moneter dengan bantuan Oei Beng To, direktur
utama Lembaga Keuangan Indonesia.
Dalam kesibukan berdakwahnya, Syafruddin
Prawiranegara meninggal pada 15 Februari 1989 dan dimakamkan di Tanah Kusir
Jakarta Selatan pada usia 77 tahun.
Sangat ironis memang, seorang pahlawan yang mati-matian
memerjuangkan bangsanya demi kemerdekaan yang sebenarnya, di judge sebagai pemberontak, bahkan
berdakwahnya pun menjadi kecaman yang tidak dibenarkan. Entahlah, kekuatan pada
waktu itu mungkin terlalu lemah untuk melawan kecaman dan judge-an.
Penulis mendoakan semoga meninggalnya Syafruddin
dalam keadaan Syahid, sehingga bisa mencapai surga-Nya Allah. Allah mengetahui
apa yang tidak ketahui.
Penulis berharap semoga semakin banyak yang
mengetahui kedudukan Syafruddin yang sebenarnya, bukan hanya untuk orang
Banten, tetapi untuk seluruh penduduk Indonesia. dengan selalu membaca
sejarah-sejarah yang masih tersingkap dalam kemisteriusan sejarah yang ada
sekarang dengan yang ada pada zaman dahulu. Sehingga menjadi suatu keniscayaan
kecaman Syafrudddin sebagai “Pemberontak” itu dihapuskan. Karena seperti apa yang dikatakan Soekarno
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya (Jas Merah).”
Dan penulis juga berharap, maksimal, Syafruddin Prawiranegara ini terdaftar
dalam urutan ‘Mantan Presiden’ melihat perjuangan dan kegigihan beliau yang
telah Penulis ungkapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar