Oleh: Ikhsan Yaqub
“Kita
telah gagal, bahkan gagal sebelum mengetahui apa itu keberhasilan!”. Kira-kira
seperti itulah suara-suara parau yang ku dengar dari mulut-mulut asam orang
pojokan. Tatapan-tatapan kosong “khas” orang pojokan di siang hari (entah apa
yang mereka pikirkan; kelaparan atau mungkin kasmaran) seolah menjadi pemanis
tumpahan kopi di atas “lantai pengetahuan” itu.
Menjelang
sore, pojokan pun sudah mulai ramai oleh orang-orang penghamba absen, dihiasi
ceng-cengan yang juga absenistik. Sesekali topik dialihkan kepada pilpres,
cinta yang tak sampai, piala dunia, puasa, RAK (Ssst..), KKN, lebaran, dan
aforisme-aforisme pojokan lainnya. Indah sekali, mengiringi keindahan mendung
di akhir juni Ushuluddin.
Namun
dibalik keindahannya itu, apa sebenarnya yang mereka tunggu? Hey, tunggu dulu!
Lantas bagaimana aku? Apa yang aku tunggu bersama mereka disini? Bersama
orang-orang “neo-pojokan” ini? Orang-orang yang kehilangan induknya, atau telat
menjadi induk, atau mungkin sudah menemukan induk baru? entahlah.
Aku
dengar mereka menunggu kesepakatan, kesepakatan apa? Lantas apakah aku bagian
dari kesepakatan itu, sehingga aku masih duduk disini?; menunggu. Padahal
anomali-ku atas isu-isu ini sudah memuncak, sementara orang-orang lewat
men-generalisirku bahwa aku bersama mereka; menunggu.
Aku
juga dengar omongan “bubarkan saja pojokan”, dengan dalih tak ada kajian?
Apanya yang akan dibubarkan? Lantas apakah aku juga bagian dari kebubaran itu?
Menurutku tak usah dibubarkan pun realitanya memang sudah bubar!
Neo-Pojokan, sejatinya memang tak ada
lagi kumpulan yang bercerita tentang kebenaran, tak ada lagi permainan menebak
kemauan Tuhan. Tak ada lagi, sosok?
Jawablah
apa yang tidak pernah aku pertanyakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar