Oleh: @romansah_92
Judul Buku : TRADISI ISLAM Peran
dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia
Penulis : Dr. Nurcholish Madjid
Editor : Kasnanto
Penerbit : Dian Rakyat & Paramadina, 2008
Tebal : 257 halaman
Indonesia sebagai negara
Muslim terbesar di dunia, berhasil menganut sistem demokrasi modern. Bila
dibandingkan dengan negara-negara Muslim lainnya, seperti di Timur-Tengah, dan
bahkan negara non Muslim seperti Korea Utara, demokrasi di Indonesia jauh lebih
maju dari mereka. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari sumbangsih tradisi Islam
yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia.
Dalam pandangan mendiang
Nurcholish Madjid, yang akrab dipanggil Cak Nur, keislaman, keindonesian dan
kemodernan — yang notabene berasal dari tradisi yang berbeda — bisa berjalan
berbarengan dan saling bersinergi sebagaimana bisa dilihat di Indonesia kontemporer.
Konvergensi yang demikian itu dimungkinkan karena karakter ajaran Islam yang
‘egaliter’ dan ‘kosmopolit’ bisa menjadi penyokong bagi pembangunan suatu
negara, seperti Indonesia.
Setidaknya itulah garis
besar dan pesan kuat yang saya tangkap dan pahami setelah membaca buku Tradisi
Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia karya Nurcholish
Madjid, terbitan Dian Rakyat (2008). Buku setebal 257 halaman ini terdiri dari
delapan belas tulisan dan dibagi ke dalam empat bab: 1) Kajian Ilmiah Islam
Indonesia; 2) Peran Umat Islam Indonesia Menyongsong Era Tinggal Landas; 3)
Dimensi Sosial Budaya Pembangunan di Indonesia; dan 4) Demokrasi di Indonesia.
Dari bab-bab tersebut,
meski banyak memberikan pengetahuan dan analisis yang luas tentang Islam dan
pembangunan di Indonesia, namun secara skematis buku ini bisa diringkas ke
dalam tiga pokok utama. Pertama, tradisi Islam yang egaliter dan kosmopolit
mudah diterima di Tanah Air. Kedua, masih berkaitan dengan yang pertama,
karakter Islam yang demikian itu bisa dengan mudah menopang pembangunan di
Indonesia. Dan ketiga perihal perkembangan dan tantangan demokrasi (Pancasila)
di Tanah Air yang kaidah-kaidahnya dirujuk pada sumber-sumber tradisi
Islam.
Tradisi Islam yang Kosmopolit
Dengan argumentasi yang
meyakinkan, Cak Nur memulai pembahasan tentang tradisi Islam yang kosmopolit
seraya memperlihatkan bukti-bukti doktrinal dan historis Islam, baik ketika
masuk ke Indonesia maupun pada masa-masa awal kelahirannya. Bagi Cak Nur,
kelahiran Islam membawa terobosan baru bagi masyarakat Arab ketika itu, baik
secara doktrinal maupun sistem politik yang diwariskannya. Secara doktrinal,
Islam mematahkan sistem peribadatan yang jamak digunakan dalam tradisi
masyarakat Arab sebelumnya, yaitu melalui pemujaan terhadap berhala-berhala
kecil. Dengan memperkenalkan konsep ‘kepasrahan’ (tauhid) hanya kepada Tuhan
dan bukan kepada yang lain (berhala, manusia dan lain-lain), Islam menempatkan
manusia setara dengan manusia lainnya, dan tak boleh tunduk terhadap mahluk di
luar dirinya, kecuali hanya pada Tuhan (Madjid, 2000). Ajaran Islam yang
demikian memperlihatkan bahwa semangat egalitarianisme dan prinsip
kosmopolitanisme menjadi bagian tak terpisahkan dalam ajaran Islam.
Semangat egalitarianisme
Islam yang lahir di tanah Arab ketika itu semakin lengkap karena dibarengi
dengan penciptaan tradisi politik ‘modern’ yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad.
Menurut Cak Nur, politik yang diwariskan oleh Nabi Muhammad merupakan terobosan
paling modern pada zamannya. Dengan merujuk pada studi-studi yang dilakukan
oleh para ahli seperti Robert N. Bellah, Cak Nur memperlihatkan kemodernan
warisan politik Rasulullah, yaitu kesediaan untuk tidak menunjuk khalifah atau
pemimpin setelahnya berdasarkan garis keturunan, yang waktu itu sangat lazim
dilakukan oleh suku-suku lokal. Bahkan, demikian Cak Nur, politik yang
diwariskan Nabi Muhammad terlalu modern untuk zamannya sehingga infrastruktur
sosial masyarakatnya tak bisa menopang dengan baik.
Untuk membuktikan warisan
politik modern Nabi Muhammad, Cak Nur
mengutip dengan cukup panjang tulisan dari Robert N. Bellah yang
membahas tentang itu:
"Tidak ada keraguan
bahwa di bawah (Nabi) Muhammad, masyarakat Arab telah membuat lompatan ke depan
yang menakjubkan dalam kecanggihan sosial dan kemampuan politik. Ketika
struktur mulai terbentuk di bawah Nabi kemudian dikembangkan oleh
khalifah-khalifah pertama untuk memberi prinsip keorganisasian bagi suatu imperium
dunia, hasilnya adalah sesuatu yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern. Ia
modern dalam tingkat yang tinggi dari komitmen, keterlibatan, dan partisipasi
yang diharapkan dari semua susunan keanggotaan masayarakat. Ia modern dalam
keterbukaan dalam posisi kepemimpinannya terhadap kemampuan yang diuji berdasar
alasan-alasan yang universalistik dan dilambangkan dalam usaha melembaga-kan
suatu pinpinan tidak berdasar warisan". (hal. 83)
Islam yang berkarakter
egaliter dan kosmpolit seperti telah dibahas, menjadi salah satu alasan kuat
kenapa agama ini bisa masuk dan diterima dengan mudah di Nusantara. Sebelum
Islam menyebar ke Indonesia, agama Buddha dan Hindu, dengan Sriwijaya dan Majapahit
sebagai simbolnya, menjadi salah satu agama yang dianut mayoritas penduduk
Nusantara. Akan tetapi, ketika Islam masuk melalui Selat Malaka dan daerah
pantai-pantai lainnya, secara drastis ia menyebar, diterima dan menggantikan
posisi mayoritas.
Seperti pada saat
kelahirannya di tanah Arab, masuknya Islam ke Indonesia juga ditandai dengan
perubahan revulusioner untuk masa itu. Semangat revolusioner dari masuknya
Islam ke Indonesia setidaknya bisa dilihat dari dua hal. Pertama, ialah
sumbangsih Islam sebagai agama egaliter radikal, berakibat berhentinya sistem
kasta dalam masyarakat Hindu di Indonesia dan penghentian praktik sati (sebuah
tradisi yang mengharuskan seorang istri terjun ke dalam api mengikuti suaminya
yang wafat). Kedua, Islam dengan kesadaran hukumnya yang amat kuat telah
melengkapi penduduk negeri ini, khususnya para pedagang, dengan sistem hukum
yang berjangkauan internasional, yang mampu mendukung kegiatan perdagangan
dalam konteks ekonomi global yang saat itu sedang berada dalam kekuasan Islam
(hal. 17).
Menurut Cak Nur, kendati
dua kerajaan di Nusantara (Sriwijaya dan Majapahit) merupakan salah satu
kerajaan besar di muka bumi, tetapi dalam konteks perdagangan internasional ia
justru kalah dengan kemaha-rajaan mesiu (gunpowder kingdoms) Islam, seperti
Mogul di India, Safawi di Persia, dan Turki Utsmani atau Ottoman di Turki (hal.
16). Dalam bacaan saya, fakta historis ini sengaja diangkat Cak Nur dalam buku
ini untuk memperlihatkan bahwa semangat egaliter dan kompolitanisme menjadi
bagian tak terpisahkan dari agama Islam. Dengan wataknya yang egaliter dan
kosmopolit itulah, Cak Nur ingin mengatakan bawah sejak semula Islam menyokong
ide-ide kemajuan seperti pembangunan, industrialisasi dan demokrasi.
Pembangunan di Indonesia
Berpijak pada karakter
Islam yang egaliter dan kosmpolit seperti telah dibahas, maka tak ada alasan
bagi kaum Muslim Indonesia untuk tidak berkontribusi positif pada pembangunan
negaranganya. Bahkan Cak Nur menuntut, cendikiawan Muslim Indonesia, tidak dapat
terelakkan untuk ikut meratakan jalan terjadinya proses-proses penerimaan industrialisasi di negeri ini. Akan tetapi
Cak Nur menyadari, bahwa cendekiawan Muslim masih memiliki trauma-trauma
sejarah dalam kaitannya dengan Barat, sebagai tempat lahirnya modernitas dan
rujukan utama teknikalisasi dan industrialisasi (hal. 82).
Namun demikian,
trauma-trauma seperti itu bisa diatasi dengan menumbuhkan kesadaran pada
sebanyak mungkin kaum Muslim tentang adanya hubungan organik antara Islam
(masa) klasik dengan modernitas. Hubungan organik ini terdapat pada peringkat
doktrinal maupun pada peringkat historis Islam seperti telah disebutkan di
bagian awal, yaitu Islam yang berwatak egaliter dan kosmopolit. Karena menurut
Cak Nur, dalam beberapa hal zaman modern ini merupakan pengulangan dari
nilai-nilai yang sudah ada pada Islam (zaman) klasik. Dengan mengutip seorang
sejarawan, Marshal Hudgson, Cak Nur menegaskan:
"Dunia
Islam—disebabkan lebih kosmopolitan dalam zama-zaman Tengah—Islam dibanding
dengan Barat-mengandung lebih banyak persyaratan untuk kalkulasi bebas dan
inisiatif pribadi dalam pranata-pranantanya. Sungguh banyak peralihan-peralihan
dari adat sosial ke kalkulasi pribadi yang di Eropa merupakan bagian dari
“modernisasi”-nya Perubahan Besar (tranmutetion) mengandung suasana membawa
Barat lebih dekat pada apa yang sudah sangat mapan dalam tradisi Dunia
Islam". (hal 84)
Bagi Cak Nur, kesadaran
historis hubungan organik antara Islam dan modernitas perlu diangkat dan
disebarluaskan kepada lebih banyak kaum Muslim. Karena dengan begitu, kaum
Muslim akan memiliki rasa percaya diri yang lebih tinggi dalam menghadapi
berbagai permasalahan modernisasi, teknikalisasi, dan industrialisasi. Dengan
rasa percaya diri ini maka kaum Muslim juga lebih berpeluang menyumbang secara
positif dan konstruktif dalam pembangunan dengan menempatkan
persoalan-persoalan yang dibawa modernitas dengan proposional dan melihat dari
segi-segi positifnya.
Kesadaran historis
tentang hubungan organik antara Islam dan modernitas itu sedikit demi sedikit
sepertinya sudah mulai bangkit. Setidaknya itu diperlihatkan oleh elit-elit
kaum Muslim ketika merumuskan dasar negara ini, yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Para elite politik umat Islam tidak memaksakan kehendak untuk menjadikan Islam
sebagai ideologi, tetapi meski mereka berat hati, mereka tetap menyepakati
Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia yang sudah final. Kenyataan bahwa
mereka menerima kesepakatan ideologi tersebut dan tidak melakukan
tindakan-tindakan makar, merupakan kontribusi yang nyata dari kaum Muslim dalam
pembangunan Indonesia. Kita tidak membayangkan bila elite kaum Muslim tidak mau
menerima Pancasila, dan tetap bersikukuh panda ideologi Islam. Mungkin negara
ini mengalami konflik berkepanjangan.
Kendati sebagian elite
politik kaum Muslim melihat Islam tetap lebih unggul dibandingkan dengan
Pancasila, namun bagi Cak Nur, Pancasila sudah mantap yang kedudukannya
merupakan titik temu (common platform/kalimatun sawa) antara berbagai komunitas
masyarakat yang berbeda atau plural. Dan pencarian titik-temu yang demikian,
menurut Cak Nur, di dalam Islam bukan hal baru dan sudah terjadi sejak dulu (h.
23-24).
Demokrasi di Indonesia
Dengan Pancasila sebagai
ideologi, negara Indoensia menganut sistem demokrasi dalam mekanisme dalam
pemilihan pemimpinnya, sesuai dengan sila keempat dalam Pancasila. Dalam
konteks pembangunan demokrasi ini, Cak Nur berpendapat bahwa demokrasi adalah
sebagai “cara” men-capai tujuan, bukan untuk “tujuan” itu sendiri. Karena itu,
Cak Nur menambahkan, demokrasi tidak bisa diterapkan begitu saja secarea kaku
dan “dogmatis,” apalagi bila diperkirakan justru mengganggu hasil-hasil positif
perkembangan negara yang telah dicapai (hal. 120).
Disadari atau tidak,
demokrasi adalah sebagai “cara” atau “jalan” akan menentukan kualitas tujuan
yang dicapai oleh suatu masyarakat. Suatu tujuan yang dicapai secara demokratis
akan memiliki kualitas keabsahan yang lebih tinggi daripada yang dicapai secara
tidak demokratis. Maka berarti antara “cara” dan “tujuan” pun tidak bisa
sipisah-pisahkan satu dari yang lain.
Tetapi suatu rintangan
dalam masayarakat demokratis dilahirkan dalam musyawarah dan pembahasan, yang
hasil dan mutunya tergantung kepada para peserta yang taat dan setiap pada
aturan musyawarah dan pembahasan. Dalam masyarakat-masyarakat yang diatur oleh
prinsip-prinsip musyawarah, tidak ada “kebenaran mutlak” ataupun dalil-dalil
mati (yang tidak bisa ditawar-tawar) yang menentukan tingkah laku manusia.
Untuk meneguhkan pendapatnya ini, Cak Nur mengutip perkataan Imam Abu Hanifah,
“pendapat kita benar tetapi masih mengandung kemungkinan salah, dan pendapat
orang lain salah tetapi masih mengandung kemungkinan benar” (hal. 225).
Terkait dengan demokrasi
di Indonesia, Cak Nur juga membahas tentang pemilihan umum, prinsip persamaan
dan komponen-komponennya, partai politik, penting oposisi, dan prinsip-prinsip
demokrasi lainnya. Penting juga dicatat, Demokrasi Pancasila menurut Cak Nur
juga menjamin posisi minoritas kaitannya dengan hak-hak mereka dalam konteks
kenegaraan. Dalam konteks kemajemukan ini, ia sangat mengapresiasi para
pendahulu kita yang merumuskan “Bhinneka Tunggal Ika”, sebagai salah satu
prinsip menjaga pluralitas dalam demokrasi.
Catatan Penutup
Sebagai catatan penutup,
Cak Nur, sebagai seorang cendekiawan Muslim terkemuka di Indonesia, melalui
buku ini ia mampu memperlihatkan dengan sangat baik bahwa antara tradisi Islam,
modernitas, dan keindonesiaan bisa berjalan berbarengan sebagaimana tercermin
dalam Indonesia kini. Bagi Cak Nur, watak Islam yang egaliter dan kosmopolit
bisa berkonstribusi secara positif pada pembangunan dalam skala yang lebih
luas, baik dalam konteks nasional maupun dalam konteks global.
*Dimuat dalam portal online http://inspirasi.co/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar