Kriteria seorang filosof dan problematiknya
Oleh: ihya
ulumuddin
berbicara kriteria-kriteria yang
harus dimiliki seorang failasuf tentu kita akan berpandangan tajam bahwa
seorang yang ingin menjadi pemikir handal dan radikal atau failasuf jika kita memanggilnya
demikian tentu kita haruslah mengedepankan atau meninggikan sifat rasionalitas
kita. dan seperti yang diketahui bahwa rasionalitas kita gambarkan sebagai sebuah
akal yang merupaka anugrah dari allah kepada manusia yang paling penting, karna
perbedaan manusia dengan hewan terletak pada akalnya, oleh karena itu manusia
dijuluki pula sebagai al-hayawan al-natiq (hewan yang berfikir). Bukan
berarti manusia itu berbentuk seperti hewan akan tetapi kalimat tadi menunjukan
metaforis dari manusia, maka tidak diherankan apabila manusia yang di anugrahi
akal tidak menggunakan akalnya sebagaimana manusia ia hanya menggunakan insting,
firasat, dan hawa nafsu sebagai suatu landasan hidup maka dialah manusia yang
bernaluri hewan dalam suatu sistim
kehidupanya. Sudah sifat bagi akal manusia yang selalu ingin tahu terhadap
segala sesuatu termasuk yang menciptakanya dan dirinya
sendiri.
Ketidak puasan akan
memandang hanya dari satu sudut perspektif saja dari suatu bidang keilmuan
adalah hal yang amat penting bagi seorang failasuf, keradikalan, silogisme, dan kesistematisan adalah suatu karakter yang harus dimiliki oleh
sorang failasuf. Sudah pasti karakteristik seperti itu di dalam ruang lingkup
mayoritas para ahli agama yang ortodoks dan tradisional tidak di anjurkan, tapi
jika kita lihat lagi apabila agama tidak di dominasi oleh pemikiran-pemikiran
filosofis maka tidak menutup kemungkinan agama itu akan tinggal formalitasnya
saja. seperti gagasan-gagasan kemodernan yang bersifat filosofis yang
dikemukakan oleh Muhammad abduh beserta para murid-muridnya
yang telah memajukan negaranya yang berbekgroun islam yaitu mesir
pada saat itu, selanjutnya ada Mustafa kemmal di turki, sultan Mahmud ll di turki, harun nasution dan nurcholis madjid di Indonesia, dan masih banyak lagi para pembaru-pembaru yang
mengedepankan rasionalitasnya. Karna berkat sumbangan rasio itulah sesuatu yang
memang dianggap mistik yang tak berlandasan agama atau kitab suci bisa terkuak
secara esensial.
Ada banyak teman yang kontra
dengan saya dan mulai mengemukakan argumenya, menurut mereka “seorang yang
selalu meninggikan atau mentaqdiskan rasionya adalah seorang yang zindik
atau bisa disebut sebagai orang kafir karna dia lebih mengedepankan akal dari
pada wahyu”, tapi bagi saya sendiri orang yang berkata seperti itu adalah orang
yang mengambil kuliah di fakultas tarbiyah dan syari’ah saja yang hanya
mempelajari hitam putih semata yang tidak mengerti betapa pentingnya akal kita
yang di ciptakan sedemikian mulyanya oleh allah, sehingga kita bisa menalar
segala sesuatu yang terdapat di alam semesta ini, bahkan jika orang yang hanya
mengandalkan wahyu saja ia tidak akan bisa mengartikan secara hakiki dari alam
semesta ini, bukan berarti seorang yang menguatkan akal sebagai suatu pencarian
kebenaran itu menafikan wahyu dan sunnah, akan tetapi baginya di dalam alqur’an
dan hadits sendiri itu banyak ayat-ayat metaforis dan mengandung makna yang
kontekstual untuk, memahami hal tersebut
kita harus menguatkan akal kita, jadi cukup jelas kiranya bahwa seorang yang
berkriteria seperti ini bukan berarti ia menafikan al-qur’an dan hadits akan
tetapi ia menempatkan landasan agama islam tersebut di posisi ke dua setelah
akal.
Lebih lanjut, Seorang failasuf
tidak hanya taqlid atau mengikuti doktrin-doktrin dogmatis serta tidak
mengadopsi teori dari failus-failasuf terdahulu, akan tetapi selain mengambil
kosep dari failasuf-failasuf terdahulu
ia juga harus memelopori teori-teori baru tersendiri dari logika kita
berdasarkan teori dari failasuf terdahulu itu.
Katakanlah ibnu sina atau avicena
kalau untuk sebutan orang-orang barat yang sebagian banyak pemikiran
filsafatnya dipengaruhi oleh failasuf dari yunani, yaitu aristotelas, akan
tetapi ibnu sina sendiri tidak hanya mengadopsi semua pemikiran aristoteles dan
mengaplikasikanya kepada pemikiran filsafatnya, ibnu sina pun secara keras
mengkritiknya, dan banyak lagi para failasuf baik islam yang terpengaruh oleh
pemikiran failasuf barat dan barat yang terpengaruh pemikiran failasuf islam
dan tidak hanya mengadopsinya saja.
Mungkin hal-hal yang sifatnya
pribadi kalau kita berbicara pada ranah kriteria seorang failasuf itu harus di
dominasi pula, seperti halnya kecerdasan dalam suatu penalaran keilmuan,
mempunyai sifat kritikis yang tinggi, selalu berfikir logis, radikalis, dan
secara sistematis. definisi dari berfikir seara logis ini adalah berfikir
secara teratut dan tertata dengan rapih shingga menghasilkan buah pikiran yang
lebih dipahami lagi yang mana di dalam alam pikiran kita banyak sekali unsur
ide-ide yang belum tersusun secara rapih. kalau kita ambil contoh seperti rumah
yang masih berantakan, Radikalis adalah berfikir secara mendalam dimana kita
menerima sebuah pengetahuan dan meragukan akan kebenaranya. Disinilah kita akan
tertarik oleh unsur radikalis tadi untuk mencari sebuah keesensialan dari
pengetahuan tersebut, adapun sisitematis seperti dikatakan tadi dari sekian
banyak gagasan-gagasan yang terdapat di alam pikiran kita ternyata kesemuanya
itu ada yang saling bertentangan dan bertolak belakang, kita perlu mengaitkan
dan menyesuaikan antara satu objek kata dengan kata yang lain sehingga menjadi
suatu kesimpulan yang sempurna, menurut saya inilah yang dinamakan berfikir
secara sistematis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar