Oleh:
Hendry Mohammad
I
Lagi-lagi
kamu tersenyum. Tulus, terasa. Sebagai penikmat kopi dan penggiat diskusi,
tentunya kamu sangat paham, bahwa pesakitan seperti aku harus sering-sering
disiram dengan senyum lebar untuk menyemangati hidup. Terimakasih kamu, salam
buat yang sedang menyala.
II
Mestinya
kita belajar untuk lebih cinta pada kesederhanaan, pada tatanan hidup yang
lebih menghargai persamaan, anti todong-menodong, juga saling menyalahkan.
Tatap dan raut muka teduh begitu sungguh sangat mahalnya di sini. Gusti,
ampunilah preman di depanku ini.
III
Di
ujung persimpangan jalan. Selain buku dan kamu, yang lain kurang begitu berarti
buatku, manisku. Engkau yang aku cita-citakan.
IV
Seperti
Waraqah bin Naufal, aku membisikimu tentang petunjuk hidup di sebuah malam yang
tersudut sunyi. Mengertilah ketenangan jiwaku, engkau yang aku yakini sebagai
penyejuk saat jalanan menjadi sepi.
V
Aku
kepadamu seperti pijar gulma yang meletup-letup di ujung bukit. Kadang berkelok-kelok,
sampai rasanya aku tersudut di ruang sepi. Kadang pula aku seperti berjalan
dihamparan tanah dan rerumputan luas dengan binar muka yang sumringah tentu
saja. Hidupku, Tabik !!
VI
Malam
ini Muhammad ke langit, lusa nanti giliran Isa. Pekan ini Tuhan sungguh sibuk.
VII
Pagi
dengan segelas kopi hangat, lalu memulai renungan terhadap lembaran buku,
sangat lebih mengasyikkan daripada mantengin berita pen-capresan dari media
jahat yang sarat bias tak tentu objektifitas. Kopi pagi ini, membawa aku pada
renungan bahwa islam adalah fitrah kita.
VIII
Di
ujung waktu sana, saya selalu yakin kalau masih ada cahaya. Untuk bangsa kita,
maupun untuk kita berdua #KegelisahankuMingguIni.
IX
Demokrasi
kita seperti tai ayam. Bukan mengutuk kegelapan, tapi mencerna kenyataan yang
cendung menghangat awal-awal lalu mendingin kemudian. Semoga yang seperti tai
ayam itu cepat-cepat mendewasakan. Hidup petani ! Hidup juga buruh ! Salam pada
tanah di rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar