PLURALISME DAN RADIKALISME AGAMA
Makalah
Disusun untuk memenuhi persyaratan ujian akhir (UAS)
Dalam Mata Kuliah Flisafat Agama
Oleh
Dedi Sutiadi
NIM:
109033100012
Dani Ramdani
NIM:
109033100026
PROGRAM
STUDI AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS
USHULUDDIN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGRI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2011 M
1431 H
PLURALISME DAN RADIKALISME AGAMA
A.
Pendahuluan
Perkembangan zaman yang syarat
dengan kemajuan dalam bergam aspek dan pembangunan peradaban baru dengan tegas
dijawab Agama dengan keeksistensiannya dalam keikutsertaannya beraktualisasi
dalam bermacam fenomena yang berkembangn di zaman baru ini. Walau sempat
diisukan kehilangan perananya dalam arus global namun nampaknya hal itu sekali
lagi tegas dapat dijawab Agama dengan keteguhannya berada di era ini tanpa
harus terinfilterasi oleh fenomena-fenomena dan nomena-nomena yang yang
belakangan ini marak terjadi.
Yang menarik kemudian adalah bahwa
beragam fenomena sosial yang terjadi belakangan ini tidak sidikit yang beroman
atau bernuansakan agama dengan lugasnya mengusung simbol-simbol keagamaan.
Inilah mungkin yang dimaksud cak Nur dalam tulisannya yang dimuat Jurnal Ulumul Quran tahun 1993, yang
memberikan statement bahwa “Peta dunia sekarang ditandai oleh konflik dengan
warna keagamaan. Meskipun agama bukan merupakan satu-satunya faktor, namun
jelas sekali bahwa pertimbangan keagamaan dalam konflik-konflik itu dalam
eskalasinya banyak memainkan peran.”
Tantangan yang kita hadapi dewasa
ini sebenarnya bukan dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya, akan
tetapi tantangan pemikiranlah yang sedang kita hadapi saat ini. Sebab persoalan
yang ditimbulkan oleh bidang-bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya
ternyata bersumber dari pemikiran. Di antara tantangan pemikiran yang paling
serius saat ini adalah dibidang pemikiran keagamaan. Tantangan yang sudah lama kita
sadari adalah tantangan internal yang berupa kejumudan, fanatisme, taklid buta,
dan sebagainya.
Sedangkan tantangan eksternal yang
sedang kita hadapi saat ini adalah masuknya paham liberalisme, sekulerisme,
relativisme, pluralisme dan radikalisme agama dan lain sebagainya, kedalam
wacana pemikiran keagamaan kita. Hal ini disebabkan oleh melemahnya daya tahan
umat islam dalam menghadapi glombang globalisasi dengan segala macam bawaannya.
Makalah singkat ini akan membahas
salah satu tantangan eksternal dengan memfokuskan pada kajian pluralisme dan
Radikalisme agama beserta sejarah, faktor-faktor, penyebaran, dampak dan
solusinya. Mengingat paham ini telah begitu menyebar dan telah merasuk kedalam
wacana keagamaan kita dan di adobsi tanpa sikap kritis oleh beberapa kalangan
termasuk kita selaku mahasiswa.
B.
Pluralisme Agama
Secara
etimologis, pluralisme agama berasal dari dua kata, yaitu “pluralisme” dan
agama. Dalam bahsa Arab diterjemahkan “al-ta’addudiyyah
al-diniyyah” dan dalam bahasa Inggris “relogious
pluralism”. Oleh karena itulah istilah pluralisme agama ini berasal dari
bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada
kamus bahasa tersebut. Pluralism
berarti “jama” atau lebih dari satu. Dalam kamus bahasa Inggris memiliki tiga
pengertian. Pertama, pengertian
kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam
struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara brsamaan, baik
bersifat kegerejaan ataupun non-kegerejaan. Kedua,
pengertian filosofis: ber pengertian filosofis: berarti sistem pemikiran yang
mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu.
Sedangkan ketiga, pengertian
sosial-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok,
baik bercorak ras, suku, aliran maupun partai engan tetap menjungjung tinggi
aspek perbedaan yangsangatkarakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut.[1]
Para
ahli bidang sosiologi dan antropologi cenderung mendefinisikan agama dari sudut
fungsi sosialnya, yaitu suatu sistem kehidupan yang mengikat manusia dalam
satuan-satuan atau kelompok-kelompok soisal. Pendapat ini didukung oleh
Durkheim, Robert N Bellah, Thommas Luckmann dan Clifford Geetz. Sedangkan
kebanyakan pakar teologi, fenomenologi, dan sejarah agama melihat agama dari
aspek subtansinya yangsangat asasi, yaitu sesuatu yang sakral. Pendapat
inidalah yangdiyakini oleh Rudolf Otto dan Mircea Eliade.
Dan jika “pluralisme” dirangkai dengan “agama”
sebagai prdikatnya, maka berdasarkan pemahaman tersebut diatas bisa dikataka
bahwa “pluralisme agama” adalah kondisi hidup bersama antar agama (dalam arti
yang luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan
ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama.[2]
Namun
dari segi konteks di mana “pluralisme agama” sering digunakan dalam studi-studi
dan wacan-wacana sosio ilmiah pada era modern ini, istilah ini telah menemukan
difinisi dirinya sendiri yang sangat berbeda dengan yang paparkan sebelumnya:
definisi ini dikutip dari John Hick yang mnegaskan bahwa; pluralisme agama
adaah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan
konsepsi yang berbeda tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang
beragam terhadap, yang riil dan yang maha agung dari dalam pranata kultural
manusia bervariasi; dan bahwa tranformasi wujud manusia dari pemusatan-diri
menuju pemusatan hakikikat terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing
pranata kultural manusia tersebut, dan terjadi sejauh yang dapat diamati,
sampai pada batas yang sama.[3]
Dengan
kata lain, Hick ingin menegaskan bahwa sejatinya semua agama adalah merupakan
manifestasi-masnifestasi dari
realitas yang satu. Dengan demikian, semua agama sama dan tidak ada yang lebih
dari yang lain. Sangat jelas, rumusan Hick tentang pluralisme agama di atas
adalah berangkat dari pendekatan subtantif, yang mengungkung agama dalam ruang
prifat yang sangat sempit, dan memandang agama lebih sebagai konsep hubungan
manusia dengan kekuatan sakral yang transendental dan bersifat metafisik
ketimbang sebagai suatu sistem sosial. Dengan demikian telah terjadi proses
pengebirian dan reduksi pengertian agama yang sangat dahsyat. Sesungguhnya
pemahaman yang agama yang reduksionalistik inilah yang merupakan “pangkal
permasalahan” sosio-teologis modern yangsangat akut dan kompleks yang tidak
mungkin terselesaikan dan ditemukan solusinya kecuali dengan dengan
mengembalikan agama itu sendiri ke habitat aslinya, ke titik orbitnya yang
sebenranya, dan kepada pengertiannya yang benar dan komperhansif, dan tidak
reduksionalistik.
Dan justru mengejutkan, bahwa fakta di
lapangan menunjukan ternyata pemahaman reduksionalistik inilah justru yang
semakin populer dan bahkan diterima di kalangan para ahli dan berbagai disiplin
ilmu pemikiran yang berbeda, hingga menjadi sebuah fenomena baru dalam apa yang
sudah dikenali secara umum. Yang unik dalam fenomena baru ini adalah bahwa
pemikiran persamaan agama ini, tidak saja dalam memandang eksistensi riil
agama-agama, namun juga dalam memandang aspek esensi dan ajarannya (syariat),
sehingga dengan demikian diharapkan akan tercipta suatu kehidupan bersama antar
agama yang harmonis, penuh toleransi, saling menghargai, atau apa yang biasa
disampaikan pluralis sebagai Pluralisme Agama.
Terlepas dari itu semua, fenomena pluralitas
agama telah terjadi menjadi fakta soisal nyata yang harus dihadapi masyarakat modern. Untuk pertama kali
dalam sejarahnya, manusia menyaksikan dirinya secara global hidup berdampingan
dengan berbagai penganut agama yang berbeda dalam satu negara. Dalam satu kota
dan dalam satu wilayah dan bahkan dalam satu gang yang sama. Fenomena demikian
bagi masyarakat yang belum terbiasa dan belum dan belum memiliki pengalaman
dalam berkoeksistensi damai, seperti barat, tentunya akan menibulkan
problematika tersendiri sehingga, sehingga memakasa para ahli dari disiplin
ilmu untuk meformalisakan suatu solusi maupun pendekatan untuk merespon
problematika tersebut.
Dari
sinilah kemudian muncul sejumlah teori pluralisme agama, yang mungkin bisa diklasifikasikan,
sesuai denga pokok-pokok pemikiran dan karakter utamnya. Ke dalam empat
katagori, yaitu:
(a)
Humanisme
Sekuler;
Secara umum,
konsep Humanisme Sekuler bercirikan “antroposentris”, yakni menganggap manusia
sebagai hakikat sentral kosmos (center of
cosmos), atau menempatkannya di titik sentral. Pada hakikatnya, pemikiran
akan sentralitas manusia sebagai referensi nilai dalam segala hal adalah
pemikiran yang cukup tua yang akar-akarnya bisa ditelusuri pada paruh kedua
abad ke-5 SM, yaitu pemikiran protogoras (sekitar tahun 490-420 SM), seorang
pemuka kaum Sophist. Dari filosof inilah ditemukan prnyataan bahwa “manusia
adalah satu-satunya standar bagi segala sesuatu”.[4]
(b)
Teologi Global;
Derasnya arus
globalisasi telah mempengaruhi secara nyata dan signifikan munculnya
gagasan-gagasan dan wacan-wacana teologis baru yang sangat radikal, yang
intinya menganjurkan bahwa tidak perlu bersikap resisten dan menentang
globalisasi dan globalisme yang sudah nyata-nyata menjadi sebuah kenyataan dan
tidak mungkin menghindarinya, dimana jagad telah semakin mengkerut dan
sekat-sekat atau batas-batas geografis telah meleleh. Sebaliknya, manusia harus
mengubah atau merombak pemikiran-pemikiran dan keyakinan-keyakinan agama
tradisional agar seirama dengan semangat zaman, zeitgeist, dan nilai-nilainya yang diyakini “universal”. Hanya saja
yang tampak kemudian secara menonjol dari pembacaan kritis terhadap
gagsan-gagasan teologi global ini ternyata hanyalah sebuah upaya sistematis
yang menggunakan topeng teologis untuk meletakan dasar-dasar teologis bagi
sebuah teori baru yang sangat krusial,yang dewasa ini dikenal dengan toeri
“pluralisme agama”.[5]
(c)
Singkretisme;
Tren
sungkretisme tampak sebagai fenomena yang begitu mengesankan dalam sejarah
pemikiran agama, dulu maupun kini. Tren Singkretisme adalah suatu kecenderungan
pemikiran yang berusaha mencampur dan merekonsiliasi berbagai unsur yang
berbeda-beda bahkan bertolak belakang yang diseleksi dari berbagai agama dan
yang ada. Sebagaiman diketahui secara luas, singkretisme sebagai tren
pemikiran, dalam prosesnya selalu mengandaikan adanya lingkungan kultural dan
pemikiran yang toleran terhadap perbedaan dan keragaman serta menghormatinga,
dan disaat yangsam juga mengsakrlakan “relativisme” semua bentuk nilai-nilai
moral, aqidah dan tradisi yang ada di dunia.[6]
(d)
Hikmah Abadi;
Hikmah abadi
adalah “hakikat esoteric” yang
eternal yang merupakan asas dan esensi dari segala sesuatu yang wujud dan
terekspresikan dalam bentuk “hakikat-hakikat exoteric” dengan bahsa yang berbeda-beda. Hakikat pertama adalah
“hakikat transenden” yang tunggal, sementara yang kedua adalah “hakikat
religius” yang merupakan manifestasi ekternal yang beragam dari hakikat
transenden tadi. Cara pandang ini kemudian menjadi pakem Hakikat Abadi dalam
memandang segala realitas atau hakikat yangada dalm wujud, termasuk hakikat
keberagaman atau pluralitas agama. [7]
Hanya saja
keempat tren tersebut, jika ditelaah lebih lanjut berakhir pada muara yang
sama. Yaitu memberikan legitimasi yang setara kepada semua agama yang ada, agar
dapat hidup berdampingan bersama secara damai, aman, penuh, tenggang rasa,
toleransi, dan saling menghargai. Serta tanpa adanya persaan superioritas dari
salah satu agama di atas yang lain. Setidaknya inilah nilai-nilai yangingin
diwujudkan oleh tren-tren tersebut dan inilah yang kini dikenal dengan secara luas
dengan istilah pluralisme agama.
C.
Radikalisme Agama
Kasus radikalisme agama tidak
terkecuali masuk dalam ‘dilema’ penjelasan tetang fenomena agama. Dari segi
etimologis saja istilah ‘radikalisme’ masih mengundang berbagai pertanyaan.
Ciri-ciri apa saja yang dapat masuk dalam ‘Radikalisme’? apakah ia selalu
mengandaikan kekerasan, aktivisme politik anti kemapanan, ataukah lebih
bermuatan religius? Bila radikalisem dikaitkan dengan semangatkeagamaan, apa
beda istilah ini dengan puritanisme? Sebaliknyajika iadikaitkan dengan tujuan
politik, apakah bisa dibedakan dari gerakan seperti ektrimisme dan
fundamentalisme? Perrtanyaan lain yang berhubungan dengan gerakan keagamaan
tentunya bisa dikemukakan lebih lanjut.
Mengadopsi temuan Horace M.Kallen, radikalisme
sosialpalig tidak dicirikan oleh tiga kecenderungan umum. Pertama, radikalisme merupakan respon terhadap
kondisi yangsedang berlangsung. Biasanyarespon tersebut muncul dalam bentukevaluasi,
pelwanan atau penolakan. Masalah-masalahyang itolak bisa berupa asumsi,
ide,lembaga, atau nilai-nilai yang dipandang bertanggungjawab
terhadapkeberlangsungan kondisi yang ditolak. Kedua, radikalisme tidak
berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berusaha mengganti tatanan
tersbut dengan bentuk tatanan lain. Ciri ini menujukan bahwa dalamra dikalisme
terkandungsuatu program atau pandangan dunia tersendiri. Kaum radikalisme
berusaha keras berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai gnti
dari tatanan yan ada. Dengan demikian sesuai dengan kata radic , sikap radikal mengandaikan keinginan untukmengubah keadaan
secara mendasar. Ketiga, kuatnya kyakinan kaum radikalis akn kebenaran program
atau ideologiyang mereka bawa. Sikap pada saaat yang sama dibrengi dengan
penafian kebenaran sistem lain yang akan diganti. Dalam gerakan sosial,
keyakinan tentang kebenaran program atau filosofi sering dikombinasikan dengan
cara-cara pencapaian yang mengatasnamakan nilai-nilai ideal seperti kerakytan atau
kemanusiaan. Akan tetapi keyakinan tersebut dapat mengakibatkn munculnya sikap
emosional di kalangan kaum raikalis.[8]
Radikalisem agama dalam tulisan ini
mencoba mengakajinya dari beberapa pendekatan tiga agama yaitu Islam, Katholik,
Protestan. Dan agar tidak mencedrai pembahasannya disni kami mengambil pendapat
tokoh yang berlatarbelakang agma tersebut,a gar kjian ini tetap objektif dan
komperhsip. Tidak semua tokoh sepakat menggunakan istilah radikalisme dalam
menjelaskan gejala-gejala serupa dalam tradisi agama yang menjadi objek
bahasan.
Th. Sumtrana lebih memilih kata
fundamentalisme dalam menjelasakan gejala-gejala agama yang terdapat dalam
tradisi protestan, sedangkan Tarmizi Tahir dan Eddy Krisyanto-Franz Magnis
Suseno menggunakan radikalisme untuk menggambarkan fenomena serupa dalam Islam
dan Katolik. Perbedaan ini terjadi karna fenomena yang ditemukan oleh
masing-masing penulis berbeda, sehingga dibutuhkan suatu penerapan istilah yang
lebih mampu mewkili realitas.
Radikalisme Agama dalam Islam
Meskipun Tarmizi Taher dan Eddy
Krisyanto-Franz Magnis Suseno menggunakan istilah radikalisme, makna asosiatif
yang dijabrkan keduanya tidak sama. Ng Tarmizi Taher mengasosiasikan kata
tersebut dengan kata gerakan-gerakan keagamaan dalam Islam yang cenderung
menoloak mdel keberagamaan konservatif serta sistem nilai sosial politik
sekuler, gerkan tersebut dicirikan oleh keinginan untuk menerapkan ajaran Islam
secara menyeluruh dalam kehidupan kluarga, konomi, politik dan budaya. Tekanan
pada politik sangat kuat, sebgaimna yang terermin dalampemikiran tokoh
al-Ikhwan al-Muslimin, Sayyid Qutub, dan pemimpin Jamaat-i –Islami, Abul A’ala
Maududi. Mereka secara tegas memandang bahwa negara Islam meruakan salah agenda
pokok yng harus diperuangkan dalam rangka mewuudkan kehidupan yang Islami.
Sudah disinggung seblumya bahwa
gerakan radikal dalam sejarah Islam memiliki agenda yang berbeda.
Secaraidealmerekamemang berusaha untuk menerapkan ajaran-ajaran agamasecara
menyeluruh, tetapi metode dan pemahaman atas teks suci serta
impiratif-impiratif yang dikandungnya saling berbeda. Hal ini terkait erat
dengan suasana zaman serta respons
masyarakat yang duhadapi. Ketika Abdul Wahhab melancarkan purifikanisme,
masyarakat ketika itu beum menghadapi kekuatan barat. Oleh karena itu sasaran
yang dicanangkan oleh Abdul Wahhab terbatas terbatas pada komunitas
internalmuslim.
Memasuki fase abad sembilan belas,
suasana dunia telah berubah dan menuntut suatu respons yang lebih luas. Pada
masa ini barat telah uncul sebagai kekuatan dunia yang telah mendominasi
keberadaan Muslim. Muhammad Abduh, Jamluddin al-Afgani dan Rsyid Ridha adalah
manifstasi dari realitas Muslimyang merasakan supermasi tersebut. Agenda
pembaharuan Islam pun berkembang, dari persoalan internal menuju eksternal. Di
satu sisi tokoh-tokoh reformis ini asih disibukan dengan agenda yang dihadapi
kalangan revivalis, tetapi di sisi lain mereka juga harus menghadapi tantangan
dari luar, yaitu modernisme.[9]
Kenyataan historis meunjukan bahwa
pada periode sesudahnya Islam tidak saja kalah, tetapi juga kehilangan
posisinya di tengah masyarakat. Pada saatyangsamadominasi politik, ekonomi dan
kultural barat melaju tidak terbendungkan dan meminggirkan posisi Islam. Dalam
konteks inilah gerakan kebangkitan Islam yang tadinya mengambil jalur kultural
dan teologis berubah menjadi gerakan politik dan ideologis.meskiun sama-sam
menghendaki kebangkitan Islam, kalngan radikalis cenderung bersikap reaksioner
dan idealistik. Peneguhan Islam dilakukan melalui penolakan non-Islam (Barat),dan
realitas historis kejayaan Islam dipakai sebagai ideologi alternatif bagi
masyarakat muslim.[10]
Radikalisme Agama dalam Katholik-Protestan
Sementara
dalam tradisi Katholik, Eddy- Franz Magnis Suseno tidak menemukan gerakan
radikal dalalah "m Katolik yangmempunyai tujuan mendirikan tatanan poltik
tersendiri. Tradisi Kristen, Kristen enurut mereka, sejaka awal telah terkena
proses sekularisasi, sehingga masalah-masalah politik relatif tidak mewarnai
gerakan radikalisme agama. Aspek yang ingin diperjuangkan oleh tokoh-tokoh
radikal dalam tradisi Katolik banyak menyangkut masalah keagamaan dan institusi
agama. Istilah “Fraticelli” menunjukan bahwa persoaln yang diperselisihkan
lebih berpusat pada perbedaan interpretsi atas ajaran agama. Dan kalupun merembet
pada masalah otoritas dan istitusi agama, gerakan itu tidak sampai pada aspirsi
untuk mengganti tatanan politik.[11]
Menuru Sumartana, sama dengan yang
terjadi dalam tradisiKatolik, fundamentalisme Protestan tidak mengarahkan
agenda-agendanya untuk mencapai tujuan politik. Aspirsi yang utama yang hendak
diperjuangkan lebih bersifat keagamaan. Rata-rata aspirasi politik kaum
fundamentalis justru bersifat konservatif, dan dengan demikian berbeda
secaracontras dengan aspirasi kaum radikal dalam tradisi Islam. Akibatnya,
pihak yang dijadikan sasaran gerakan radikalis/ fundamentalis dalam Katolik
dalam Protesten berbeda dari gerakan srupa dalam Islam. Walaupun semuanya
menentang “aliran utama” yang ada dalam tradisi masing-masing.[12]
Masa kemunculan gerakan radikalisme/fundamentalisme
berbeda –beda dari satu tradisi satu agama ke tradisi yang lain. Kasus Islam
menunjukan bahwa, meskipun pada periode awal telah tercatatgerakan serupa,
radikalisme justru tumbuh subur pada zaman modern. Kenytaan tersebut mirip dengan
Protestan, dimana gerakan fundamentalisme juga merebak pada masa modern.
Katolik memiliki kecenderungan yang berbeda, karena, menurut Eddy- Franz
Magnis, gejala tersebut hanya dijumpai pada abad pertengahan. Dengan
demikian,masalah-masalah sosialyang bersinggungan dengan gerakan radikalisme-fundamentaisme
dari masing-masing tradisi tidak sama. Misalnya, kasus Islam dan protestan
mungkin bersiggungan dengan dengan budaya modern, tapi kasus Katolik sama
sekali tidak.
D.
Penutup
Gagasan tentang Pluralisme agama,
yakni kesetaraan agama, sepintas tampak sebagai solusi yang menjanjikan
harapan-harapan dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, namun kajianyang lebih mendalam, obyektif dan
kritis terhadap gagasan tersebut, telah menunjukan hakikat yangjustru sebaliknya,
dan justru menyikap topeng yang menyembunyikan wajah aslinyayang ternyata
bengis, tak ramah dan toleran. Disamping kontradiksi yangsangat jelas dengan
arti etimologis pluralisme agama, gagasan ini sebenarnya mendukung problem yang
sangat krusial. Sebagian diantarnya adalah problem etimologis, dan sebagian
lainnya adalah problem metodologis, dan lainnya adalah problem teologis,
sehingga ketika diimplementasikan dalam kehidupan nyata secara apa adanya jelas
justru akan menimbulkan problem-problem yang berlawanan secara diametral dengan
tujuan-tujuan yang semulaingin dicapai. Sehingga yang terjadi adalah intoleran
dan bukan toleran, pemaksaan dan bukan kebebasan, kezaliman dan bukan keadilan,
dan lain sebagainya. Oleh karna itu gagasan ini adalah problem itu
sendiridaripada soslusi.
Kemudian adapun tentang gagasan
radikalisme agama yang tadi sudah coba diurai melalui pedekatan tiga tradisi
Agama yakni Islam, Katolik, dan Protestan terlihat jelas berbeda dari sisi
sejarahnya dan respons kemunculannya, namun ada juga kemiripannya. Namun, meski
terlihat terdapat kemiripan sekaligus perbedaan
dalam masing-masing kasus, gerakan radikalisme/fundamentalisme dalam
Islam, Katolik dan Protestan menampakan karakteristk umum yang berlaku bagi
seluruhnya diantaranya yang menonjol adalah kecenderunagan harfiah dalam
memahami ajaran agama atau teks suci. Kaum radikalis juga memiliki sikap teguh
bahkan cenderung tidakmau kompromi dalam memegang kebenaran yang
diyakini.sikapini pada saat yang sama dibarengi dengan sikap emosional dalam
menyikapi perbedaan. Bebrapa kasus menunjukan bahwa bentrokan antara kaum
radikalis dan ‘mainstream’ sering
mengakibatkan timbulnya kekerasan. Ksamaan karkteristik ini menunjukan bahwa
istilah radikalisme atau fundamentalisme tetap dapat dijadikn sebagai titik
tolak dalam memahamifenomena keagamaan tertentu. Akan tetapi, perbedaan,
kekhususan dan detil dari masing-masing kasus tetap harus dipertimbangkan.
Dengan cara ini terbuka peluang untukmencapai sebuah pemahaman yang tidak
menggeneralisasi keuniakn suatu peristiwa.
Daftar Pustaka
Bahtiar
Effendy dan Hendro Prasetyo. Radikalisem Agama. Jakarta: PPIM, 1998.
Edited by C.T.
Onions. Oxford English Dictionary. Oxford:
The Clarendon Press, 1933
Malik Thoha, Anis. Tren Pluralisme Agama. Jakarta: Gema Insani, 2006.
[1] Edited by C.T. Onions. Oxford English Dictionary. (Oxford: The
Clarendon Press, 1933), h. ...
[2] Anis Malik Thoha. Tren Pluralisme Agama. (Jakarta: Gema
Insani, 2006), h. 13-14
[3] Anis Malik Thoha. Tren Pluralisme Agama. (Jakarta: Gema
Insani, 2006), h. 15
[4] Anis
Malik Thoha. Tren Pluralisme Agama. (Jakarta:
Gema Insani, 2006), h. 51
[5] Anis Malik Thoha. Tren Pluralisme Agama. (Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 70
[6]Anis Malik Thoha. Tren Pluralisme Agama. (Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 90
[7]Anis Malik Thoha. Tren Pluralisme Agama. (Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 111
[8] Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo. Radikalisem Agama. (Jakarta: PPIM,
1998), h. xvi
[9]Tarmizi Taher, ed. Bahtiar
Effendy dan Hendro Prasetyo. Radikalisem Agama.
(Jakarta: PPIM, 1998), h. 41
[10]Tarmizi Taher, ed. Bahtiar Effendy dan Hendro
Prasetyo. Radikalisem Agama. (Jakarta:
PPIM, 1998), h. 42
[11] Bahtiar Effendy dan Hendro
Prasetyo. Radikalisem Agama. (Jakarta: PPIM, 1998), h. xxiii
[12] Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo. Radikalisem
Agama. (Jakarta: PPIM, 1998), h. xxiv
PESAN IMAM MAHDI MENYERU UNTUK PARA IKHWAN
BalasHapusBENTUKLAH PASUKAN MILITER PADA SETIAP ZONA ISLAM
SAMBUTLAH UNDANGAN PASUKAN KOMANDO BENDERA HITAM
Negara Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu
Untuk para Rijalus Shaleh dimana saja kalian berada,
bukankah waktu subuh sudah dekat? keluarlah dan hunuslah senjata kalian.
Dengan memohon Ijin Mu Ya Allah Engkaulah Pemilik Asmaul Husna, Ya Dzulzalalil Matien kami memohon dengan namaMu yang Agung
Pemilik Tentara langit dan Bumi perkenankanlah kami menggunakan seluruh Anasir Alam untuk kami gunakan sebagai Tentara Islam untuk Menghancurkan seluruh Kekuatan kekufuran, kemusyrikan dan kemunafiqan yang sudah merajalela di muka bumi ini hingga Dien Islam saja yang berdaulat , tegak perkasa dan hanya engkau saja Ya Allah yang berhak disembah !
Firman Allah: at-Taubah 38, 39
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu jika dikatakan orang kepadamu: “Berperanglah kamu pada jalan Allah”, lalu kamu berlambat-lambat (duduk) ditanah? Adakah kamu suka dengan kehidupan didunia ini daripada akhirat? Maka tak adalah kesukaan hidup di dunia, diperbandingkan dengan akhirat, melainkan sedikit
sekali. Jika kamu tiada mahu berperang, nescaya Allah menyiksamu dengan azab yang pedih dan Dia akan menukar kamu dengan kaum yang lain, sedang kamu tiada melarat kepada Allah sedikit pun. Allah Maha kuasa atas tiap-tiap sesuatu.
Berjihad itu adalah satu perintah Allah yang Maha Tinggi, sedangkan mengabaikan Jihad itu adalah satu pengingkaran dan kedurhakaan yang besar terhadap Allah!
Firman Allah: al-Anfal 39
Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi, dan jadilah agama untuk Allah.
Peraturan dan undang-undang ciptaan manusia itu adalah kekufuran, dan setiap kekufuran itu disifatkan Allah sebagai penindasan, kezaliman, ancaman, kejahatan dan kerusakan kepada manusia di bumi.
Ketahuilah !, Semua Negara Didunia ini adalah Negara Boneka Dajjal
Allah Memerintahkan Kami untuk menghancurkan dan memerangi Pemerintahan dan kedaulatan Sekular-Nasionalis-Demokratik-Kapitalis yang mengabdikan manusia kepada sesama manusia karena itu adalah FITNAH
Firman Allah: al-Hajj 39, 40
Telah diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi, disebabkan mereka dizalimi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa untuk menolong mereka itu. Iaitu
orang-orang yang diusir dari negerinya, tanpa kebenaran, melainkan karena mengatakan: Tuhan kami ialah Allah
Firman Allah: an-Nisa 75
Mengapakah kamu tidak berperang di jalan Allah untuk (membantu) orang-orang tertindas. yang terdiri daripada lelaki, perempuan-perempuan dan kanak-kanak .
Dan penindasan itu lebih besar dosanya daripada pembunuhan(al-Baqarah 217)
Firman Allah: at-Taubah 36, 73
Perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagai mana mereka memerangi kamu semuanya. Ketahuilah bahawa Allah bersama orang-orang yang taqwa. Wahai Nabi! Berperanglah terhadap orang-orang kafir dan munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.
Firman Allah: at-Taubah 29,
Perangilah orang-orang yang tidak beriman, mereka tiada mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan tiada pula beragama dengan agama yang benar, (iaitu) diantara ahli-ahli kitab, kecuali jika mereka membayar jizyah dengan tangannya sendiri sedang mereka orang yang tunduk..
Bentuklah secara rahasia Pasukan Jihad Perang setiap Regu minimal dengan 3 Anggota maksimal 12 anggota per desa / kampung.
Bersiaplah menjadi Tentara Islam akhir Zaman sebelum anda dibantai oleh Zionis,Salibis,Munafiq dan Musyrikin
Siapkan Pimpinan intelijen Pasukan Komando Panji Hitam secara matang terencana, lakukan analisis lingkungan terpadu.
Apabila sudah terbentuk kemudian Daftarkan Regu Mujahid
ke Markas Besar Angkatan Perang Pasukan Komando Bendera Hitam
Negara Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu
Mari Bertempur dan Berjihad dalam Naungan Pemerintah Khilafah Islam, berpalinglah dari Nasionalisme (kemusyrikan)
email : seleksidim@yandex.com
Dipublikasikan
Markas Besar Angkatan Perang
Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu