Anomali Eksistensialisme Soempah Pemoeda
Oleh: @Muflih666
Manusia terlahir di dunia ini adalah sebagai keterdamparan dalam jaring-jaring
yang sama sekali tidak di luar kemauannya. Sebagian mereka terdampar di sini
dan sebagian yang lain terdampar di sana. Namun dalam keterdamparannya yang
misterius ini, terjadi sebuah pergolakan di antara mereka, karena setiap mereka
sama-sama memiliki kebebasan untuk mewujudkan kemampuan dan menentukan diri.
Dalam mewujudkan dan menentukan diri ini terdapat aturan-aturan yang harus
dilaluinya dan hubungan-hubungan sebagai bentuk keberadaan.
Manusia Indonesia tidak akan pernah berada di dunia tanpa sebagai
manusia Indonesia. Artinya, manusia tersebut tidak akan bisa hadir di dunia
tanpa perantara menjadi manusia Indonesia. Manusia tersebut bisa mengetahui
keberadaannya dengan menengok sejarah mengenal identitas. Sebelum ia menentukan
kebutuhan hidupnya, cita-cita dan orientasi hidupnya, ia harus mengetahui ia
sedang berada di mana dengan menengok sejarah nenek moyangnya.
Sejarah manusia Indonesia berangkat dari pertumbuhan kerajaan-kerajaan
seperti Kutai, Sriwijaya, Mataram, Majapahit dan sebagainya yang terberai di
Nusantara. Memasuki awal abad ke-20, barulah upaya untuk menyatukan kerajaan-kerajaan
tersebut dengan diiringi berkembangnya negara-negara di Eropa.
Kerajaan-kerajaan di Nusantara ini juga memiliki wilayah, pemimpin,
perundang-undangan dan peradilan sendiri. kerajaan tersebut juga memiliki warga
dan lambang-lambang kerajaan seperti bendera, bahasa dan budaya.
Gagasan untuk menyatukan kerajaan-kerajaan tersebut adalah sebagai
bentuk perlawanan atas kolonialisme Belanda. Perjuangan yang awalnya bersifat
kedaerahan menjadi pergerakan kebangsaan yang terbuka. Mereka merasa satu
bangsa, yakni merasa memiliki persamaan perangai yang timbul karena persamaan
nasib terjajah (termiskinkan, terbodohkan dan tertinggal). Semangat hidup
bersama atas dasar nasib dan perangai itulah yang melahirkan niat, semangat,
dan tujuan yang sama.
Perjuangan kebangsaan Indonesia ditandai dengan berdirinya Boedi
Oetomo (1908) bagi kaum Jawa dan Madura. Kemudian, berdiri perkumpulan
kedaerahan lainnya seperti Ambonsch Studiefonds (1909) bagi anak-anak Maluku,
Pagoeyoeban Pasoendan (1914), dan akhirnya pecah menjadi Perhimpunan Tirtayas,
Kaoem Banten, Kaoem Betawi. Selanjutnya Perserikatan Minahasa (1927), Sarekat
Soematra (1918), Sarekat Madoera (1925), dan demikian seterusnya.
Pembentukan kolektivitas social bidang kepemudaan yang berdasarkan
solidaritas kedaerahan mencakup organisasi semacam Tri Kora Bangsa (1915), yang
kemudian menjadi Jong Java (1918), Sekar Roekon dan Jasana Obor Pasoendan, Jong
sumatrenen Bond (1917), Studeerenden Vereeniging Minahasa (1918), Jong Ambon
(1923), Jong Batak’s Bond (1925), Perserikatan Pemoeda Lampoeng (1922), Jong
Kalimantan (1929), dan lain sebagainya.
Juga diikuti oleh pembentukan kolektivitas sosial berdasarkan etnis
dan keturunan, misalnya Tionghoa Hwee Koan (1900), Chung Hua Hui; Partai
Tionghoa Indonesia (1932), Persatuan
Arab-Indonesia (1936), dan Indo-Arabische Beweging (1939).
Dalam perkumpulan yang terbuka
ini, apapun pandangan dan haluan politik masing-masing, sifat
keanggotaan melampaui batas-batas kesukuan, kedaerahan, rasial, ataupun
keagamaan. Dasar-dasar pengelompokan-pengelompokan ini adalah asas kebangsaan
Indonesia. Sebagai puncak untuk menyamakan pandangan kebangsaan di kalangan
mereka adalah pemikiran tentang satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa
yang dideklarasi dengan Soempah Pemoeda yang tercetus pada 28 Oktober 1928 di
Jakarta.
Kurang lebih seperti itulah pergolakan sejarah manusia Indonesia
yang merupakan bentuk keberadaan manusia Indonesia. Soempah Pemoeda merupakan
bukti sejarah yang di dengungkan oleh pemuda-pemudi Indonesia atas rasa
keberadaan sebagai menusia Indonesia yang bukan ada hanya sebagai wayang-wayang
yang digerakan kaum Kolonial. Mereka tampil dengan merebut hak-hak manusia
Indonesia yang berbunyi “kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah
yang satu, tanah air Indonesia, kami putra dan putri Indonesia mengaku
berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, kami putra dan putri Indonesia
menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia”
Namun pada kenyataannya, kini adakah yang masih tersisa dari tekad
Soempah Pemoeda itu ? jika sekumpulan anak muda, nongkrong di kafe
starbucks, mengenakan kaos impor, asyik membicarakan mode fesyen dan trend
music dunia mutakhir, menyelingi percakapan dengan bahasa asing, berselera
makan pizza dan sejenisnya, apa kira-kira persepsi mereka tentang Soempah
Pemoeda ? jika seseorang istri pejabat lebih suka belanja di singapura atau
para pengusaha merasa lebih nyaman menyimpan uangnya di bank-bank asing, apa
kira-kira persepsi mereka tentang Soempah Pemoeda ? sikap mahasiswa yang
cenderung gandrung dengan dunia sepak bola asing kebanggaan mereka, menggunakan
uang dari orang tua untuk sekedar biaya operasional menjalin cinta naif,
menghabiskan waktu mereka tanpa buku, apa kira-kira persepsi mereka tentang
Soempah Pemoeda ? seorang warga
pedalaman di kepulauan paling ujung negri hanya mengenal Indonesia dari siaran
radio, dan tidak tahu apa itu Soempah Pemoeda ?
Ketidaksadaran mereka tentang kebangsaan Indonesia yang
terjuantahkan dalam Soempah Pemoeda merupakan tanda ketidakberadaan mereka,
mereka diombang-ambing arus globalisasi yang ditopang oleh teknologi yang
merapatkan ruang dan meringkus waktu, merombak pergaulan manusia sejagat
menjadi bulatan bumi tanpa tapal batas. Mereka lupa siapa mereka, sedang berada
di mana mereka, lebih-lebih apa cita-cita mereka. Keterdamparan mereka di dunia
Ini adalah keterdamparan tak berada. Dan inilah yang disebut anomali
eksistensialisme Soempah Pemoeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar