PEMILU RAYA KAMPUS : HAK YANG DIPERKOSA
Oleh: @ramdhany12
Baru-baru saja di UIN Jakarta telah dilaksanakan pemilihan umum
tingkat Universitas pada hari Senin (29/04/2013).
Suasana yang terjadi pada saat itu tidak terlalu meriah dan terkesan biasa-biasa
saja, tidak ada yang “wah” apalagi pesta poria mahasiswa seperti layaknya
pemilihan ketua RT atau pemilihan Lurah dan Camat.
Satu aspek yang janggal bagi penulis adalah Sistem pemilihan yang dirancang oleh KPU Pusat
dengan menggunakan “SATU PERSEN” dari akumulasi jumlah mahasiswa aktif. System itu tidak mewakili (repersentatif) dari
jumlah mahasiswa yang aktif secara keseluruhan. Artinya, andaikata di UIN jumlah mahasiswa sekitar 16.000 orang, maka
hanya cukup dengan sekitar 160 mahasiswa yang memiliki hak suara untuk
menentukan pilihan.
Sistem seperti ini tentunya sudah terlihat tidak sehat. tidak mendidik dalam kedewasaan dan kematangan
berpolitik di dalam kampus.
Mau tidak mau, kampus mestinya harus mejadi miniature dari realitas
Negara ini. Dalam kedewasaan berpolitik di Indonesia, tentunya nilai-nilai
kedaulatan mahasiswa dan nilai-nilai demokrasi harus tercipta.
Disaat Indonesia mencari ruh yang utuh dari system Demokrasi, di saat
itu pula, hak-hak dan kedaulatan mahasiswa diperkosa. 99 persen dari jumlah mahasiswa
hak memilihnya telah direnggut begitu saja. Hanya pihak-pihak tertentu sajalah --yang
hanya berjumlah 1 persen dari jumlah
mahasiswa secara keseluruhan-- hak
kemahasiswaannya dikedepankan.
Asumsinya adalah jika di Fakultas X memiliki jumlah mahasiswa 4.100
orang, sudah tentu mereka mempunyai perwakilah 41 orang. Dan jika di Fakultas Y
hanya memiliki jumlah mahasiswa 500, maka jumlah mahasiswa yang memiliki hak
suara adalah 5 orang. Artinya bahwa secara matematis fakultas Y tidak akan
menang melawan Fakultas X jika
seandainya di fakultas tersebut mempunyai calon untuk menjadi Presiden BEMU.
Dan jika dari fakultas X mencalonkan atau merekomendasikan seorang mahasiswa untuk menjadi presiden BEMU --meskipun
yang dicalonkan itu tidak memiliki kapasitas intelektual-akademis-- maka sudah tentu ia akan menang melawan calon
yang direkomendasikan oleh fakultas Y.
Dengan kata lain, system seperti ini hanya mengandalkal jumlah
mahasiswa secara kuantitatif yag dijadikan modal awal untuk mengasai
pemerintahan kampus.
Pertanyaannya adalah dimanakan aktualisasi (pengamalan) dari
nilai-nilai demokrasi yang selama ini kita pelajari dalam mengikuti aktivitas
perkuliahan. Yang menurut pepatah, ilmu yang tidak diamalkan akan menjadi ilmu
yang sia-sia belaka. Idealnya, apa yang kita pelajari haruslah teraplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di ranah kehidupan kampus.
Dipenghujung narasi, system apapun itu, baik SG, Demokrasi maupun
Senat haruslah mencerminkan nilai-nilai kedaulatan individu sebagai mahasiswa. Tidak
ada satupun yang hak asasinya diperkosa. Mari kita perjuangkan dan rebut
kembali apa yang selayaknya menjadi hak kita sebagi warga mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar