TIGA MENGAPA
Roman ini disulam dengan
kecupan malam, ia bercerita tentang bulan, matahari dan pergantian antara
keduanya. sesekali kita pura-pura tak tahu karena sandiwaranya terlalu
berlebihan. Namun kelabu tak kunjung dilumat matahari. aku menunggu, tentu
menunggu halaman terakhir dari roman tebal yang kita tulis setiap hari. Aku
tahu, Kita sedang mencari halaman yang hilang, bahkan sebenarnya tidak ada.
Tahukah, aku ingin menulis tiga kali mengapa saat melihat kita lemas tak
waras.
Mengapa kita tergesa-gesa
menulis roman fatalis ini? Mengapa pula kita membacanya berulang-ulang setiap
hari sepulang kau menari? Mengapa kau memarahi pensil teman kita saat menulis
kata per kata, lalu aku dipaksa membanting buku yg kita tumpuk berminggu-minggu,
hingga kau dan aku bertengkar saat halaman itu tetap saja hilang, atau
sebenarnya tak ada?
Tiga mengapa ini ku tulis
disampingmu, benar-benar saat bersamamu. Sesekali kita terlihat berpandangan,
meski pura-pura saja. Jujur, Aku sebenarnya melihat keningmu dan kamu diam-diam
bergeser sejengkal kebawah; kau menatap tajam komat-kamit bibirku dengan
was-was hingga aku tak berani menulis mengapaku yg keempat. Aku takut kau
menantang Tuhan, menuduh aku menulis halaman itu lalu menelannya.
Malam ini tiba-tiba kau
menulis beberapa halaman untuk menghibur pembaca di Bumi. Kau selipkan apa saja
yg kau benci, memutarkan rotasi, hingga matahari kau paksa terbit diujung
barat. Kau telah melepaskan dadu, dan aku dipaksa bertaruh. Inikah
halaman hilang yg kita inginkan? Atau matahari esok akan kembali menelannya,
lalu kita bertengkar lagi, menulis lagi, lalu kembali hilang .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar