BREAKING

Kamis, 26 Juli 2012

NIETZSCHE dan MORALITAS PEMBEBASAN


Tuhan telah mati tuhan tetap mati, dan kita telah membunuhnya__
Nietzsche
Latar hidup nietzsche adalah ketika gereja masih menguasai beberapa aspek kehidupan manusia, tak ada manusia yang benar-benar utuh  memiliki dirinya sendiri, kurungan moralitas agama telah merenggut hal itu, yakni kebebasan manusia. Nietzsche hidup pada kelurga kristen yang taat, ayahnya seorang katolik, ibunya seorang lutheran (protestan). Hidup ketika masa kecil hingga dewasa dalam lingkungan wanita.
Nietzsche dalam birth of tragedy  menggambarkan manusia sebagai makhluk yang menggunakan nalar sebagai upaya penghindaran manusia dari ketidaktahuan terhadap kebenaran yang rill. Nietzsche lebih cenderung pada manusia sebagai makhluk instingtual dan irrasional dan tak ada apapun yang disebut kebenaran. Tulisannya tersebut menitikberatkan pada upaya masyarakat yunani yang mencoba melarikan diri dari kenyataan dunia. Kritik ini sebenarnya disampaikan untuk platonian yang dalam rasionalismenya sangat mengesampingkan indra manusia dalam mencapai sebuah pengetahuan yang sejati,  akibatnya platonian akan berkesimpulan bahwa dunia ini hanya ilusi dan menyimpang dari sebuah dunia yang rasional. Bagi nietzsche indra akan lebih mempertajam dan mengajari kita untuk berfikir, sekalipun tidak menolak nafsu juga dapat mengajari kita tetapi indra juga memberikan peranan penting tentang bagaimana kita memandang dunia ini.
Hidup ini berbahaya, tragis, penuh penderitaan, dan mengerikan, tetapi kita harus menghadapinya. Dalam konsep “ubermansch”, atau walter kauffman menyebutnya overman, atau manusia atas. Konsep overman bagi nietzsche merupakan sebuah konsep untuk menggambarkan bagaimana manusia masa depan menghadapi realita, manusia atas yang menciptakan nilainya sendiri, orang yang berkata ‘ya’ terhadap kehidupan, bukan orang yang melarikan diri dari gersangnya tanah kehidupan ini.
Jika manusia terus menerus hidup dalam pengikatan diri pada tuhan, maka ia akan terus terkurung pada kebodohan yang terus ia jaga tanpa ia sadari hanya akan menutup celah bagi realitas untuk dapat ia sadari, realitas apa yang ada diihadapannya. Untuk memutus mata rantai kebodohan itu, ia harus terlebih dahulu membunuh tuhan, meninggalkan secara paksa apa yang selama ini mengikatnya dalam suatu ketidakjelasan tentang apa yang ia yakini selama ini. tuhan telah mati dan kitalah yang membunuhnya, ungkapan seperti itu menunjukkan dikotomi yang diciptakan oleh agama terhadap manusia sebagai makhluk yang utuh telah diputus mata rantainya oleh nietzsche, sehingga tak ada lagi manusia yang terkurung dalam kurungan moralitas agama sebagai sesuatu yang memenjarakan manusia dalam kebodohan dogmatis.
Ubermansch atau overman yang sejati itu adalah filsuf pra-socrates,kenapa demikian, sebelum sokrates menjadi seorang filsuf memberikan batasan-batasan mengenai kebenaran tentang pengetahuan orang-orang pra-socrates telah menjadi diri mereka sendiri, dimana mereka memiliki semangat pencerahan yang tak terikat pada hal apapun, kebenaran bukan sesuatu yang dimutlakkan. Mereka bukan socrates yang memberi tahu bahwa ada dunia metafisis, mereka bukan plato yang menjustifikasi dunia yang rill pada dunia idea dan bukan pula aristoteles yang terjebak pada materi yang ada sebagai suatu kenyataan yang utuh, tetapi mereka adalah sang pencari kebenaran, mereka adalah orang yang sanggup menghadapi keberingasan hidup dan terus mencari atom dalam tumpukan jerami.
Tradisi dyonisian melekat pada orang-orang mabuk ini dalam mencari apa yang disebut sebagai kenyataan dan mengejar nilai-nilai yang dapat disebut sebagai kebenaran. Tak heran nietzsche mengkritik filsuf pra-socrates yang mulai lelah dengan pencarian kebenaran dengan ucapan seorang pesimistis yang menyerah dengan keadaan dengan mengatakan bahwa ada dunia metafisik yang berada dibalik semua ini. Kengerian hidup tak lagi mampu dihadapi oleh orang-orang masa socrates dan setelahnya, cenderung menyerah, bergerombol dan lemah, itulah manusia-manusia yang belum berhasil melampaui asa kehidupan.
Di dalam also sprach zarathusta, nietzsche mengandaikan sebuah dunia yang abadi dengan perulangan-perulangan yang tiada habisnya. Segala sesuatu yang ada tidak pernah berhenti pada suatu proses yang telah selesai, tetapi ia terus menjadi, hancur dan terus berulang seperti itu tanpa pernah berhenti. Tak ada sebuah kuasa didalam proses itu yang memengaruhi jalannya proses tersebut, pengandaian ketiadaan tuhan atau sang pencipta dalam perulangan abadi. Tak ada ide atau sein yang kreatif dalam proses penciptaan dunia ini dan bagaimana jalannya, selalu tak berubah dari ‘kembali’ secara ‘sama’ tentang kejadian-kejadian tersebut. Pengandaian ini seolah-olah mengakui eksistensi tuhan secara diam-diam, stabilitas dunia dan keabadian tentulah tak lepas dari faktor eksternal dari segala yang ada ini. Hal ini dibuktikan nietzsche dalam “hukum kekekalan energi” yang terus mengandaikan akan keabadian dari materi.
Kemudian masih di dalam also sprach zaratusta nietzsche mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang lain selain yang ada di bumi ini, segala sesuatu merupakan hal yang sudah “membumi”  atau “imanen”. Dan ubermanch atau overman adalah manusia yang telah melampau kemanusiaan itu sendiri dengan penerimaan dunia apa adanya dan menghadapinya tanpa lari kepada hal yang bersifat transenden.
Lukisan, merupakan sebuah presentasi dari imajinasi seseorang tentang sesuatu yang digambarkan dalam sebuah lukisan, orang-orang selalu berpikir dengan campuran cat diatas kanvas dan pembentukan sebuah form atau bentuk telah mem-final-kan apa yang terjadi dalam bentuk lukisan, tapi orang itu keliru segala sesuatu ini akan terus menjadi tanpa pernah berhenti selamanya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2009 Piush
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Videosmall Flickr YouTube