BREAKING

Kamis, 25 Oktober 2012

Menumbuhkan Kembali Semangat Sakral Sumpah PemudaMenumbuhkan Kembali Semangat Sakral Sumpah Pemuda


Menumbuhkan Kembali Semangat Sakral Sumpah Pemuda
Dihadirkan oleh : syech.bakar@yahoo.com
Bangsa Indonesia merupakan sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai suku “bangsa” dan bahasa yang berbeda-beda. Dalam kehidupan sehari-hari, bahasa yang dipakai adalah bahasa ibu masing-masing daerah, seperti; Sunda, Jawa, Madura, Batak dll. Tentu semangat persaudaraan dalam lingkup kesukuan atau primodial kebangsaan lebih dominan. Sebagai contoh, orang Madura saat berada jauh dari tempat asalnya, jika mereka bertemu dengan orang yang sebangsa dengannya, maka mereka akan merasa girang dan akrab, serta saling menolong. Hal ini juga terjadi pada suku-suku yang lain, sepertinya hubungan primodial masih mendominasi pada setiap individu bangsa ini.
Mungkin, primodialisme ini dimanfaatkan oleh kolonial Belanda untuk melakukan politik devide et impera (adu domba) antara suku-suku bangsa, sehingga mereka berhasil mengeruk kekayaan negeri dalam waktu yang sangat lama. Disaat yang sama bangsa ini saling berperang dan mengalami kelemahan hingga tak mampu melawan penjajah.
Setelah lama bangsa ini jatuh dalam status quo, pada 28 oktober 1928 muncullah sebuah kesadaran, sebuah fenomena sakral  yang diikrarkan oleh pemuda-pemuda dari setiap suku dan agama, langkah suci yang mampu membangun sebuah bangsa baru, membangun peradaban baru, langkah yang mampu mengusir penjajah, dan mampu mengembalikan status bangsa ini; Sumpah Pemuda, sebuah  gagasan cemerlang persatuan.
Sumpah Pemuda yang telah diikrarkan bukan hanya ikrar semata. Terbukti, tujuh belas tahun setelah itu bangsa Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan. Semangat primodialisme digantikan oleh semangat nasionalisme –dengan tanpa meninggalkan identitas primodial-. Sebuah spirit yang tak mampu dirombak oleh kekuatan apapun. Bahkan pembuatan Negara-negara boneka –setelah kemerdekaan- oleh kolonial Belanda; sekalipun mengusung primodialisme masing-masing daerah, seperti: Negara Pasundan (26 Februari 1948) , Negara Jawa Timur (26 November 1948) , Negara Madura (16 Januari 1948) , Negara Indonesia Timur (Desember 1946), Negara Sumatra Timur (25 Desember 1945), Negara Sumatra Selatan (30 Agustus 1948), semuanya tidak mampu meruntuhkan nasionalisme bangsa ini. Ini adalah sebuah kekuatan super yang mengangkat harkat bangsa, terus maju dan terus dengan tujuan yang jelas.
Akan tetapi dasar tujuan yang jelas itu mulai pudar, bangsa baru ini hanya melihat musuh pada tataran luar; seperti perang, pencaplokan wilayah, pencurian lagu adat dll. Namun mereka tidak melihat pada tataran dalam yang justru inilah yang mampu meruntuhkan kekuatan bangsa; betapapun besarnya kekuatan itu. Yaitu pada tataran idiologi; Sebuah kesadaran nasionalisme, kesatuan tanah air, bangsa dan bahasa.
Tataran dalam inilah yang saat ini telah hilang dari bangsa ini. Kini bangsa ini kembali mengulang masa suram yang dahulu dimanfaatkan para penjajah. Mereka terjebak semangat primodialisme dan sentimen agama. Mencuatnya kembali pemikiran bahwa kekuasaan Negara tidak akan lepas dari orang Jawa, dan terjadinya konflik antar etnis dan agama di beberapa daerah.
Ironisnya, partai-partai yang mengusung nasionalisme tidak lagi mengusung semangat yang mereka gagas. Mereka saling menyalahkan, walaupun terhadap ide cemerlang dari partai tertentu. Yang benar hanyalah partai mereka. Status quo yang saat ini dialami bangsa ini tentu dimanfaatkan oleh kaum imperialis untuk mengeruk hasil bumi yang berlimpah ruah, melakukan perjanjian kontrak –di sector pertambangan, perkebunan dll- yang merugikan bangsa. Sedang bangsa ini dilanda kemiskinan. Kaum imperialis tidak menghendaki bangsa ini kembali sadar seperti yang telah terjadi pada 28 Oktober 1928. Mereka akan terus berupaya agar bangsa ini sibuk dengan status quo.
Bangsa ini akan selalu jatuh dan tenggelam menjadi bangsa kecil dan tidak memiliki martabat dihadapan bangsa-bangsa lain tanpa memperbaiki kembali sumpah yang telah mereka langgar. Oleh karena itu 28 Oktober adalah hari sakral yang harus diingat, sumpah yang harus ditepati.
Hal yang terpenting, yang patut digaris bawahi dalam persatuan bangsa ini adalah kata-kata Muhammad Yamin; penulis rumusan kongres Sumpah Pemuda: ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan. Yang terakhir adalah penentu masa depan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2009 Piush
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Videosmall Flickr YouTube