MENUJU BUDAYA POP:
“Menjadikan
Fakultas Ushuluddin sebagai salah satu fakultas yang terkemuka Dalam
pengembangan dan pengintegrasian ilmu-ilmu dasar dan sosial yang berdimensi
etis, keindonesiaan dan kemanusiaan”.
(Visi
Ushuluddin).
“Ushuluddin
merupakan suatu konsep dasar pemahaman tentang
: spirit of human being”.
(Pagar
Dewo, Yapentush).
Ushuluddin:
Sebuah Sketsa
Klaim
bahwasanya Ushuluddin merupakan “jantung”
UIN Syarid Hidayatullah Jakarta, kiranya itu merupakan suatu penilaian yang
tidak berlebihan jikalau kita melihatnya secara objektif dan proposional. Hal
demikian tentunya menjadi sebuah tanggung jawab dan beban moral yang sangat
berat bagi segenap civitas akademik Ushuluddin, karena sudah selayaknya
Ushuluddin wajib untuk memposisikan diri sebagai sesuatu — dalam pengertian
sebuah Fakultas --
yang mampu untuk merealisasikan konsep “jantung”
ke dunia nyata.
Sebelum IAIN berganti nama ke UIN, Ushuluddin
dipandang sebagai fakultas yang bisa dikatakan wah. Bukan dalam artian mahasiswanya banyak secara kuantitatif akan
tetapi dalam perwujudannya, Ushuluddin menjelma dalam sesuatu yang berlandaskan
atas argumentatsi kesadaran dan kualitas individu dan sosial kemahasiswaan. Dan
konon katanya menurut cerita para pendahuluya (senior), Ushuluddin dipandang sebagai suatu pusat peradaban dan pusat
wacana ilmu pengetahuan khususnya ilmu keagamaan, yang dikemudian hari para tokoh-tokoh
besar bermunculan dari fakultas ini.
Entah harus dengan tolak ukur apa, sehingga
Ushuluddin dulunya dikalim sebagai pusat peradaban kampus. Apakah dari realitas
mahasiswanya, birokratnya, dosen pengajarnya, output pemikirannya, wilayah ideologinya ataukah para tokoh besar
yang terdapat didalamnya. Hal demikian sangatlah penting untuk diketahui, jika
kita ingin mengetahui pola yang terjadi di masa lalu. Sehingga untuk melakukan
suatu langkah kongkrit ke depannya, Ushuluddin tidak kehilangan akar budaya
yang telah melekat sebagai sebuah ciri khas keberadaannya (eksistensi).
Para pemikir biasanya lebih mendahulukan isi
(esensi) ketimbang eksistensi. Keduanya memang saling terhubung dan berkaitan.
Akan tetapi permasalahannya adalah apa yang menentukan apa. Apakan esensi yang
menentukan keberadaan sesuatu, ataukah eksistesi yang menentukan inti dari
sesuatu itu?
Seperti
halnya Rane Descartes sebagai tokoh filosof Francis yang beraliran rasionalis, ia
berpendapat bahwa manusia harus mengetahui dulu hakikat dirinya, lalu setelah
mengetahui hakikat dirinya, manusia akan menyadari keberadaannya. Hal itu ia
ungkapkan dengan istilah “cogito ergo sum”
yang dalam bahasa Indonesia diartikan “aku
berfikir maka aku ada”.
Ushuludin:
dalam Realitas Kekinian dan Budaya Pop
Mengutip
perkataannya Muhammad `Abduh
bahwa “al-Islamu mahzubun bi al-muslimi”
yang artinya Islam terhalang oleh muslim. Dan mungkin kiranya ada hikmah bagi
segenap rakyat Ushuluddin di balik kalimat tersebut. Menjawab permasalahan modernisme
dan sekularisme pendidikan menjadi tantangan tersendiri yang sedang dihadapi.
Disamping tanggung jawab dan beban moral yang sedang di tanggung karena adanya
“dosa turunan” bahwa Ushuluddin telah
berani dijuluki sebagai pusat peradaban dan jantung kehidupan kampus.
Dalam keadaan fenomena objektif, dengan pendekatan atas
pengalaman (empiris a post-teriori)
sebagai rakyat Ushuluddin, ada sebuah aroma yang berbeda dan terjadi pergeseran
orentasi. Fenomena sosial ke-ushuluddin-an seakan menjadi kaku dan berbasis
formalistik. Kebebasan berekspresi dibatasi baik dalam wacana akademis
pengetahuan maupun dalam wilayah penampilan (perform). Tidak nampak lagi adanya kebebasan akademis dan kebebasan
berekspresi.
Mahasiswa yang selayaknya menjadi komponen dasar
yang sangat penting dalam dunia kampus sebagai subjek pelaku, beralih fungsi
dan orientasi menjadi sebuah objek belaka. Mahasiswa seolah dijadikan sebagai bahan
komoditas dalam kepentingan tertentu, sehingga kualitas pemikiran yang menjadi
esensinya terabaikan.
Selanjutnya, terjadi sebuah transformasi budaya
ideologis ke ranah budaya pop. Budaya Pop dapat digambarkan sebagai produk dari
industrialisasi dan komersialisasi masyarakat. Budaya pop merupakan sintesa
dari budaya ideologis. Budaya ideologis yang dulunya menjadi sebuah basis dasar
untu menopang nilai-nilai yang tekandung dalam setiap tindakan individu dan
sosial kini telah berpindak ke budaya pop yang bersifat sementara dan rapuh.
Dalam
tataran ideologis, mahasiswa dituntut
supaya bertindak kritis dan memiliki kesadaran yang tinggi. mahasiswa Ushuluddin telah berani secara radikal mengembangkan suatu konsep Ushuluddin
kepada tingkat yang lebih mulia yaitu Ushuluddin sebagai “spirit of human being”. Basis ideologis mempu memperikan
keberanian dan kepercaya-dirian yang tinggi bagi siapapun yang mengaku dirinya
sebagai warga Ushuluddin. Budaya
ideologis pada intinya menjadi sebuah landasan dasar dari setiap tindakan
individu yang berepek ke tindakan sosial.
Jika seandainya budaya pop telah menjalar dan
mengakar, maka budaya ideologis sebagai produk lokal yang diproduksi dengan berlandaskan kesadaran nilai,
akan tercerabut dari akar budayanya. Seperti halnya budaya keroncong diganti
dengan budaya rock dan pop melayu,
singkong dengan pizza hut, kiyai
dengan ustadz artis dan lain sebagainya. Pola pencitraan sebagai suatu tindakan nyata yang dicirikan oleh budaya pop
menjadi suatu tujuan untuk mencapai kepentingan domestik.
Budaya pop
juga ditandai dengan selebrasi, kemeriahan, banalitas, massifitas dan tolak ukur pada
sesuatu yang bersifat formal-materialistis. Dan jika budaya pop ini kita
biarkan begitu saja
berkembang, maka kemungkinannya
adalah apakan keadaan yang menentukan kesadaran ataukah sebaliknya. Dan mungkin saja dua atau lima tahun ke depan
label “jantung” tidak lagi layak
disandingkan dengan
Ushuluddin.
Kesadaran akan keadaan yang sekarang ini, menimbulkan
sebuah pertanyaan besar, yaitu apakan Ushuluddin mampu untuk menjawab tantangan
dan mampu untuk merealisasikan sebuah visi mengembangkan dan mengintegrasikan
ilmu-ilmu dasar dan sosial yang berdimensi etis, keindonesiaan dan kemanusiaan?
Wallahu
a`lam.
Yang Penting Ushuluddin. . .!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar