BANTEN
MILIK RAKYAT BUKAN MILIK TOPENG
Oleh:
@DheniGholler
Ketika kata sudah tidak
lagi bermakna, pemberontakan pun menjadi keniscayaan, ketika makna sudah tidak
lagi di jadikan pijakan maka kenihilan menjadi konsekuensi logis.
Seolah suara-suara
perlawanan terhadap ketidakadilan sudah tidak lagi berhembus. Maka penindasan
akan terus berjalan, dan bahkan bisa terus merajalela dimana-mana, membabi buta
seolah tidak ada hukum yan mengatur itu semua. Imprealisme, kolonialisme, menjadi
sebuah kepastian yang tidak bisa di bantah bahkan tidak terbantahkan lagi.
Begitupun penindasan
yan ada di banten, seakan-akan telah menjadi setan, iblis, bahkan rajanya setan
yan mengerikan mungkinkah ini kutukan, atau perbuatan, atau hanya bayangan semata.
Kini orang-orang yang dahulu menjadi oposisi menjadi tidak peduli dengan
daerahnya sendiri, lalu siapa yan pantas di salahkan_? Yang melawan atau yang
diam__? Dan lalu siapa yan di untungkan
yan diam ataukah yan melawan _?
Apakah mungkin kita ini
terlalu egois dalam melihat realitas ini_? seolah rasionalitas kita sebagai
mahasiswa, penerus bangsa, perubah bangsa, agen of change, agen of control, agen of analisis, sudah hilang bahkan
lenyap di gantikan dengan skeptisisme naif. Diskursus yang kita banun dahulu
mengenai penghancuran rezim sudah mulai pudar, punah bahakan musnah mungkin. Kini
semua mahasiswa asal banten yang ada di indonesia di sibukan dengan
kepentingannya masing-masing. Mereka di benturkan dengan bayangan masa depan
mau jadi apa saya kedepan? Mau kemana arah saya kedepan? Padahal meraka dan
tentunya kita hidup di daerah lingkaran penjajah baru, kesadaran revolusioner
mahasiswa kini telah hilang di lahap bung toga dan bungkusan kertas yang ada di
map. Petanyaannya hanyalah dua kenapa,dan bagaimana? mari kita bangunkan mereka
yang sedan tertidur dengan ketidak sadarnya itu_!. kita bangkit bersama-sama dan
kita rapatkan barisan untuk menghancurkan rezim-rezim dinasti yang selama ini
mengeksploitasi kesadaran kita, bahkan menindas kita secara perlahan-lahan,
yang membungkam nalar kritis kita untuk tidak lagi menjadi intelektual sejati,
tetapi kita semua di paksa untuk di
jadikan teknokrat-teknokrat biadab, untuk pro terhadap status quo.
Sangat lacur rasanya
ketika daerah kelahiran kita di jajah oleh orang pribumi lalu kita sebagai
warga pribumi terdiam seperti kucing yang kekenyangan. Bahkan lebih sangat
lacur ketika mereka menganggap orang-orang yang bergerak untuk melawan penjajah
pribumi telah di tunggangi oleh kelompok yang memiliki kepentingan. Seandainya
keheningan malam dapat menjawab semua realitas ini mungkin kita sudah tidak
lagi pantas di kategorikan sebagai manusia ketika terdiam, bahkan tiarap
melihat daerah kita di jajah oleh pribumi.
Banten yang berdiri
pada 17 oktober 2000 dan di masa itu telah berhasil memisahkan diri dari jawa
barat merupakan bukti konkret bahwa banten ingin mandiri secara ekonomi,
sosial, budaya, pendidikan dll. Dan
ingin menjadi daerah istimewa, dan mampuh menjadi kota madani. Wahai daerahku tercinta engkau saat ini sudah
berusia 13 tahun, seharusnya engkau sudah jaya. Melihat kekayaan yang saat ini
lumayan berlimpah. Wilayah barat tertanam lumbung padi, pantai pesisir yang
indah nan elok, dan tambang emas. Di wilayah selatan terdapat kepingan batu
bara, lautan yang megah terhampar luas, di wilayah utara terhampar
rempah-rempah dan di wilayah timur di banjiri industri yang menyaingi ibu
kota. Seharusnya dengan kekayaan itu
banten mampuh menghidupi rakyatnya sendiri, dengan kesejahteraan, baik dalam
bidang ekonomi, pendidikan, kebudayaan, pangan, dan bahkan mampuh menciptakan
sumberdaya manusia yang stabil, dan canggih.
Sebetulnya kesalahan
terbesar bukan olehmu wahai “banten” tetapi kesalah itu di sebabkan oleh
segelintir orang yang kini menjadi pemimpinmu sebut saja Tante Atut Chosyiah,
Dewan perwakilan rakyat, dan dinas-dinasmu yan tidak jelas itu, yang jauh akan
pemahaman teori tentang sistem kenegaraan, bahkan para pemimpin-pemimpin yang
ada di banten kebingungan dengan fungsi dan tugasnya sebagai pemimpin, oleh
karena itu mereka cenderung oportunis-pragmatis semuanya. Ketika sistem negara kacau bahkan tidak
berfungsi dengan semestinya maka yang mejadi korban bukanlah pemimpin tetapi
rakyat banten. Coba tengok berapa kemiskinan, gizi buruk, pendidikan, dll, Dalam
negara yang memiliki sistem demokrasi, saya teringat kepada kata-kata montesqui
dan abraham lincon. Demokrasi pada dasarnya sistem kekuasaan yang berasal dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Selain itu sistem kekuasaannya pun di
bagi menjadi tiga kategori yaitu adanya eksekutif, legislatif, dan juga
yudikatif. Yang sering di sebut oleh montesqui sebagai trias politica, dan
ketiganya ini memiliki fungsinya masing-masing, tetapi di banten saat ini
ketiganya ini tidak berfungsi dengan semestinya.
Dalam negara demokrasi
seharusnya seala bentuk kebijakan yang di tetapkan oleh wakil rakyat tidaklah
menghisap bahkan tidak pula menindas rakyat. Dan bahkan segala bentuk kebijakan
yang di tetapkan oleh wakil rakyat haruslah merakyat dan harus memiliki
argumentasi yang memanusiakan rakyat bukan sebaliknya. Humanisasi bukan (de)humanisasi.
Saya kira orang-orang kiri lebih peduli dengan kesejahteraan rakyat yang
menegaskan peniadaan Hak milik pribadi yang mengusung sistem sosialisme maupun
komunisme, dan orang kiri selalu mengatakan bahwa segala bentuk-bentuk
kebijakan pemerintah haruslah berangkat dari arumentasi rasionalitas
(memanusiakan manusia) bukan sebaliknya, dan ketika tidak demikian maka negara
haruslah melakukan Revolusi, baik revolusi struktur maupun cultur itulah yang
di ucapkan oleh kaum hegelian kiri.
Terkadang kita sering
terjebak dalam menerjemahkan bahasa kemerdekaan dengan pejajahan modern.
Praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, penghisapan, kemiskinan, baik
kemiskinan struktural, (birokrasi) maupun kemiskinan ilmu
pengetahuan(pendidikan) yang ada di
banten merupakan bagian dari penjajahan modern. Pada kenyataannya
praktek-praktek pemerintahan yang ada di banten bukanlah usaha untuk
memerdekaan rakyatnya tetapi itu semua lebih dari praktek-praktek
penjajahan-penjahan modern. Maka ketika perlawanan itu muncul itu adalah
keniscayaan. Memahami revolusi untuk banten saat ini bukan pada aspek
kesadaran, tetapi pada aspek material karena revolusi itu di luar bukan di
dalam (Lenin). Perubahan sosial yan membuat kesadaran kita untuk melawan bukan
kesadaran yang meruntuhkan perubahan sosial.
Ciputat 24 november 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar