Oleh : Usep Ada dan Logis
Perubahan istilah Peropesa menjadi prOAK secara redaksional telah membawa angin segar bagi peletakan paradigma visioner dalam moment pengenalan kampus. Sayangnya hal ini tidak berbanding lurus dengan kegiatannya yang masih saja dibumbui dengan peraturan jahiliyah. Kostum Hitam Putih layaknya pelayan hotel, tidak ketinggalan atribut warna-warni dan topi panjang terbuat dari karton menjadi pemandangan lumrah disaat hari-hari Ospek mahasiswa baru. sekilas mereka tampak seperti para badut-badut, bedanya badut yang ini bukan untuk subjek hiburan sepeti pada umumnya tapi sebagai objek hiburan yang sengaja diperolok dibuat bodoh dan patuh tanpa kritis sedikit pun. Ironisnya segala peraturan irasional ini menjadi peraturan wajib bagi Mahasiswa baru sebelum berjibaku di dunia kampus dan bodohnya lagi Mahasiswa baru dengan penuh lemah mentaati peraturan jahiliyyah itu. Dalih menguji ketaatan dan kedisiplinan Mahasiswa rasanya dipenuhi dengan ketidakjujuran, bayangkan saja, manamungkin tas pelastik dan topi karton menjadi tolok ukur soal ketaatan dan kedisiplinan Mahasiswa. Darimana kesimpulan bodoh ini dibangun jika bukan dari rasa arogan dan ketidakjujuran berfikir? Sungguh paradoks jika harus dikaitkan dengan gelar agent of change yang selama ini disandang oleh Mahasiswa, tampaknya gagasan ini menjadi absurd manakala melihat kenyataan tadi. Sederhananya, hajat perbadutan mahasiswa baru yang terlanjur membudaya, sudah selayaknya dipertimbangkan ulang.
Proyek ini dinilai gagal dan anti klimaks. selain prOAK kali ini masih saja lekat dengan nuansa kejahiliyahan, kegagalan lain muaranya dapat kita temukan dalam langkah yang diambil oleh rektorat dengan memukul rata tema prOAK bagi seluruh Fakultas. Kenapa tidak diarahkan melalui kebutuhan dasar yang harus dihadapi oleh para mahasiswa di fakultas masing-masing yang jelas sangat berbeda dan beragam. Contoh, ekonomi kerakyataan jauh lebih menarik untuk di fakultas ekonomi, begitu pula dengan isu keislaman yang notabene berada dalam wilayah keushuluddinan tentu jauh lebih baik jika menjadi tema fakultas Ushuuddin. Terlebih prOAK kali ini memang di fokuskan pada tingkatan fakultas. Focus ini seyogyanya menjadi pertimbangan dasar bagi penentuan tema secara bebas untuk diusung oleh masing-masing fakultas dengan terlebih dahulu disesuaikan dengan kebutuhan yang dihadapinya.
Jargon Kebangsaan pun menjadi salah satu arah proyek besar yang tidak serta merta lolos perdebatan, kecurigaan berawal dari ketidakseriusan materi dan kurikulum selama dua hari OAK. Tanpa pra-prOAK, kebijakan sepihak dan nol transfaransi pun menjadi bincangan tersendiri yang memberikan kesan prOAK tertutup, menakutkan dan otoriter. Artinya, Embel-embel Kebangsaan pun hanya sebagai fomalitas saja, jargon Kebangsaan sengaja dipasang untuk menepis isu-isu negative yang selama ini melilit kampus, mulai dari isu teroris yang melibatkan beberapa mahasiswa, sampai isu NII KW 09 yang dinahkodai panji gumilang mantan ketua IKALUIN (ikatan alumni UIN). Di saat yang sama prOAK pun terkesan sebagai klarifikasi public saja yang justru mengesampingkan adanya transformasi nilai-nilai kebangsaan secara hakiki.
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ushuluddin
Dan Penggiat PIUSH (Pojok Inspirasi Ushuluddin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar