Redupnya Sebuah Lentera Jati Diri
Bangsa
Banyak
campur tangan manusia disini. Setidaknya, tidak hanya segelintir orang yang
mengetahui, betapa perihnya untuk menuju pucuk dari sebuah pohon. Memerdekakan
seorang budak memang bukan perkara gampang, apalagi memerdekakan sebidang tanah
lapang yang berisikan lautan manusia-manusia bodoh yang tak mempunyai pedoman
untuk pegangan.
Seperti
halnya tanah air ini yang dulunya pernah menangis perih akan
kebrutalan-kebrutalan para mafia yang memang tak berbudi dan tak bernurani.
Maka dari itu, berterima kasihlah kepada manusia-manusia yang setidaknya masih
memiliki secuil keberanian untuk mengubah sebuah gunungan kegalauan menjadi
jalanan lurus menuju titik terang.
Dan sekarang sebuah peradaban baru sudah dimulai. “Peradaban baru?” Ya, memang peradaban baru yang sebenarnya adalah peradaban yang dulunya pernah ada dan terkubur oleh peradaban yang pernah ada pula. Dan kemudian muncul kembali untuk menggantikan peradaban yang memang sudah patut digantikan dan tidak layak untuk diperjuangkan.
Hasil
perjuangan Mereka inilah yang bisa kita rasakan sekarang. Merasakan apa yang
sebelumnya tidak pernah dirasakan oleh Mereka yang sakit, pahit, perih yang
hanya untuk memperjuangkan sebidang tanah. Dan bukan menghadiahkan kepada kita
sebagai penghuni tanah wakaf yang diwakafkan oleh para pendahulu kita ini,
tetapi ini semua diperjuangkan oleh dan dihadiahkan kepada Mereka yang sudah
meremukkan tulang-belulang Mereka demi terkibarnya rajutan benang-benang yang
terhimpun dalam selembar kain berwarna merah putih.
Ketidakmampuan kita akan membalas apapun yang dilakukan orang-orang terdahulu adalah cacat permanen. Sebisa mungkin kita harus menghilangkan cacat tersebut, menghilangkan kebiasaan berpangku tangan. Perlu diingat kembali!! Bahwa, apapun yang kita rasakan sekarang ini bukanlah hadiah buat kita. Tetapi, bencana yang berakibat lebih dahsyat dari meletusnya Gunung Krakatau, 130 tahun yang lalu. Suatu bencana besar yang terlebih-lebih akan menjauhkan kita terhadap pencarian dan berlanjut kepada pengukuhan jatidiri bangsa yang sesungguhnya.
Apa
yang harus kita perbuat ke depan setelah dr. Wahidin Sudirohusodo dengan Budi
Utomo nya, H. Samanhudi dengan Sarekat Islam nya, K.H. Ahmad Dahlan dengan
Muhammadiyah nya, Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswa nya, K.H. Hasyim
Asyari dan Ulama-ulama di pulau Jawa yang lain dengan Nahdatul Ulama nya, dan
para tokoh lainnya yang mempunyai peran penting dalam kemerdekaan maupun
bereformasinya bangsa untuk meninggalkan kejumudan dan keramnya otak para
pemuda bangsa.
Apakah kita harus menunggu datangnya “kembali” para kolonialis? Mungkin benar pernyataan seperti itu, supaya kita merasakan apa yang Mereka rasakan. Tetapi apakah pantas dipandang dan didengar, jika itu memang benar adanya sekarang. Sepatutnya kita jangan seperti menunggu durian runtuh, yang hanya duduk manis menunggu di bawah pohon tanpa ada pergerakkan yang benar-benar memang dapat menggerakkan yang setidaknya dapat berefolusi walupun sedikit. Dan akhirnya seperti apakah sosok reformis yang kita butuhkan sekarang yang dapat merubah perspektif kita terhadap apapun yang kita lakukan sekarang, untuk berubahnya suatu sistem yang benar-benar menuju satu titik yakni jatidiri bangsa yang sesungguhnya.
Ciputat, 04 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar