oleh Penyair Muda Yang Gelisah pada 17 November 2011 jam 21:00
Evin Bunga Tasik
Di negeri yang datar ini banyak kutemukan tulisan terlahir dari kegelisahan hati penyair. Seperti sajak, puisi, artikel, esai, bahkan opini, yang terbang melewati Media Kompas. Dan aku membacanya dengan nikmat sambil menulis keresahan dari usia. Senyummu mengingatkan aku pada malam yang berdebu. Di saat aku menulis surat sambil meraba detak jantung yang hampir hilang digamang musim—perempuan.
Sajak yang kutulis ini. Adalah remahan kegelisahan, di saat aku membayangkanmu datang pada musim semi pertama. Dingin menghampiriku, sepi mencikal jiwaku. Kabut-kabut airmata turun dengan perlahan membasahi bumi. Aku pun dilelap sajak pada mimpi yang aksa akan sebersit keindahan. Di negeri penyair yang datar ini. Sesiur angin yang selalu menyapu lekat di dinding rumahku—mengasingkan separuh jiwaku pada puisi yang sulit kuterjemahkan menjadi makna akan hadirmu.
Pernahkah kau rasakan? Tentang “kelelahanku” air mataku yang selalu mengubur kesetiaan pada—kertas tanpa mengenal dentang waktu. hingga langit pun luruh, menapaki jalan setapak dari kesaksian cinta yang berwujud kearifan dalam hatinaya. Di situlah aku semakin akrab memaknai diri dari rasa sakit. Menghitung ruas jalan dari riuh derita, menggambar kematian. Dan merasakan keagungan cinta yang sering dilakukan para “Sufi” menari, hingga —Bionik. Aku pun mengawali hal yang sama untuk menuju ke hutan hatimu.
Sedikitpun. Kau tak pernah menulis opini kesetiannya, deritanya. Bahkan jalan takdir usianya yang perlahan diringkap—masa. Dimana orang-orang mulai ramai mengutuk dirinya dari kedudukan. bertuhan pada ‘uang’ tapi bagiku tidak! Aku—Bahitsah keagungan, sebagai tempat hati bertawaf kedamaian. Yaitu di hatimu. Aku melihat Firdauzi
Jakarta, 17 November 2011
Surat-2
Evi sayang
Jika aku harus melupakanmu. Aku mesti menghapus semua puisi yang pernah ku tulis. Dan merubah takdir sendiri. Tapi semuanya terasa tak mungkin. Di jalan ini sudah lama aku meninggalkan jejak. Semenjak ‘Adam’ meninggalkan kabut keramaian tentang kutukan khuldi. Dan Hawa meninggalakan belahan gunung di perutmu. Aku harus menyisir buih yang bergelantungan di Lazuardi—hatimu. Meski ku taktahu setapak malam, rindu yang masih belum kukubur dari surat pertama. Surat yang ke dua mengantarkan aku pada alibi kata. Dimana orang mulai enggan melukis laut sebagai—Ibtihaj pencariannya.
.... Vin, kugambarkan engkau sebagai kitab-kitab bersahaja para raja. Yang banyak orang mencarinya. Dan aku pun ingin memetik makna darimu. Bila sudah waktunya tiba. Kau harus tahu. aku tak ingin bertanya. Meski pertayaan menurut—Sokrates melahirkan kesempurnaan yang takkan meninggalkan kesejatiaanya. Tapi bagiku lain sayang... aku bukan sang pencari kebijaksanaan seperti orang-orang Atena. Aku mengagumimu. Bahkan mencintaimu. Karena kesejatian itu ada sebelum aku terpulas ke dunia, membawa potert perempuan.
Vin... nyatalah bagimu? Percayakah engkau? Pada—tastis yang kubangun dari lembah kesadaran. Jika, pernahkah engkau mengingat ketelanjangan sepinya? Atau membaca esai resahnya? Mengertikan—pragmen deritanya? Semua ini mestinya kau catat. Dijadikan dasar jalan pengetahuan yang agung. Dan aku pun takkan pernah berhenti menyuratimu. Selagi lidah masih bisa melahirkan kata. Dan lembar menerima bahasa. Itulah takdir keyakinanku.
Jakarta, 17 November 2011
Surat-3
Evin sayang
Aku berdosa pada seorang “wanita” yang melahirkanku, yang telah menitipkan hatinya padaku. jika aku tidak berani mengatakan isyarat hati. Karena hati bagiku adalah dewa yang selalu nampak kebenarannya. Dan dia lah yang membukakan pintu mataku untuk melihat ketenangan dunia. Meski beraneka ragam. Pernahkah kau dengar bahasa cinta yang telah dibisikkan Soe Hok Gie pada kematiannya. Hingga air mata jadi lautan para pembacanya... dan aku juga mengagumi sosok itu. Maka disaat kau mengatakan penyair........
Aku bukan penyair, seperti Gibran yang mampu meretakkan hati My Ziadah perempuan yang dicintainya. Dan aku bukan pelukis keindahan seperti Leonardo davinci. Melainkan yang kutulis adalah remahan kegelisahan, keterkejutan pada suatu kebenaran yang bisa di indra. Seperti kelahiran filsafat karena keheranan. Dan menjadi buah titian imaji. Aku pun sama melihatmu suatu kebenaran. Tapi bukan kebenaran yang di katakan—Rumi. Melihat Tuhan dalam tubuhmu... bukan! Bukan sayang... tapi aku adalah petualang. Lelaki berkalung langit, membangun rumah dari api. Dan aku pun tak pernah percaya pada takdir jika masih ada proses untuk memilikmu.
.... Vin, bunga tasik yang aku cintai. bukan pada wanita Mesir, bukan pada wanita Libanon. Tapi padamu yang kekal kugambar sampai kematian. Malam ini kumasih duduk. Menghisap rokok, menikmati kopi seharum tubuhmu pagi hari di jalan itu. Jika selama ini diammu adalah waban yang sempurna. Membuat aku tak memahami. Maka aku takkan pernah alfa mengirimkan surat padamu tentang perasaan. Tanpa kutitipkan pada siapa pun. Jika kau ingin melihat seberapa lama aku bertahan dengan dengan persaan ini. Kau takkan bisa menilai, walau dari angka, seperti Pythagoras yang mengatakan dunia ini tercipta dari bilangan-bilangan angka. Karena cintaku padamu lebih besar dari dunia ini. Dan kelak kau akan tahu. Mengapa aku mencintaimu lebih dari diri sendiri?
Jakarta, 17 November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar