Menumbuhkan Kembali Semangat Sakral Sumpah Pemuda
Dihadirkan oleh : syech.bakar@yahoo.com
Bangsa Indonesia merupakan sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai
suku “bangsa” dan bahasa yang berbeda-beda. Dalam kehidupan sehari-hari, bahasa
yang dipakai adalah bahasa ibu masing-masing daerah, seperti; Sunda, Jawa,
Madura, Batak dll. Tentu semangat persaudaraan dalam lingkup kesukuan atau
primodial kebangsaan lebih dominan. Sebagai contoh, orang Madura saat berada
jauh dari tempat asalnya, jika mereka bertemu dengan orang yang sebangsa
dengannya, maka mereka akan merasa girang dan akrab, serta saling menolong. Hal
ini juga terjadi pada suku-suku yang lain, sepertinya hubungan primodial masih
mendominasi pada setiap individu bangsa ini.
Mungkin, primodialisme ini dimanfaatkan oleh kolonial Belanda untuk
melakukan politik devide et impera (adu domba) antara suku-suku bangsa, sehingga mereka berhasil
mengeruk kekayaan negeri dalam waktu yang sangat lama. Disaat yang sama bangsa
ini saling berperang dan mengalami kelemahan hingga tak mampu melawan penjajah.
Setelah lama bangsa ini jatuh dalam status quo, pada 28
oktober 1928 muncullah sebuah kesadaran, sebuah fenomena sakral yang
diikrarkan oleh pemuda-pemuda dari setiap suku dan agama, langkah suci yang
mampu membangun sebuah bangsa baru, membangun peradaban baru, langkah yang
mampu mengusir penjajah, dan mampu mengembalikan status bangsa ini; Sumpah
Pemuda, sebuah gagasan cemerlang
persatuan.
Sumpah Pemuda yang telah diikrarkan bukan hanya ikrar semata.
Terbukti, tujuh belas tahun setelah itu bangsa Indonesia mendeklarasikan
kemerdekaan. Semangat primodialisme digantikan oleh semangat nasionalisme
–dengan tanpa meninggalkan identitas primodial-. Sebuah spirit yang tak mampu
dirombak oleh kekuatan apapun. Bahkan pembuatan Negara-negara boneka –setelah
kemerdekaan- oleh kolonial Belanda; sekalipun mengusung primodialisme
masing-masing daerah, seperti: Negara Pasundan (26
Februari 1948) , Negara Jawa Timur (26 November 1948) , Negara
Madura (16 Januari 1948) ,
Negara Indonesia Timur (Desember 1946), Negara Sumatra Timur (25 Desember 1945), Negara Sumatra Selatan (30 Agustus 1948), semuanya tidak mampu meruntuhkan nasionalisme bangsa ini. Ini
adalah sebuah kekuatan super yang mengangkat harkat bangsa, terus maju dan
terus dengan tujuan yang jelas.
Akan tetapi dasar tujuan yang jelas itu mulai pudar, bangsa baru
ini hanya melihat musuh pada tataran luar; seperti perang, pencaplokan wilayah,
pencurian lagu adat dll. Namun mereka tidak melihat pada tataran dalam yang
justru inilah yang mampu meruntuhkan kekuatan bangsa; betapapun besarnya
kekuatan itu. Yaitu pada tataran idiologi; Sebuah kesadaran nasionalisme,
kesatuan tanah air, bangsa dan bahasa.
Tataran dalam inilah yang saat ini telah hilang dari bangsa ini.
Kini bangsa ini kembali mengulang masa suram yang dahulu dimanfaatkan para
penjajah. Mereka terjebak semangat primodialisme dan sentimen agama. Mencuatnya
kembali pemikiran bahwa kekuasaan Negara tidak akan lepas dari orang Jawa, dan
terjadinya konflik antar etnis dan agama di beberapa daerah.
Ironisnya, partai-partai yang mengusung nasionalisme tidak lagi
mengusung semangat yang mereka gagas. Mereka saling menyalahkan, walaupun
terhadap ide cemerlang dari partai tertentu. Yang benar hanyalah partai mereka.
Status quo yang saat ini dialami bangsa ini tentu dimanfaatkan oleh kaum
imperialis untuk mengeruk hasil bumi yang berlimpah ruah, melakukan perjanjian
kontrak –di sector pertambangan, perkebunan dll- yang merugikan bangsa. Sedang
bangsa ini dilanda kemiskinan. Kaum imperialis tidak menghendaki bangsa ini
kembali sadar seperti yang telah terjadi pada 28 Oktober 1928. Mereka akan
terus berupaya agar bangsa ini sibuk dengan status quo.
Bangsa ini akan selalu jatuh dan tenggelam menjadi bangsa kecil dan
tidak memiliki martabat dihadapan bangsa-bangsa lain tanpa memperbaiki kembali
sumpah yang telah mereka langgar. Oleh karena itu 28 Oktober adalah hari sakral
yang harus diingat, sumpah yang harus ditepati.
Hal yang terpenting, yang patut digaris bawahi dalam persatuan
bangsa ini adalah kata-kata Muhammad Yamin; penulis rumusan kongres Sumpah Pemuda: ada lima faktor yang bisa
memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan,
dan kemauan.
Yang terakhir adalah penentu masa depan bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar