Hodari
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Prodi: Perbandingan Agama B (semester:I)
NIM: 1111032100031
Sebagai mahasiswa baru, saya merasa kecewa ketika melihat “wajah” universitas tempat saya pertama kali mengenal dunia kampus, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tidak seperti apa yang saya bayangkan. Pada awalnya saya membayangkan universitas yang berlokasi dekat perbatasan antara Jakarta Selatan dan Tangerang ini, merupakan universitas islam yang dapat menjunjung tinggi nilai-nilai pluralisme-yang akhir-akhir ini sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia, terkait dengan banyaknya kasus radikalisme agama-dalam artian, sebagaimana yang dikatakan Nurcholish Madjid, tidak hanya menghormati perbedaan yang berada disekitar kita, melainkan juga mengakui akan keabsahan dan kebenarannya. Karena diberbagai media, universitas ini dideskripsikan sebagai sebuah tempat penampungan mahasiswa yang bertujuan untuk bersama-sama menciptakan “jembatan suci” yang menghubungkan antara agama dan negara. Yang tentu nilai-nilai pluralisme didalamnya tidak dapat diabaikan begitu saja. Tetapi faktanya sangat tidak memiliki kesamaan-untuk tidak mengatakan bertentangan-dengan “wajah” yang telah ditampilkan diberbagai media sebagaimana yang sudah saya kemukakan di depan.
Awal saya menginjakkan kaki di UIN ini, saya sudah melihat ada kejanggalan (any matter) yang membuat saya gelisah. Sehingga saya harus menghadirkan tulisan sederhana ini. Kejanggalan yang saya maksud adalah kebijakan pihak elite kampus dalam menerapkan Kode Etik Mahasiswa (KEM) Bab IV/pasal 6/ayat (d), mengenai pengharusan terhadap mahasiswi untuk mengenakan jilbab ketika masuk kampus. Sejauh pengamatan saya, kesalahan dalam menerapkan KEM tersebut adalah kesalahan menafsirkan kata “Islam” di dalamnya (KEM) yang sangat tidak dapat dihindarkan dari kenyataan sosial keberislaman yang beragam. Tentu karena sebagai universitas yang berada di negara yang pluralis, Indonesia.
Di dalam KEM tersebut hanya disebutkan bahwa wanita wajib mengenakan busana muslimah, tanpa adanya penjelasan secara eksplisit seperti apa standarisasi busana yang disebut muslimah itu. Busana muslimah sebagaimana kita ketahui, merupakan busana yang diyakini oleh umat muslim sebagai busana syar’iyah. Namun permasalahannya adalah mengenai perbedaan pemahaman dalam keberislaman di Indonesia-dalam hal ini masalah syari’ah-yang nyata-nyata merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Mayoritas umat muslim meyakini bahwa hijab (jilbab) merupakan pakaian yang wajib dipakai oleh mereka yang muslimah ketika akan keluar rumah. Bahkan sampai ada yang mewajibkan harus lengkap dengan cadarnya. Begitupula dengan mereka yang memiliki pemahaman yang agak berbeda dengan kedua bentuk keberislaman di atas. Yakni meyakini bahwa jilbab itu bukan merupakan busana muslimah melainkan hanya hasil adaptasi budaya dengan dunia Arab saat itu. Jadi mereka memahami hal tersebut (pewajiban jilbab) sebagai ajaran syari’ah yang sangat temporal. Perbedaan tersebut merupakan wujud realitas yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Jadi jika kemudian UIN memihak pada kelompok (mazdhab) tertentu dan mengabaikan yang lainnya dalam menerapkan kebijakan mengenai KEM itu, hal tersebut merupakan kebijakan yang sangat tidak pantas diterapkan oleh universitas yang mengklaim dirinya sebagai tempat penampungan mahasiswa yang bertujuan untuk bersama-sama menciptakan “jembatan suci” yang menghubungkan antara agama dan negara sebagaimana yang sudah saya kemukakan di awal ini. Kebijakan semacam itu perlu kita persoalkan bersama. Dan ternyata hal tersebut-kebijakan penerapan KEM itu-benar-benar terjadi di kampus kita ini. UIN terlalu memihak pada kelompok tertentu dan mengabaikan yang lainnya dalam menerapkan KEM itu. Bagaimana tidak, mereka (mahasiswi) yang meyakini jilbab sebagai kewajiban syari’at diizinkan dengan leluasa untuk mengekspresikan keyakinannya yakni dengan bebas boleh menggunakan jilbab dan bahkan dijadikan sebagai keharusan. Sedangkan mereka yang meyakini jilbab bukan sebagai kewajiban syari’at sama sekali tidak memiliki hak untuk mengekspresikan keyakinannya sebagaimana mereka yang meyakini jilbab sebagai kewajiban syar’at. Hal ini merupakan bentuk ketidakadilan yang nyata di depan mata kita. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar