BREAKING

Rabu, 17 Agustus 2011

“Tak Gendong” Spirit Bernegara


Oleh : Ghulam Mubarok
Untuk Melihat Profil Penulis Silahkan klik disini
“Tak gendong kemana-mana...enak dong manteb dong...”merupakan sepenggal syair dari lagu “tak gendong” ciptaan Mbah Surip, yang beberapa waktu lalu dipanggil oleh sang pencipta. Syair lagu ini sepintas terkesan agak naif. Dengan lantunan suara yang polos mengalir begitu saja, sepintas terdengar agak konyol. Namun siapa sangka kalau kenaifan dan kekonyolan lagu tak gendong ini telah mengingatkan kita akan sesuatu yang telah lama hilang, “ketulusan”. Sikap tulus dalam kapasitas sebagai bangsa.

Ya, ketulusanlah yang mendasari syair lagu “tak gendong”nya Mbah Surip. Seperti yang ditestimonikan oleh salah seorang sahabatnya di salah satu stasiun tv, inspirasi syair ini muncul ketika Si Mbah melihat sebuah lukisan seorang ibu menggendong anaknya. Sebuah lukisan tentang ketulusan, sumber inspirasi Mbah Surip yang dikenal apa adanya.

Ketulusan memang telah hilang dari bangsa ini. Jika memang harus ditanyakan, apa ukuran dari ketulusan? Bagaimana seseorang bisa disebut tulus? Atau mungkinkah kita bisa berbuat tulus ditengah kehidupan sosial yang mulai menyesuaikan dengan dantum Thomas Hobes homo homini lupus? Dari perspektif pertanyaan ini, filosofi lagu tak gendong lebih berdimensi sosial-politik ketimbang cinta melankolik yang vulgar.

Hari ini, harapan untuk hidup sebagai anak bangsa mulai menipis. Jika di era pra-reformasi banyak orang mencita-citakan demokrasi sebagai tatanan yang paling sempurna, karena waktu itu konteksnya pemerintahan otoriter. Hari ini prosedur politik yang dimaksud sudah terwujud. Pemimpin nasional dipilih oleh rayat via pemilihan langsung, mengesankan vox populi vox dei telah terjadi. Begitu juga dengan anggota parlemen, diangkat melalui pemilihan langsung. Namun harapan untuk hidup yang lebih baik masih sekedar harapan. Justru asumsi umum cenderung mengatakan “lebih enak di jaman pak Harto, harga-harga sembako masih murah”.

Agak sulit sebenarnya menterjemahkan arti “ketulusan” di tengah situasi yang saling memangsa. “Tak gendong” terkesan konyol karena tidak punya apa-apa kok berani menawarkan bantuan? Di gendong lagi. Terlebih, sembari menawarkan bantuan yang ala kadarnya itu, “sang penggendong” mencibir berbagai fasilitas yang dianggap mapan. “Daripada kamu naik pesawat kedinginan mendingan tak gendong toh, enak toh, mateb toh, ayo mau kemana..” Jangan-jangan ketulusan itu sendiri secara sensual sering terlihat konyol memang.

Metafor tukang ojek dan pesawat, mengandaikan bahwa dibalik tatanan yang dianggap mapan ini tersimpan persoalan sosial yang akut. Di balik prosedur demokrasi kita yang “mapan” ini, sebenarnya tak lebih dari sekedar bahan cibiran, “demokrasi kaum elit”. Warga negara sebagai pemilih, “kedinginan” karena tidak lagi punya uang untuk membeli baju. Lebih dari itu, tidak ada yang bisa dipercaya untuk menjamin mereka mampu membeli baju. Lantas, “daripada kamu naik pesawat kedinginan mendingan tak gendong toh, enak toh, mateb toh, ayo mau kemana..”.

Infrastruktur pembangunan mulai mapan, namun tanpa keterlibatan dari warga negara secara merata. Akibatnya ketimpangan terjadi, bahkan menjadi bahan intertainmen di televisi yang bisa dinikmati sehari-hari.

Saya pribadi tidak mencoba untuk berpretensi sebagai seorang moralis yang mencoba menterjemahkan arti ketulusan dari syair Si Mbah yang tulus ini. Tapi setidaknya Mbah Surip mengingatkan saya pada filsafat politik yang sempat dilantunkan oleh locke bahwa untuk membentuk sebuah pemerintahan yang berdaulat (sovereignty of power) dibutuhkan hubungan saling percaya antara penguasa dan rakyat, via social contract. Locke juga mengatakan bahwa pada dasarnya manusia itu baik, pikirannya murni (tabula rasa) seperti kertas putih yang masih baru. Begitu mengenal kekuasaan dia mulai pula mengenal yang namanya eksploitasi dan penindasan. Social contract-nya locke, mengajukan suatu tawaran untuk menjaga manusia sebagai entitas yang tetap murni, tetap baik.

Mbah Surip mencoba menggelitik telinga kita melalui drama lagu “tak gendong”, karena drama bernegara hari ini mulai menggelitik akal sehat kita. Aturan-aturan main tak lagi diindahkan, KPU dinilai tidak independent, keputusan MK digugat, perebutan jabatan menteri, dan suap yang tak kunjung henti. Demokrasi mengandaikan adanya prosedur yang bisa menjamin keberadaan bersama, juga kepentingan bersama. Lantas apa lagi yang bisa diharapkan ketika satu per satu dari setiap prosedur tersebut dimainkan rame-rame, jika kepentingan hanyalah bahasa elit yang melangit?

Kembali kepada asal yang murni menjadi kebutuhan mendesak. Pengalaman pertama sebagai manusia agaknya bukan sekedar tubuh hangat sang ibu, seperti yang dibilang Freud. Tapi ketulusan ibu untuk menggendong dan menyusui kita. Dari ketulusan itu, kita percaya bahwa dialah ibu kita. Dari ketulusan perjuangan founding father Indonesia, kita percaya bahwa mereka memang pahlawan, dan negara ini telah berdiri.

Tapi hari ini apa yang harus membuat kita percaya bahwa si anu memang wakil kita di legislatif, si ini memang pemimpin kita di kabinet, atau si itu memang mampu memegang kepercayaan ini? Atau untuk pertanyaan yang agak gila, apa yang membuat kita percaya sampai hari ini bahwa Indonesia memang masih bangsa dan negara kita, sedangkan para pemimpin nasionalnya tidak lagi bisa dipercaya, ketika kepentingan bangsa hanyalah bahasa bibir untuk segelintir orang, dan ketika rombongan TKI dan TKW mencari penghidupan di “negri orang”?

Sayangnya, dari gempuran persoalan berbangsa dan bernegara ini baru lagunya Mbah Surip yang bisa menghibur. Mungkin lagu ini sedikit banyak juga ikut coba-coba menjawab 1001 persoalan tersebut. Ketulusan sebagai basis kesepakatan, mulai menjadi barang langka. Lagu Mbah Surip seakan menjadi prelude contract social-nya locke.

I love you full, mencintai dengan tulus tanpa tedeng aling-aling. Salam khas ala Mbah Surip. Memang Si Mbah ini bukanlah dewa. Tapi dia telah mengajarkan pada kita untuk menjadi seorang manusia. Satu-satunya ciptaan Tuhan yang bisa membentuk negara, lengkap dengan prosedur pemerintahannya.

Hari ini Si Mbah telah tiada. Meninggalkan sebuah jejak “tak gendong” untuk terus ditafsirkan, diterjemahkan. Juga telah meninggalkan kita semua, selamanya. Mungkin dengan salam khasnya itu kita bisa menjawab balik, we love you full mbah…haa…haa…haa…Selamat Jalan Mbah Urip Aryanto, kami akan selalu merindukanmu!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2009 Piush
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Videosmall Flickr YouTube