MUI dan Problematika Label
Halal
Ada seseorang—sebut saja su`eb--masuk
ke sebuah mini market, orang tersebut melihat dan memilih makanan yang terdapat
di dalam toko tersebut. Ditemukan di dalam sebuah produk makanan bertuliskan
kata “halal”. Dan su`eb langsung
memakan makanan tersebut, lalu dia bergegas keluar. Tapi kemudian, ada seorang
penjaga toko yang meneriaki orang tersebut dengan teriakan “maling. . .maling. . . maling” dan kemudian orang tersebut digebuki sampai babak-belur dan diserahkan kepada polisi.
Dari sepenggal cerita di atas ada
beberapa permasalahan yang harus dijelaskan terlebih dahulu sebelum menentukan
siapa yang benar dan siapa yang salah. Karena penomena tersebut muncul dari
imajinasi penulis ketika melihat beberapa kemungkinan realitas yang terjadi di
bumi Indonesia.
Bagi
saya, ketika menganalisis kejadian tersebut, harus diawali dari pemahaman kita
mengenai kata “halal”. Dikatakan di dalam
ajaran Islam bahwa yang halal dan yang haram itu sudah sangat jelas dan
diantara keduanya adalah sesuatu yang dinamakan syubhat. Sudah jelas di dalam hukum Islam (syari`ah) khususnya dalam disiplin ilmu fiqh, yang dimaksud dengan
halal adalah sesuatu yang diperbolehkan untuk memakannya selama tidak
membahayakan bagi jiwa dan raganya.
Halal mencakup dua hal, pertama halal dalam dimensi dzat-nya dan yang kedua halal dalam dimensi sifatnya(termasuk dalam cara memperolehnya). Jika seandainya dilihat dari segi komposisi dasar pembuatannya halal tapi dari segi memperolehnya dengan cara mencuri, maka hal tersebut mengakibatkan sesuatu itu menjadi haram. Dan begitu pun ketika barang itu diperoleh dengan jalan mu`amalah tapi dari segi dzatnya itu haram (seperti: Babi, narkoba) maka secara otomatis sesuatu itu menjadi haram juga. Sesuatu bisa dikatakan halal jika telah memenuhi dua kriteria di atas yaitu dari segi dzat-nya dan dari segi sifat-nya.
Dalam konteks di atas, seseorang tersebut (su`eb) telah melihat label halal pada makanan yang ia makan. Label halal tersebut di keluarkan oleh lembaga keagamaan yaitu Majlis Ulama Indonesia (MUI). Konsuekwensi logisnya adalah bahwa MUI bertanggung jawab atas keterjaminan kehalalan makanan tersebut.
Masalahnya adalah bahwa MUI hanya sekedar mencantumkan lebel halal tanpa mencantumkan dan memberikan sebuah penjelasan yang jelas. MUI hanya sebatas mencantumkan label halal dengan menggunakan bahasa Arab tanpa “alif lam”. Halal dimaksud mengandung penafsiran yang universal atau umum, karena halal yang dicantumkan dalam segi ilmu kebahasaan Arab bermakna ”nakirah” yang berarti umum. Lawan dari nakirah adalah ma`rifat yang berarti bahwa sesuatu itu telah terketahui atau sudah dispesifikasikan.
Jadi dalam penafsiran saya halal yang dimaksud MUI itu bermakna umum (nakirah), mencakup aspek materi atau dzat yang menjadi bahan dasar pembuatan dan aspek sifat yang telah dijamin untuk langsung dimakan atau dikonsumsi tanpa harus melakukan sebuah transaksi terlebih dahulu.
Jadi sangatlah jelas bahwa dalam peristiwa diatas secara hukum syara`, su`eb tidak bersalah dan bukan seorang pencuri. Yang salah dalam hal ini adalah MUI yang secara sengaja mencantumkan label halal yang bernuansa umum bukan khusus. Dan sungguh ironis sekali ketika melihat fenomena seperti ini, orang yang dianggap mengerti dan sebagai penjaga tatanan agama dan masyarakat menetapkan sebuah kebijakan hukum syara` yang dapat menimbulkan kekacauan di dalam fenomena kemasyarakatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar