MAKALAH
FILSAFAT MANUSIA: PENDEKATAN DUNIA
MODERN
Dhany
Ramdhany: 109033100026
AQIDAH FILSAFAT, USHULUDDIN, UIN
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012
Abstrak
Manusia
sebagai makhluk yang tinggal di muka bumi ini, merupakan satu jenis makhluk
yang sangat unik. Keberadaan (eksistensi) manusia selalu dipertanyakan oleh
dirinya sendiri. Di satu sisi dia berperan sebagai subjek, dan di sisi lainnya
ia berposisi sebagai objek. Manusia mampu untuk mengetahui apa yang sebelumnya
tidak ia ketahui.
Subjek
yang mempertanyakan objeknya sendiri, kemudian ia mencari jawaban atas objek
yang diselidiki, menghasilkan berbagai macam pemahaman atas penapsiran tentang
manusia. Berbagai pendekatan pun dilakukan, mulai dari pendekatan manusia
sebagai makhluk biologis, sosial, psikilogis, pendekatan filosofis, pendekatan
agama dan lain sebagainya. Hal demikian dilakukan oleh manusia demi mendapatkan
suatu pemahaman yang totalitas tentang manusia.
Dalam
tulisan ini, penulis berupaya untuk melakukan sebuah penjelasan mendasar tentang manusia dari sudut pandang dunia Modern.
Sebuah pembabakan zaman, dimana manusia modern mencoba untuk mengupas esensi
manusia secara mendalam dan radikal. Secara deduksi, kongklusi sederhana dari
proyeksi besar adalah “memanusiakan manusia”.
Key
word:
Manusia, Modern, Filsafat, Esensi dan Eksistensi.
Pendahuluan
Filsafat Manusia adalah merupakan suatu cabang Filsafat yang mencoba
untuk menjelaskan dan mengupas
tentang arti menjadi manusia. Maksud dan tujuannya adalah supaya manusia memiliki sebuah pemahaman tentang
asal dan tujuan manusia hidup di dunia milik bersama ini.
Filsafat Manusia termasuk
dalam kajian Ontologi atau Metafisika Filsafat. Berawal dari
pertanyaan tentang “ke-apa-an”,
melahirkan berbagai macam jawaban dari manusia yeng mempermasalahkan “keber-ada-an” manusia itu sendiri.
Dengan kata lain, Manusia
biasa disebut juga dengan Antropologia Metafisika atau Psikologi Metafisis,
karena Manusia adalah
mahluk yang berhadapan langsung dengan diri sendiri dalam dunianya.
Ada
beberapa keuntungan mempelajari filsafat manusia, yaitu untuk mendapatkan pemahaman tentang Hakekat (esensi) Manusia
dan mendapatkan Fungsi dari keberadaan (eksistensi)
manusia di dunia
milik bersama ini.
Di
dunia Barat khususnya dalam tradisi filsafat, manusia dikaji dalam beberapa
pendekatan, diantaranya adalah: pertama, Metode Kritis yaitu
Melakukan sebuah kegiatan kritis dari
pendapat para filusuf tentang manusia. Biasanya dengan metode ini tidak membawa
ke arah pemahaman yang benar-benar positif. Kedua, Metode Analitika Bahasa yaitu Bertitik tolak pada penggunaan bahasa sehari-hari
dengan menyelidiki hubungan bahasa dengan pikiran, dan kegunaan bahasa dalam
ilmu pengetahuan dan filsafat. Ketiga,
Metode
Fenomenologi yaitu sebuah Metode yang berusaha untuk menemukan kembali pengalaman asli dan
fundamental melalui beberapa langkah, yaitu fenomena hanya diselidiki sejauh
disadari secara langsung, dan fenomena diselidiki sejauh merupakan bagian dari
dunia yang dihidupi sebagai keseluruhan.
Di
dalam Barat, kita sering mendengar sebuah ungkapan yang dicetuskan oleh
Descartes, Cogito Ergo Sum (Aku
berfikir maka aku ada). Pernyataan itu adalah formulasi kesadaran zaman modern
yang terus dipertahankan hingga abad ke-20. Dari pernyataan tersebut, kita
dapat memahami bahwa manusia manusia dapat mengenali dan mengengetahui keberadaannya melalui rasionya (aktivitas
berfikir).
Manusia dalam
Kacamata Sebagian Filsuf Barat Modern
§ Rane Descartes (1596-1650)
Descartes disebut sebagai Bapak Filsafat Modern atau
bapak Rasionalis Modern yang terkenal dengan ungkapan “Cogito Ergo Sum” yang di dalam bahasa inggris dibahasakan menjadi “I think therefore I am” (Aku berfikir
maka Aku ada). Konsep berfikir digunakan Descartes dalam pengertian yang sangat luas. Sesuatu
yang berfikir menurutnya adalah sesuatu yang meragukan, memahami, mengerti,
menegaskan, menolah, berkehendak, membayangkan dan merasakan. Karena berfikir
adalah esensi dari pikiran dan pikiran akan terus selalu berfikir.[1]
Menurut Descartes, manusia terdiri dari
dua subtansi, yaitu jiwa dan materi. Jiwa rasional yang membedakan antara
manusia dengan yang lainnya seperti tumbuhan dan hewan. Baginya, hewan dan
tumbuhan tidaklah memiliki jiwa karena mereka hidup dalam keadaan alamiah (autometic). Dalam segi persamaannya,
antara manusia dengan hewan adalah terletak pada materinya (jasmaniah), tubuh
manusia bersifat otomatis tidak bebas, tunduk kepada hukum-hukum yang berlaku
atasnya. Menurutnya badan adalah sebagai I`homme
Machine atau mesin yang bergerak sendiri.[2]
Posisi
jiwa mempunyai peranan yang sangat menentukan, yaitu sebagai pengendali mesin
otomatis tersebut. Dengan kata lain pandangan Descartes seolah mengindikasikan
adanya sebuah dualisme yaitu adanya dua realitas terpisah antara jiwa dan badan
akan tetapi memiliki hubungan yang sangat kuat dan saling mempengaruhi.
§
Thomas Hobbes (1588 – 1679)
Bagi
Hobbes, pengetahuan pengetahuan harus didasarkan pada pengalaman dan observasi.
Baginya, Tiada pengetahuan yang bersifat apriori seperti yang telah
dicetuskan oleh Descartes. Terhadap dunia batiniah, seperti perasaan,
jiwa dan lainnya bisa diketahui melalui observasi dalam bentuk intropeksi.
Berdasarkan intropeksi dan observasi inilah, Hobbes menjabarkan pandangan
materialisnya tentang manusia dan masyarakat.
Menurut
Hobbes, Sifat dasar
manusia adalah bersaing, agresif, loba, anti sosial dan bersifat kebinatangan. Negara berfungsi untuk menyatukan
manusia untuk tidak saling memebunuh. manusia
adalah makhluk yang pada dasarnya ingin memuaskan kepentingannya sendiri yaitu
untuk memelihara dan mempertahankan dirinya sendiri dengan mencari kenikmatan
dan mengelak dari rasa sakit. Karena manusia bijaksana adalah manusia yang mampu memaksimalisasi
pemenuhan keinginan-keinginannya untuk kesejahtraan individualnya. Pandangan
etis tentang pemeliharaan diri ini disebut egoisme
dan sejauh pemeliharaan diri disamakan dengan pencarian kenikmatan disebut
dengan hedonisme.[3]
§
Jean Jacques Rousseau (1712 – 1778)
Berbeda
dengan Hobbes, menurut Reusseau Manusia
merupakan mahluk baik, masyarakat yang membuat manusia jahat (mementingkan diri
sendiri dan bersifat merusak), Negara berfungsi untuk memungkinkan manusia untuk
mendapatkan kembali sifat kebaikannya yang asli.
Dia
menegaskan bahwa dalam keadaan asali manusia hidup damai dan tidak dihalangi
oleh konvensi-konvensi yang sesat. Dia membayangkan waktu itu manusia mengembara
keluar masuk rimba, tanpa industri, tanpa bahasa, tanpa rumah tanpa keinginan
untuk menyakiti makhluk-makhluk lain, dan berkedudukan sama diantara mereka.
Perbedaan manusia dengan hewan baginya tidak terletak pada rasionya, melainkan
pada kemampuan kehendaknya yang mengatasi sifat otomatis sebab bersifat rohani.[4]
§
Martin
Heidegger (1889-1976)
Pemikiran
Heidegger dalam priode pertama adalah pembahasan tentang “ada”, dan
satu-satunya makhluk yang mempertanyakan tentang “ada” adalah manusia. Manusia
mengajukan pertanyaan ontologis tersebut karena ia mempunyai pengertian tentang
hakikat ‘ada”. Haidegger kurang
menempatkan manusia sebagai objek pembahasan filosofisnya sehingga dalam
karangannya “Being and Time” ia
jarang sekali menggunakan ungkapan “manusia”, sehingga ungkapan-ungkapan
seperti aku, subjek, pesona, kesadaran yang
sering dipakai dalam terminologi filsafat itu pun jarang sekali ditemukan dalam
karyanya.
Menurut
Heidegger manusia ditunjukan sebagai “dasein”, yaitu istilah yang nampaknya
sulit untuk diterjemahkan dalam bahasa-bahasa lain. Dalam istilah ini
terkandung pengertian bahwa manusia pada hakikatnya adalah “ada”(sein) yang berada di sana(da). Manusia tidak ada begitu saja,
melainkan senantiasa secara erat berkaitan dengan adanya sendiri, berbeda
dengan benda-benda objektif lainnya manusia selalu terlibat aktif dalam
“ada-nya”.[5]
Dasein juga mengandung arti
`mengalami waktu`, waktu ketika belum ada, waktu ketika mulai ada, waktu saat
terakhir ada dan waktu ketika tidak ada. Dasein memiliki rentang kehadiran,
dari lahir hingga mati, atau muncul dan lenyap. Ada faktor sejarah yang dialami
being selama rentang waktu kehadirannya dan juga memiliki kemungkinan ada dan
tidak ada dan keberadaannya bersifat relatif.[6]
Penutup
Apapun
yang dijelaskan dan dipahami oleh para Failasuf Barat Modern tentang manusia,
yang penting Ushuluddin.
Sumber Rujukan
Bertrand
Russell., “Sejarah Filsafat Barat”,terj, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2002)
DRS. Kaelan, “Filsafat Bahasa: Masalah dan
Perkembangannya”, ( Yogyakarta: Paradigma,
1998)
F.
Budi Hardiman, ”Filsafat Modern: Dari
Machiavelli sampai Nietzsche” (Jakarta: PT
Gramedia
Pustaka Utama, 2004)
Kusuma Ari Yuana., “The Greatets Philoshopher”, (Yogyakarta:
Andi, 2010)
[1]. Russell.
Bertrand, “Sejarah Filsafat Barat”,terj, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2002),
h.741.
[2].
Hardiman.
F. Budi, ”Filsafat Modern: Dari
Machiavelli sampai Nietzsche” (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004),
h.41.
[3]. Hardiman.
F. Budi, ”Filsafat Modern: Dari
Machiavelli sampai Nietzsche” (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004),
h.70.
[4]
. Ibid., h.116
[5].
DRS.
Kaelan, “Filsafat Bahasa: Masalah dan
Perkembangannya”, ( Yogyakarta: Paradigma, 1998), h. 195.
[6]. Yuana. Kusuma
Ari, “The Greatets Philoshopher”,
(Yogyakarta: Andi, 2010), h.290.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar