By: Papi Udin
Seiring perkembangan zaman, peradaban mengalami kemajuan luar biasa. Tetapi pada saat yang sama juga terjadi kemunduran secara sosial. Peradaban dipandang lahir dari kesuksesan para pakar sains yang menguasai jenis keahlian teknis tertentu. Semakin spesifik keahlian teknis mereka, maka semakin hebat posisinya. Sementara mereka yang memiliki keahlian tetapi bersifat non-teknis, khususnya yang berkutat di wilayah pemikiran dianggap tidak memiliki kontribusi besar, dan hanya bermanfaat pada waktu-waktu tertentu.
Di tengah kondisi seperti ini, di setiap periode zaman, terdapat sekelompok pemikir yang menggelitik kesadaran masyarakat bahwa benarkah kemampuan teknis dari mereka yang membangun perdaban adalah segalanya? Betulkah ilmu-ilmu pengetahuan yang dibangun sudah seperti kenyataan yang sesungguhnya? Bahkan, lebih jauh sekelompok pemikir ini membangunkan mereka yang terbuai dengan oleh kenyataan semu, dengan pertanyaan benarkah citra-citra atau gambaran-gambaran yang kita miliki persis sama dengan kenyataan hakiki? Para pengganggu yang tampak seolah kurang kerjaan inilah yang biasa dikenal sebagai para filsuf.
Mengenal Filsafat
Filsuf adalah mereka yang berfilsafat. Filsafat secara etimologis berasal dari dua kata Greek philo (cinta) dan sophia (kebijaksanaan), sehingga filsafat sederhananya berarti cinta kebijaksanaan. Filsafat sebagai sebuah pengetahuan memiliki sifat yang tidak saja berbeda, tetapi dalam beberapa hal sangat berseberangan dengan sains pada umumnya. Beberapa sifat yang melekat pada filsafat yang sangat berbeda dengan sains bisa dilihat dalam tabel berikut:
FILSAFAT
|
SAINS
|
Universal
|
Partikular
|
Simple (tidak tersusun)
|
Kompleks (tersusun)
|
Deduktif
|
Induktif
|
Premis Mayor
|
Premis Minor
|
Rasional
|
Empiris
|
Spekulatif
|
Eksperimentatif
|
Abstrak
|
Konkret
|
Unik/Satu
|
Plural/Banyak
|
Vertikal
|
Horizontal
|
Mengingat pada tabel di atas, filsafat memiliki beberapa sifat seperti universal, simple, rasional, dan satu, maka filsafat seharusnya berbeda dengan pandangan awam saat ini yang melihat filsafa sebagai ilmu yang luar biasa rumit. Dengan beberapa sifat tersebut filsafat seharusnya menjadi ilmu yang mudah, karena semua manusia memiliki potensi itu. Lalu bagaimana menjelaskan ribet-nya dunia filsafat? Jawabannya adalah karena para pemerhati filsafat seringkali hanya menyibukkan diri pada kutipan-kutipan, atau istilah-istilah, dan mengabaikan kerangka pemahaman yang semestinya simple, karena sifatnya yang sangat rasional dan universal (berlaku kapanpun dan di manapun).
Pada mulanya pengetahuan, dalam bentuk apapun, lahir dari interaksi manusia dengan realitas sekitarnya. Interaksi aktif ini kemudian melahirkan citra-citra atau gambaran-gambaran yang beragam, sejumlah dengan realitas yang bersentuhan dengannya. Sayangnya, sebagian besar manusia kemudian tidak bisa membedakan antara realitas yang mereka sentuh dengan gambaran-gambaran yang tercipta di benaknya, dan menganggapnya sebagai sesuatu yang persis sama. Dari kekeliruan berpikir inilah, mereka kemudian memandang gambaran-gambaran mereka yang sesungguhnya subjektif menjadi sesuatu yang objektif, hanya karena mereka berinteraksi dengan orang-orang yang sepaham dengannya. Padahal, bagaimanapun juga pendapat relasi antarsubjek tetap berbeda dengan kenyataan objek. Yang mereka ciptakan bukan objektifitas, melainkan intersubjektifitas.
Realitas dalam filsafat dipahami tidak hanya satu lapis. Setidaknya ada dua lapis realitas yang perlu diketahui untuk mengenal hakikat kenyataan. Sains banyak bergerak pada lapis pertama realitas, sementara filsafat berkutat pada lapis keduanya. Dua jenis realitas yang terhubung dengan dua jenis ilmu dan hakikatnya masing-masing bisa dipetakan sebagai berikut:
Terma Arab
|
Terma Barat
|
Hakikat
| |
Sains
|
المعقولات الاولية
|
Universalia Esensial
|
Esensi
(APA)
|
Filsafat
|
المعقولات الثا نية
|
Universalia Ekstensial
|
Eksistensi
(ADA)
|
Universalia Esensial disebut sebagai ma’qulāt al-awwaliyah (yang terpikirkan pertama kali) adalah karena esensi atau ke-APA-anlah yang pertama kali manusia cerap saat bertemu dengan realitas. Tetapi di balik esensi/ke-APA-an terdapat sesuatu yang menjadi tempat berdirinya. Sesuatu itu bernama eksistensi/ke-ADA-an. Karena eksistensi/ke-ADA-an hanya bisa dipahami setelah menyadari esensi/ke-APA-an, maka ia kemudian disebut sebagai ma’qulāt al-tsāniyah (yang terpikirkan kedua kali).
Tetapi benarkah antara APA (esensi) dan ADA (eksistensi) adalah sesuatu yang tidak persis sama? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan analogi berikut. Jika terdapat dua subjek yang berdekatan –sebut saja si A dan si B– maka secara esensial terdapat tiga entitas. Yakni, ada si A, ada si B, dan ada jarak antara si A dan si B. Tetapi, meski terdapat tiga entitas esensial, namun secara eksistensial hanya terdapat satu ada. Kenapa? Karena adanya si A, si B, dan jarak antarkeduanya tidak ada perbedaan. Ketiganya sama-sama ada, dan tidak terdapat perbedaan dari jenis-jenis adanya mereka masing. Dengan kata lain, secara esensial terdapat tiga keberadaan, tetapi secara eksistensial hanya ada satu keberadaan. Ini membuktikan antara APA dan ADA adalah dua hal yang berbeda.
Meski ada pembedaan tersebut, bukan berarti sains dan filsafat sama sekali tidak memiliki titik temu. Titik temu filsafat ini ada pada salah satu ilmu yang dikenal sebagai Epistemologi. Epistemologi berasal dari kata Greek, episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu, sehingga secara sederhana epistemologi diartikan sebagai ilmu tentang ilmu pengetahuan, atau ilmu tentang pemerolehan pengetahuan.
Pembedaan APA dan ADA ini juga sangat membantu untuk memetakan jenis pengetahuan yang lain:
1. Mempelajari APA dengan APA à Sains
2. Mempelajari ADA dengan APA à Filsafat
3. Mempelajari ADA dengan ADA à Mistisisme
Mempelajari
|
Dengan
|
Ilmu
|
Apa
|
Apa
|
Sains
|
Ada
|
Apa
|
Filsafat
|
Ada
|
Ada
|
Mistsisme
|
Pertemuan Filsafat dan Islam
Pada mulanya filsafat masuk ke dunia Islam melalui Logika. Banyaknya perbedaan versi hadis dan tafsir yang berkembang di tengah umat Islam ketika itu berpotensi melahirkan perpecahan jika tidak ditengahi. Di sinilah Logika memegang peran penting dengan mengajarkan seleksi kebenaran sebuah hadis dan tafsir adalah seberapa logis pesan yang dimuatnya. Di situlah umat Islam mulai lebih banyak menggunakan akal sehatnya.
Meski demikian, pada perkembangannya para penguasa takut bila rakyatnya mahir dalam menggunakan akalnya, karena berpotensi mengganggu kekuasaan mereka. Oleh karena itu, dengan dalih Qur’an dan Hadits para penguasa memaklumatkan logika dan filsafat sebagai sesuatu yang berbahaya dan merugikan Islam. Maka di beberapa kalangan umat muncul istilah populer:
من تفلسف فقد تفس ومن تمنتق فقد تجندق
Barang siapa yang berfilsafat maka dia fasiq
dan barang siapa yang bermantiq maka dia zindiq
Sejak saat itu filsafat kemudian mengalami mati suri untuk beberapa waktu. Filsafat kemudian kembali muncul dan berkembang pesat di dunia Islam pada zaman kholifah Harun al-Rosyid, yang konon disebut sebagai zaman keemasan Islam.
Di samping filsafat, di dunia Islam dikenal beberapa aliran pengetahuan yang pernah dominan mewarnai dunia pemikiran Islam. Aliran-aliran pengetahuan tersebut antara lain:
1. Aliran-aliran Filsafat (المذاهب الفلفية), tokoh-tokohnya seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Nasrudin al-Tusi, dan Ibnu Rusyd.
2. Aliran-aliran Kalam/Teologi (المذاهب القلامية), tokohnya misalnya para Ahlu Hadist, Mu’tazilah, Asy’ariah, dan lain sebagainya.
3. Aliran-aliran Sufi (المذاهب الصوفية), misalnya thariqat-thariqat.
4. Aliran-aliran Fiqh (المذاهب الفقهية).
Dalam filsafat, yang berkembang pertama kali adalah aliran Peripatetik –dalam Islam disebut Masya’i- yang sangat terpengaruh oleh pemikiran tokoh filsuf Yunani, Aristoteles. Salah satu karya besar Aristoteles yang membahas logika dan sangat besar pengaruhnya pada awal pertemuannya dengan Islam adalah Organon.
Kalam sendiri pada awal kemunculannya menorehkan sejarah kelam, di mana perdebatan-perdebatan awalnya menjadi berdarah hanya karena memperdebatkan persoalan yang sesungguhnya sepele. Seperti, apakah al-Qur’an itu khaliq atau makhluq? Apakah dia qadim atau hadits? Dan lain sebagainya. Diskusi tentang persoalan-persoalan tersebut bukan hanya melahirkan perbedaan, tetapi pertumpahan darah karena dipaksa berganti keyakinan. Tentu persoalan yang dibahas bukan sebatas masalah kalamullah (firman Allah). Banyak persoalan lain seperti sifat Tuhan, akal dan wahyu, serta kebangkitan di akhirat adalah beberapa persoalan yang juga ramai dibicarakan. Tetapi karena persoalan kalamullah itu yang dominan di masa awalnya, maka ilmu tersebut kemudian dikenal sebagai Ilmu Kalam.
[1] Tulisan ini disarikan dari bahan ceramah Dr. Muhsin Labib di kelas Filsafat Peripatetik, ICAS-Paramadina pada hari Jumat, 14 Maret 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar