Pengetahuan
Tuhan:
Satu Tema dalam
Dua Kerancuan
Kontruksi Kesimpulan dari Gambaran Sederhana
Pembahasan
dan pertentangan mengenai tema ketuhanan dari dulu sampai sekarang memang tidak
ada dan mungkin tidak akan pernah ada habisnya. diawal apakah Tuhan itu ada
atau tidak ada. Lantas kemudian para pemikir mencoba untuk mengurai sebuah
penjelasan secara terperinci dan menghadirkan berbagai argumentasi rasional
mengenai keberadaan dan ketidakberadaan Tuhan tersebut.
Katakanlah
bahwa Tuhan itu memang ada. Kemudian dalam tradisi intelektual Muslim
melanjutkan kajian lebih intensif mengenai pengetahuan Tuhan. Dan telah ada dua
pemikir yang hadir dan keduanya saling bertentangan pemahaman mengenai
pengetahuan Tuhan tersebut. Pernyataannya adalah bahwa Tuhan itu Sang Maha
Mengetahui (al-`ầlim). Lantas kemudian
yang menjadi permasalahannya adalah begaimanakah kedua pemikir Muslim tersebut
yaitu al-Ghazali dan Ibn Rusyd dalam mengurai dan menggambarkan mekanisme Tuhan
dalam mengetahi sesuatu (alam).
Al-Ghazali
berpendapat bahwa Tuhan mengetahui alam semesta ini mencakup pada wilayah yang terperinci
(juziyyah, particular). Tuhan mengetahui
apapun yang ada dan yang terjadi di alam semesta ini secara mendetail. Tidak ada
sedikitpun kesukaran bagi Tuhan untuk mengetahui segala apapun yang terjadi di alam
ini. Pemahaman seperti ini merupakan suatu reaksi dari pemahaman para pemikir (failasuf) pendahulunya bahwa Tuhan tidak
patut mengetahui hal-hal yang kecil.
Kesan
yang ditimbulkan dari pemahaman al-Ghazali adalah bahwa pengetahuan Tuhan
bersifat dinamis dan berubah-ubah.pola pengetahuan Tuhan mengikuti dan sejalah
dengan perkembangan perubahan alam semesta. Sifat dasariah alam adalah bahwa
alam akan selalu terbaharui atau selalu berubah.
Pada
abad XII, Ibn Rusyd hadir sebagai sosok pemikir yang bertentangan dengan
pendangan al-Ghazali. Ia mengeluarkan sebuah gagasan yang berbeda dengan
al-Ghazali. Jika al-Ghazali berkesimpulan bahwa pengetahuan Tuhan itu bersifat
menyeluruh terhadap hal-hal yang mendetail, lantas Ibn Rusyd berpendapat bahwa
pengetahuan Tuhan itu bersifat universal. Tuhan hanya mengetahui
perkara-perkara yang besar. Tidak pantas bagi Tuhan mengetahui berapa kilogram
kah tepung terigu yang menjadi behan dasar dalam pembuatan kue bolu, dan
sebagainya.
Analogi Sederhana
Jika
kita analogikan pengetahuan Tuhan dari kedua pemahaman di atas, sama halnya
dengan pertanyaan siapakah yang telah membangun Monumen Nasional (Monas) yang
ada di Jakarta. Jika kita hadirkan dua orang untuk menjawab pertanyaan tersebut
akan memunculkan dua jawaban yang sama namun dengan argumentasi yang berbeda. Keduanya
mungkin akan menjawab bahwa yang mendirikan bangunan tersebut adalah Ir.
Soekarno. Namun pertanyaan selanjutnya adalah apakan benar Soekarno secara langsung
terjun ke lapangan dalam pembangunan Monas tersebut. Apakah Soekarno tahu
berapa sak semen yang telah
dikeluarkan untuk mendirikan Monas tersebut, dan lan sebagainya.
Memang
benar bahwa Monas adalah hasil kreasi Soekarno pada zamannya. Akan tetapi untuk
mewujudkan kreasi tersebut, para kuli bangunan lah yang secara langsung
bersentuhan atas pendirian bangunan Monas. Soekarno hanya sebatas memiliki daya
kekuatan pikiran dan gagasan yang kuat atas suatu kreasi yang maha dahsyat
secara universal.
Rekontruksi Pemahaman
Saya
sekarang malah berfikir lebih melampaui dari ke dua pemikir muslim tersebut. Bukan
lagi pada wilayah apakah Tuhan mengetahui yang umum (universal) atau yang terperinci (particular), akan tetapi mempertanyakan dan memikirkan sebenarnya
yang disebut “pengetahuan” Tuhan itu seperti apa. Apakan dalam mengetahui
sesuatu Tuhan itu sama halnya seperti Manusia dalam mengetahui dunia objektif,
ataukah pengetahuan yang seperti apa.
Bagi
manusia, pengetahuan merupakan hasil dari persentuhan antara subjek terhadap
objek. Intensionalitas subjek terhadap suatu objek akan menghasilkah suatu
gambaran-gambaran sederhana mengenai apa yang manusia pikirkan atas sesuatu
tersebut. Dari hasil aktivitas manusia berfikir dan mengetahui, akan terbgi
atas dua bagian, yaitu pengetahuan yang menyeluruh, dan pengetahuan yang
terperinci.
Tuhan
yang Maha Entah dan tidak terbatas selalu digambarkan dan dianalogikan kepada
sifat-sifat kemanusiaan yang terbatas, termasuk dalam masalah pengetahuan
Tuhan. Mungkin ini suatu permasalahan yang seriur bagi kita mengenai pemahaman
kita terhadap Tuhan. Paham tengenai antropomorfisme
(mutasyabih) masih kental terjadi pada pemahaman manusia. Tuhan selalu
disederhanakan kepada sifat-sifat kemanusiaan. Dan apakah hal tersebut layak
dan dapat dijadikan sebagai suatu kebenaran?
Lantas
kemudian sebenarnya apakan yang disebut dengan “Tuhan Maha Mengetahui”? dan
apakah kita tidak akan pernah mengetahui secara sejatinya inti dari pengetahuan
Tuhan, karena Tuhan sendiri merupakan sesuatu yang maha melampaui dan Maha tak
terbatas? Sejauh mana manusia mengetahui pengetahuan Tuhan? Ataukan biarkan
manusia tidak akan pernah mendapatkan suatu pemahaman utuh tentang pengetahuan
Tuhan. Atau mungkin kah karena ketidakpahaman manusia atas Tuhan dan Pengetahuannya
merupakan suatu bentuk pemahaman sendirinya.
Wallahu a`lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar