TAFSĨR
JÃMI’ AL-BAYÃN
karya
Abu
Ja’far Muhammad bin Jarîr Ath-Thabarî
Makalah
Disusun
guna memenuhi tugas mata kuliah “Membahas Kitab Tafsir Klasik”
Dosen
Pengampu:
Dr.
lilik Umi Kultsum, MA.
Oleh:
Turmudzi
PRODI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULAH
JAKARTA
1433
H/ 2012 M
A.
Pendahuluan
Periode
Mutaqaddimin yaitu dimulai dari akhir zaman tabi’inat tabi’in
sampai akhir pemerintahan dinasti Abbasiyah, kira-kira dari tahun 150 H/ 782 M
sampai tahun 656 H/ 1258 M, atau mulai abad II sampai abad VII H. Pada periode
ini, tafsir al-Qur’an mulai dikumpulkan tersendiri, dipisahkan dari kitab-kitab
hadits Nabi atau riwayat sahabat yang ditulis secara khusus dan independen
serta menjadikannya sebagai ilmu yang berdiri sendiri.
Jika
ditinjau dari segi metode yang diterapkan, penafsiran periode ini banyak
memakai metode tahlili, yaitu dalam menafsirkan ayat menggunakan penjelasan
yang rinci sekali, tidak sekedar memberikan penjelasan kata muradif (sinonim).
Tidak jarang pula ditemukan perbandingan tafsir satu ayat dengan ayat lainnya.
Dengan demikian, periode ini selain menggunakan metode tahlili juga
menggunakan metode muqarin walaupun dalam bentuk yang masih sederhana.
Penafsiran
yang mereka lakukan diatur sesuai dengan sistematika tertib ayat-ayat dalam
mushaf, mulai dari surat al-Fatihah sampai dengan surat al-Nas. Tafsir generasi
ini memuat riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Rasulullah saw, sahabat,
tabi’in dan tabi’it tabi’in dan terkadang disertai pen-tarjih-an
terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan dan penyimpulan (istinbath)
sejumlah hokum serta penjelasan kedudukan kata (i’rab) jika diperlukan,
sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Jarir ath-Thabari dalam karya kitab
tafsirnya Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wil Ayil Qur’an. [1]
Diantara
sekian banyak buku tafsir yang ada, tafsir ath-Thabari dinilai sebagai tafsir
paling istimewa, dimana ia dijuluki sebagai tafsir paling lengkap dan paling
agung.[2] Ia
merupakan tafsir bernilai tinggi yang sangat diperlukan oleh setiap orang yang
mempelajari tafsir. Bahkan buku tafsir ath-Thabari merupakan rujukan utama para
mufassir yang menaruh perhatian terhadap tafsir bil ma’tsur.[3]
Demikian
akan kami paparkan mengenai riwayat hidup Imam ath-thabari yang dilanjutkan
dengan penjelasan mengenai kitab tafsirnya, mulai dari sumber rujukan
penafsirannya, karakteristik hingga sistematika penulisan tafsir ath-Thabari.
B.
Biografi
Mufassir
Nama
lengkapnya adalah أبو
جعفر محمد بن جرير بن يزيد بن خالد الطبري . Ada pula pendapat yang menyebutkan أبو جعفر محمد بن جرير بن يزيد بن كثير بن غالب Beliau dilahirkan di kota Amul (آمل) yaitu ibu kota Thabaristan (طبرستان) di Persia (Iran). Mayoritas sejarawan
mengatakan bahwa Imam ath-Thabari dilahirkan pada 224 H/ 829 M. Semenjak dini,
beliau terarah untuk menuntut ilmu pengetahuan dan pandai mendalami ilmu-ilmu
agama. Kecerdasan dan kepiawaian beliau dalam hal mempelajari ilmu-ilmu telah
ditunjukkan sejak masih dalam usia yang dini. Ath-Thabari berkata,
(Aku telah hafal al-Qur’an ketika umurku tujuh
tahun, menjadi imam shalat ketika umurku delapan tahun, dan menulis hadits di
usia sembilan tahun.)
Imam
Ath-Thabari adalah seorang yang pandai ilmu qira’at, orang yang mahir memahami
kandungan makna, bijaksana terhadap hukum-hukum di dalam al-Qur’an, seorang
yang begitu mengetahui riwayat as-sunnah dan kualitas sanadnya baik yang shahih
maupun yang dha’if serta ilmu nasakh mansukh, juga seorang yang paham
betul akan keadaan dan kebutuhan manusia dalam memahami kandungan ayat
al-Qur’an.[5]
Mula-mula
Ath-Thabari menuntut ilmu di tanah kelahirannya sendiri, yaitu Amul. Kemudian
beliau pindah ke negeri tetangga (Ray, sebuah kota di Persia) dan mencari para
‘Ulama guna menimba ilmu dari mereka. Ia pun mengerahkan seluruh kemampuannya, mulai
dari mendengar penuturan guru secara langsung, menghafalnya, hingga
membukukannya.
Usaha
keras Ath-Thabari dalam menuntut ilmu pernah diceritakannya sebagaimana
berikut, Thabari berkata, ”Kami pernah menemui Ahmad bin Hamâd ad- Dûlaby, ia
tinggal disebuah daerah di Ray yang berjarak cukup jauh. Kami menyeberang
daerah perairan beberapa jauh, layaknya orang yang tidak waras hingga kami
sampai ditempat Ibnu Hamâd dan mendapati majelisnya.” Dari kota Ray, beliau
merantau ke Irak. Awalnya ia hendak menuju Baghdad untuk berguru langsung
kepada Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, namun hal itu tidak terwujud karena Imam Ahmad
terlebih dahulu meninggal dunia sebelum ath-Thabari sampai ke kota Baghdad.[6]
Kemudian
beliau beralih menuju Bashrah, disini beliau berguru pada seorang penghafal
hadis jenius, Abu Bakar Muhammad bin Bashar yang terkenal dengan nama Bundar.[7]
Setelah berguru di Basrah, ath-Thabari berguru di Kufah kepada Abu Kuraib
Muhammad bin Ala’ al-Hamdani dimana adalah seorang guru yang perlakuannya
sangat keras terhadap para muridnya, hingga banyak diantara mereka yang tidak
dapat menyelesaikan proses belajar di majelisnya. Selanjutnya ath-Thabari
mengembara ke Baghdad. Disamping mempelajari ilmu Hadits, ia juga mempelajari
ilmu Fiqih dan ilmu al-Qur’an, setelah itu ia pergi ke Mesir. Dalam
perjalanannya ke Mesir, ia menulis dari para syekh di Syam dan sekitarnya
hingga tiba di Fusthath (ibu kota Mesir lama pada masa pemerintahan shahabat
Amru bin Ash) dimana terdapat sejumlah syekh dan para ulama dari madzhab
Maliki, Syafi’i, dan Ibnu Wahb dan yang lainnya, lalu ia pun berguru kepada
mereka. Dari Mesir, Thabari kembali ke Baghdad, selanjutnya dari Baghdad, ia
pergi ke Thabaristan, namun tidak lama menetap, ia pun kembali ke Baghdad dan
bermukim disana hingga wafat pada hari ahad akhir Syawal dua hari sebelum bulan
Zulqa’dah tahun 310 H.[8]
Ath-Thabari
memiliki madzhab sendiri yang cukup dikenal dan mempunyai pengikut yang disebut
madzhab Jariri. Namun madzhabnya tidak bertahan sampai sekarang, seperti
madzhab-madzhab yang masih ada. Sebelum mendirikan madzhab sendiri, beliau
bermadzhab Syafi’i.[9]
Ath-Thabari memilih hidup membujang hingga akhir hayat, Karena itu beliau
memiliki kesempatan yang sangat luas untuk mencari ilmu. Hidupnya dihabiskan
untuk belajar, mengajar dan menulis, sehingga tidak mengherankan jika beliau
sanggup menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti sejarah, hadits, bahasa,
sastra, dan lain sebagainya.[10]
C.
Kitab Tafsir
Ath-Thabari
Ath-Thabari
menamakan kitab tafsirnya جامع
البيان عن تأويل آي القرآن supaya menunjukkan atas karakteristik
penafsirannya, metode-metode penafsiran al-Qur’an dan pendekatan tafsirnya.
Ath-Thabari ingin menjadikan tafsirnya sebagai penghimpun penjelasan dalam
tafsir al-Qur’an, menghimpun pendapat-pendapat ‘Ulama, pemikiran
mujtahid-mujtahid, ijtihad para sahabat dan tabi’in, dalam hal riwayat atsar
dan pemikiran berdasar akal. Selain itu, Beliau ingin menjelaskan ta’wil setelah
penafsirannya, mengemukakan pendapat yang paling kuat dari berbagai pemikiran
para ‘Ulama, dan penarikan kesimpulan dan penetapan hokum yang paling shahih.[11]
Kitab Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi
al-Qur’an atau disebut juga Tafsir ath-Thabari, merupakan tafsir paling
berbobot, paling masyhur dan menjadi rujukan pertama dalam tafsir naqli (bil ma’tsur) yang terdiri dari 30 jilid
tebal.[12]
Ia juga menjadi rujukan penting bagi tafsir ‘aqli ( bil ra’yi) karena
mengandung isthinbat, pemaparan berbagai pendapat disertai tarjih yang
berpegang pada nalar dan penelitian yang akurat.[13]
Tafsir ath-thabari adalah kitab tafsir paling tua yang sampai kepada kita
secara lengkap. ketika didapatkan satu naskah manuskrip tersimpan dalam
penguasaan seorang amir yang telah mengundurkan diri, Amir Hamud bin Abdur
Rasyid, salah seorang penguasa Nejd. Tidak lama kemudian, kitab tersebut
diterbitkan dan beredar luas sampai di tangan kita, menjadi sebuah ensiklopedia
yang kaya tentang tafsir bil ma’tsur.[14]
Dari
kitab-kitab rujukan yang ada, bahwa semula kitab tafsir ath-Thabari lebih luas
isinya dari yang sekarang. Pengarangnya lantas meringkasnya menjadi seperti
yang dikenal dewasa ini. Hal ini juga dialami oleh kitab Tarikh-nya,
dalam Thabaqat al-Kubra, Ibn Subki mengungkapkan bahwa Abu Ja’far
Ath-Thabari pernah berkata kepada kawan-kawannya: “Apakah kalian bersemangat
untuk mendalami tafsir al-Qur’an?” “Berapa halaman?”, tanya mereka. Ia
menjawab, “30.000 lembar”, mereka menukas, “Barangkali umur kita habis sebelum
selesai membacanya”. Maka Ath-Thabari meringkasnya menjadi sekitar 3.000
lembar. “Apakah kamu bersungguh-sungguh untuk mengenal sejarah alam dari Adam
sampai masa kita sekarang?”, tanya Ath-Thabari lagi. “Berapa halaman?” tanya
mereka. Ia menyebutkan jumlah halaman seperti kitab tafsirnya. Mereka menjawab
dengan jawaban yang sama. Mendengar jawaban mereka, ia berkata, “Innalillah,
semangat telah padam”. Lalu ia meringkasnya dengan jumlah halaman seperti yang
ia lakukan terhadap tafsirnya.[15]
Diantara
tahap-tahap penting yang digunakan dalam penulisan beliau adalah: mempelajari
tema kajian, dan disini beliau tertumpu pada pendapat-pendapat yang ada yang
dikuatkan dengan sanad-sanadnya dari ayat, hadits dan atsar pada setiap ayat
al-Qur’an, sehingga kitabnya dapat mencakup seluruh pendapat yang ada, dan
hampir tidak ada celah yang kosong.
Dalam
muqaddimah kitabnya telah dijelaskan bahwa beliau memohon pertolongan
kepada Allah agar menunjukinya pendapat yang benar dalam menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an, mengenai ayat yang muhkam dan mutasyabih, perkara
halal dan haram, umum dan khusus, global dan terperinci, nasikh dan mansukh,
jelas dan samar, dan yang hanya menerima penakwilan dan penafsiran.
Imam
Ath-Thabari sangat bersungguh-sungguh dalam menjelaskan semua perkara itu, hal
ini terlihat dalam setiap bagian kitabnya, dimana ia meneliti dengan sangat
sabar setiap hadits dan atsar yang menyangkut penafsiran setiap ayat
al-Qur’an, tanpa pernah lalai menerangkan asbab nuzul-nya, hukum-hukum, qira’at,
dan beberapa kalimat yang maknanya perlu dijelaskan lebih detail. Semua itu
dilakukannya dalam rangka mewujudkan sebuah kitab tafsir yang lebih sempurna
dari yang pernah ada sebelumnya hingga dapat memenuhi kebutuhan seluruh
manusia.
Keinginannya
untuk menambah ilmu baru menjadikan buku tafsirnya semakin kuat dan kaya.
Dimana seorang pembaca akan menemukan ilmu baru yang tidak ditemukannya pada
buku yang lain. Hal ini tampak jelas pada gaya tulisan ath-Thabari
yang selalu melakukan perbandingan-perbandingan, dan ungkapan-ungakapan yang
sangat masyhur seperti: ”pendapat yang benar dalam hal itu menurutku adalah…”
atau “menurut kami”. Atau mengatakan,” pendapat yang paling benar diantara dua
pendapat ini …“.
Dengan
cara ini ath-Thabari telah menempuh langkah metodologis yang sangat penting,
dimana tafsir bukan hanya sekedar berisi penjelasan tentang riwayat-riwayat dan
atsar, yang kerap disebut dengan tafsir bil ma’tsur (tafsir dengan riwayat),
melainkan dengan karya ath-Thabari ini
telah bercampur dengan kajian analisa yang tidak keluar dari jalur kebenaran. Model
tafsir yang dihasilkan Imam ath-Thabari ini, dinilai sebagian ulama sebagai
karya yang baru.
Dapat
dikatakan bahwa tafsir ath-Thabari adalah penggabungan antara dua sisi tersebut
secara seimbang dan sempurna. Didalamnya terdapat sejumlah riwayat hadis yang
melebihi riwayat hadis yang ada dalam kitab-kitab tafsir bil ma’tsur
yang ada pada masanya. Kemudian di dalamnya terdapat teori ilmiyah yang
dibangun atas dasar perbandingan dan penyaringan antar pendapat. Itu semua dilakukan dengan mengkaji ‘illat,
sebab-sebab dan qarinah (sisi indikasi dalil).[16]
D.
Sumber Penafsiran
Ø Al-Qur’an
Ø Hadis Nabi saw
Ø Qaul Sahabat
Ø Qaul Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in
Ø Isra’iliyat
E.
Referensi dan Metode Penafsiran
Referensi Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari:
Ø Mushaf ‘Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abas (Tafsir Ibn ‘Abas)
Ø Tafsir bil ma’tsur para Tabi’in, seperti: Tafsir Mujahid, Tafsir
Qatadah, Tafsir ‘Ikrimah, Tafsir ‘Atha’, Tafsir Sa’id bin
Jubair, Tafsir Abi al-‘Aliyah, dan Tafsir al-Hasan al-Bashri.
Ø Tafsir para Tabi’it Tabi’in, seperti: Tafsir ‘Abd ar-Rahman bin
Zaid bin Aslam, Tafsir ‘Abd ar-Razaq ash-Shan’any, Tafsir Muqatil
bin Hayan, Tafsir ‘Abd al-Malik bin Juraij, Tafsir Sufyan
ats-Tsaury, Tafsir Waki’ bin al-Jarah, Tafsir Yahya bin al-Yaman,
dan yang lainnya.
Ø Tafsir-tafsir mengenai Tata Bahasa, seperti: Majaz al-Qur’an
karya ‘Ubaidah Ma’mar Ibn al-Mutsanna, Ma’ani al-Qur’an karya Abi
Zakaria, Ma’ani al-Qur’an karya Abi al-Hasan Sa’id bin Mas’adah (yang
terkenal dengan al-Akhfasy al-Ausath), Ma’ani al-Qur’an karya
‘Ali bin Hamzah al-Kisa’i. Serta banyak menukil pada Kitab al-Fara’, yang
kitabnya telah diterbitkan dalam tiga juz.
Ø Mengumpulkan tafsir-tafsir agung terdahulu, yang telah sirna
ditelan masa sehingga tidak sampai kepada kita. Oleh karena itu, Tafsir
ath-Thabari mengutip dalam pendapat-pendapat para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’it
tabi’in.[17]
Metode
Imam Ath-Thabari dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an disebut Metode Penghimpunan
(المنهج الجامع).
Menghimpun antara dua sumber pokok dalam penafsiran, yaitu: tafsir bil
ma’tsur terdiri dari penukilan dan jalur periwayatan, dan tafsir bayani
terdiri dari kemampuan bahasa dan pernyataan pendapat. Ibnu Jarir ath-Thabari
menghimpun antara dua sumber penafsiran yang utama (ma’tsur dan bayan),
kemudian menyusun keduanya dalam penafsirannya, dan memadukannya secara
sistematis, yang selanjutnya penarikan kesimpulan, penetapan hukum, serta
penunjukan dalil. Maka dari itu, Metode Jâmi’ dalam tafsir terdiri dari
tiga kaidah, yaitu Sunnah (الأثر),
Tata bahasa (اللّغة),
dan Pemikiran (النّظر).[18]
Metode
yang paling sempurna dalam tafsir yaitu perpaduan antara tafsir al-atsari
al-nadzari (منهج
التفسير الأثري النّظري) yang terdapat dalam kitab tafsir
ath-Thabari, karena beliaulah yang menyusun kaidah-kaidah metode ini. Tahapan
yang dimunculkan dalam metode tafsir atsari nadzari adalah:[19]
ü Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an
Contoh:
Firman Allah. Alquran ditafsirkan dengan
Alquran. Ini merupakan rujukan tertinggi dalam tafsir Alquran, karena Dialah
yang paling memahami firman-Nya. Berikut ini adalah beberapa contoh tafsir
Alquran dengan Alquran:
1. Allah
berfirman,
أَلا
إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Ketahuilah,
sesungguhnya wali-wali Allah, tidak ada ketakutan baginya dan mereka tidak
bersedih.” (QS. Yunus:62)Tentang siapakah wali Allah, tidak ditunjukkan dalam ayat ini. Di ayat berikutnya, Allah memberikan tafsirnya,
الَّذِينَ
آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“Yaitu,
orang-orang yang beriman dan bertakwa.” (QS. Yunus:63)2. Allah berfirman,
وَالأَرْضَ
بَعْدَ ذَلِكَ دَحَاهَا
“Bumi,
sesudah itu dihamparkan-Nya.” (QS. An-Nazi’at:30)Bagaimana bentuk Allah menghamparkan bumi, Allah jelaskan di ayat berikutnya,
أَخْرَجَ
مِنْهَا مَاءَهَا وَمَرْعَاهَا (*) وَالْجِبَالَ أَرْسَاهَا
“Dia memancarkan daripadanya mata airnya, dan
(menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya (*) Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan
teguh.” (QS. An-Nazi’at:31–32)
ü Menafsirkan al-Qur’an dengan hadits shahih
Contoh:
Tafsir
Alquran dengan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah penyampai risalah dari Allah, sehingga beliau adalah manusia yang paling
paham terhadap maksud semua firman Allah. Di antara contoh tafsir Alquran
dengan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah sebagai berikut:
1. Allah
berfirman,
لِلَّذِينَ
أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ
“Bagi
orang yang berbuat baik akan ada al-husna (surga) dan az-ziyadah (tambahan).”
(QS. Yunus:26)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menafsirkan bahwa yang dimaksud “az-ziyadah” adalah ‘melihat wajah
Allah’. Dari Shuhaib bin Sinan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
terkait firman Allah (QS. Yunus: 26), beliau bersabda, “Apabila penduduk surga
telah masuk surga, tiba-tiba datanglah seruan, ‘Sesungguhnya, kalian memiliki
janji di sisi Allah.’ Mereka mengatakan, ‘Bukankah Allah telah memutihkan wajah
kami, menyelamatkan kami dari neraka, dan memasukkan kami ke dalam surga?’
Penyeru itu mengatakan, ‘Betul.’ Kemudian, disingkaplah hijab (yang menutupi
wajah Allah). Demi Allah, tidak ada pemberian yang lebih mereka cintai melebihi
melihat wajah Allah.” (HR. At-Turmudzi, no. 2552; dinyatakan sahih oleh
Al-Albani)
2.
Firman Allah,
وَأَعِدُّوا
لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ
“Persiapkanlah
kekuatan yang kalian mampu, untuk melawan mereka (orang kafir).”
(QS. Al-Anfal:60)
Kata “kekuatan” dalam ayat ini telah
ditafsirkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
hadisnya: Dari Uqbah bin Amir radhiallahu ‘anhu, beliau mendengar
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkhotbah di atas mimbar dan membaca firman Allah
(QS. Al-Anfal: 60), kemudian beliau bersabda, “Ketahuilah, bahwa kekuatan
adalah memanah.” Beliau mengulangnya beberapa kali. (HR. Muslim, no. 1917)
ü Menafsirkan al-Qur’an dengan qaul (ijtihad) sahabat dan tabi’in
Contoh:
Ucapan
para sahabat.
Al-Quran
turun di zaman sahabat dan dengan bahasa yang digunakan dalam keseharian para
sahabat. Di samping itu, mereka adalah kelompok manusia yang paling benar
ucapannya setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
merekalah orang yang paling bersih dari kepentingan hawa nafsu, dan paling jauh
dari sifat berdusta atas nama Allah. Dalam diri para sahabat, terkumpul
sifat-sifat yang mulia dan sifat takwa.
Oleh karena itu, perkataan mereka terhadap
tafsir firman Allah lebih didahulukan daripada perkataan dari orang selain
mereka, terlebih lagi tafsir para sahabat yang tergolong pakar tafsir dan ulama
mereka, seperti: Khulafa’ Ar-Rasyidun, Ibnu Mas’ud,
Abdurrahman bin Auf, Ibnu Abbas, Sa’ad
bin Abi Waqqas, dan beberapa sahabat lainnya.
Di
antara penafsiran sahabat terhadap firman Allah adalah sebagai berikut:
وَإِنْ
كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ
“Jika kamu sakit, sedang dalam keadaan safar,
datang dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan ….”
(QS. An-Nisa’: 43)
Terdapat riwayat yang sahih dari
Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud “menyentuh wanita” pada ayat di atas adalah
jimak.
Perkataan
tabiin yang mengambil tafsir dari para sahabat.
Generasi tabiin merupakan generasi terbaik
setelah generasi para sahabat. Di zaman mereka, bahasa arab belum mengalami
banyak perubahan. Karena itu, perkataan mereka terhadap tafsir Alquran lebih
diutamakan daripada perkataan generasi setelahnya.
Di
antara contoh tafsir tabiin adalah firman Allah,
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُمْ
بِمُؤْمِنِينَ
“Di antara manusia ada orang yang mengaku, ‘Kami
beriman kepada Allah dan hari akhir,’ padahal mereka tidaklah beriman.”
(QS. Al-Baqarah:8)
Tentang
siapakah orang yang mengaku-aku sebagaimana disebutkan di ayat di atas, telah
ditafsirkan oleh seorang tabiin, Qatadah bin Di’amah, bahwa ayat ini berbicara
tentang orang munafik.
ü Menafsirkan al-Qur’an dengan bahasa
Contoh:
Tuntutan
makna bahasa arab atau makna syar’i, sesuai dengan konteks
kalimat.Ada banyak dalil yang menegaskan bahwa Alquran turun dengan bahasa arab, di antaranya:
1. Firman Allah,
إِنَّا
جَعَلْنَاهُ قُرْآناً عَرَبِيّاً لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya Kami menjadikan Alquran dalam
bahasa arab supaya kamu memahami(nya).” (QS. Az-Zukhruf:3)
2.
Firman Allah,
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ
“Kami tidak mengutus seorang rasul pun,
melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan
terang kepada mereka.” (QS. Ibrahim:4)
3.
Firman Allah,
وَكَذَلِكَ
أَنْزَلْنَاهُ حُكْمًا عَرَبِيًّا
“Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Alquran
itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa arab.” (QS.
Ar-Ra’d:37)
4.
Firman Allah,
وَكَذَلِكَ
أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا وَصَرَّفْنَا فِيهِ مِنَ الْوَعِيدِ
لَعَلَّهُمْ
“Demikianlah, Kami menurunkan Alquran dalam
bahasa arab, dan di dalamnya, Kami telah menerangkan sebagian dari ancaman
dengan berulang kali, agar mereka bertakwa.” (QS. Thaha:113)
Apabila terjadi perbedaan antara makna syar’i
dan makna lughawi
(bahasa) maka yang diambil adalah makna syar’i, karena Alquran diturunkan
untuk menjelaskan makna syar’i bukan makna lughawi,
kecuali jika terdapat indikator bahwa makna lughawi lebih kuat daripada makna syar’i.
Pada kondisi pengecualian tersebut, makna lughawi dianggap lebih kuat.
Contoh
terjadinya perbedaan tafsir makna syar’i dengan makna lughawi,
dan yang dikuatkan adalah makna syar’i, adalah firman Allah,
الَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ
“(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib,
yang mendirikan salat ….” (QS. Al-Baqarah:3)
Secara bahasa, salat artinya “berdoa”, sedangkan secara syar’i, salat adalah satu ibadah yang dilaksanakan dengan tata cara tertentu, dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Yang dimaksud “mendirikan salat” pada ayat di atas adalah salat dengan makna syar’i, karena seseorang baru dianggap mendirikan salat jika dia melaksanakan ibadah salat sebagaimana pengertiannya secara syariat.
Secara bahasa, salat artinya “berdoa”, sedangkan secara syar’i, salat adalah satu ibadah yang dilaksanakan dengan tata cara tertentu, dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Yang dimaksud “mendirikan salat” pada ayat di atas adalah salat dengan makna syar’i, karena seseorang baru dianggap mendirikan salat jika dia melaksanakan ibadah salat sebagaimana pengertiannya secara syariat.
Sementara contoh terjadinya perbedaan
tafsir makna syar’i dengan makna lughawi,
dan yang dikuatkan adalah makna lughawi, adalah firman Allah,
خُذْ
مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ
عَلَيْهِمْ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk
mereka. Sesungguhnya, doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah:103)
ü Penarikan kesimpulan kandungan ayat al-Qur’an, dalil-dalil, dan
hukum-hukumnya
Contoh:
F.
Tujuan Utama
Penafsirannya
Imam
Ath-Thabari menyusun kitab tafsir al-Qur’an berdasarkan metode-metode
didalamnya, langkah-langkah penyusunan tafsirnya, serta ilmu-ilmu pengetahuan
di dalamnya, hal ini karena:
v Ath-Thabari ingin menjadikan tafsirnya sebagai penjelas dalam
penakwilan al-Qur’an, dan menerangkan kandungan al-Qur’an.
v Ath-Thabari ingin menjadikan tafsirnya sebagai kitab yang memuat
seluruh perkara yang dibutuhkan manusia dari Ilmu Tafsir al-Qur’an, yakni
meliputi as-Sunnah, pemikiran (ra’yu), tata bahasa, balaghah, dan
aliran-aliran.
v Ath-Thabari dalam tafsirnya
ingin menunjukkan pendapat-pendapat yang telah disepakati oleh
‘Ulama-ulama tafsir terdahulu, serta menampilkan perbedaan-perbedaan pendapat
‘Ulama tersebut.
v Tidak meninggalkan kewajiban beribadah kepada Allah dalam
kebimbangan mengedepankan pendapat-pendapat yang berbeda dan dalil-dalil yang
menunjukinya. Karena di dalamnya telah disebutkan riwayat yang shahih, pendapat
yang paling kuat, bukti-bukti dalilnya, serta memaparkan tujuan dan alasannya.[20]
v Ath-Thabari memberikan kontribusi perbandingan dalam tafsirnya (التفسير المقارن) yang dijadikan sebagai dasar dalam berdebat
dan metode dalam berdebat ilmu pengetahuan.
v Ath-Thabari menjadikan tafsirnya sebagai tafsir yang kaya akan tata
bahasa sastra yang fasih, penuh dengan keindahan dan kelembutan bahasa.
Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abas yang dijelaskan oleh Imam ath-Thabari:
التفسير
على أربعة أوجه : وجه تعرفه العرب من كلامها، وتفسير لا يعذر أحد بجهالته، وتفسير
يعلمه العلماء، وتفسير لا يعلمه إلاّ الله[21]
G.
Sistematika Penulisan
Tafsir
Dalam
sistematika penyusunan kitab Tafsir Ath-Thabari ini, akan ditemukan suatu
langkah metodologi yang paling sempurna diantara kitab-kitab tafsir yang pernah
ada. Tahap pertama dalam kitab tafsir ini, disebutkan muqaddimah Imam
Ibnu Jarir setelah lafadz tahmid memuji ke-Maha Sempurna-an Allah SWT
serta bershalawat atas Rasulullah, pembawa risalah agama termulia.
Tahap
selanjutnya yakni menuliskan ayat al-Qur’an dan menafsirkan ayat tersebut
berdasarkan riwayat-riwayat hadits shahih dari berbagai jalur sanad. Riwayat-riwayat
hadits yang berkaitan tentang ayat tersebut meliputi penyempurnaan makna
kandungan ayat-ayat al-Qur’an, latar belakang atau asbab an-nuzul ayat
tersebut, serta menjelaskan hikmah dan keutamaan kandungan ayat-ayat al-Qur’an.
Tahap yang ketiga, yakni memerinci pendapat-pendapat yang menjelaskan tentang huruf-huruf dalam
lafadz-lafadz itu, sebagaimana yang telah disepakati termasuk kelompok lafadz
Bahasa Arab, atau selain Bahasa Arab dari jenis bahasa Umat yang lain.
Berikutnya,
menjelaskan riwayat baik ayat al-Qur’an/ hadits yang menguatkan pengetahuan
dari penakwilan ayat al-Qur’an. Kemudian menyebutkan periwayatan yang
terlarang, yakni penakwilan secara ra’yu semata. Dalam hal ini, khabar
selanjutnya adalah menganjurkan periwayatan yang shahih atau bersandar kepada
para sahabat dalam ber-ijma’ dan meluruskan pendapat yang keliru dalam
menafsirkan dan menakwilkan ayat al-Qur’an.
Dalam
tafsir ini, disebutkan pula qaul dalam menakwilkan nama-nama Al-Qur’an,
surat-suratnya, serta ayat-ayat Al-Qur’an, yang semua itu dinukilkan dalam
penafsirannya. Dan tahap yang terakhir yakni menjelaskan tafsirnya berdasar ra’yu
atau rasional yang dikokohkan atsar, hadits, riwayat shahih, yang
berdasarkan pada kaidah-kaidah yang telah disepakati oleh ‘Ulama-ulama
terdahulu.[22]
H.
Penutup
Dengan
pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa, Imam Ath-Thabari adalah merupakan
mufassir yang sangat pandai dan cerdas, sebagaimana tergambar dalam kitab
tafsirnya Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil al-Quran yang dimana kitab tafsir
ini banyak menjadi rujukan utama bagi para ulama yang ingin mendalami ilmu
tafsirnya. Kitab tafsir ini menggunakan metode tahlili dan menggunakan metode
muqarran walaupun masih dalam bentuk yang sederhana. Sedangkan sumber penafsirannya yaitu tafsir
Bi al-Ma’tsur dan Tafsir Bi al-Ra’yi. Sedangkan sistematika penulisannya telah
dijelaskan pada pembahasan diatas.
Dengan
demikian kami sebagai pemakalah mohon maaf jika terdapat banyak kesalahan dalam
penyusunan makalah ini, semoga dapat bermanfaat untuk Agama, dunia, dan
akhirat.
I.
Lampiran
بسم الله الرحمن الرحيم
القول في تأويل قوله جل
ثناؤه وتقدست أسماؤه: { أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ
(1) أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ (2) وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا
أَبَابِيلَ (3) تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ (4) فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ
مَأْكُولٍ (5) } .
يقول تعالى ذكره لنبيه محمد صلى الله عليه وسلم: ألم تنظر يا محمد
بعين قلبك، فترى بها( كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ ) الذين قَدِموا
من اليمن يريدون تخريب الكعبة من الحبشة ورئيسهم أبرهة الحبشيّ الأشرم( أَلَمْ
يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ )
يقول: ألم يجعل سعي
الحبشة أصحاب الفيل في تخريب الكعبة( فِي تَضْلِيلٍ ) يعني: في تضليلهم عما أرادوا
وحاولوا من تخريبها.
وقوله:( وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ ) يقول تعالى ذكره: وأرسل عليهم ربك طيرا متفرقة، يتبع
بعضها بعضا من نواح شتي; وهي جماع لا واحد لها، مثل الشماطيط والعباديد ونحو ذلك.
وزعم أبو عبيدة معمر بن المثنى، أنه لم ير أحدا يجعل لها واحدا. وقال الفرّاء: لم
أسمع من العرب في توحيدها شيئا. قال: وزعم أبو جعفر الرُّؤاسِيّ، وكان ثقة، أنه سمع
أن واحدها: إبالة. وكان الكسائي يقول: سمعت النحويين يقولون: إبول، مثل العجول.
قال: وقد سمعت بعض النحويين يقول. واحدها: أبيل.
وبنحو الذي قلنا في الأبابيل: قال أهل التأويل.
* ذكر من قال ذلك:
حدثنا سوّار بن عبد الله، قال: ثنا يحيى بن سعيد، قال: ثنا حماد بن سلمة،
عن عاصم بن بهدلة، عن زرّ، عن عبد الله، في قوله:( طَيْرًا أَبَابِيلَ ) قال: فرق.
حدثنا ابن بشار، قال: ثنا يحيى وعبد الرحمن، قالا ثنا حماد بن سلمة،
عن عاصم، عن زرّ، عن عبد الله، قال: الفِرَق.
حدثني عليّ، قال: ثنا أبو صالح، قال: ثني معاوية، عن عليّ، عن ابن
عباس، في قوله:( طَيْرًا أَبَابِيلَ ) قال: يتبع بعضُها بعضا.
وقوله:( تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ )
يقول تعالى ذكره: ترمي هذه الطير الأبابيل التي أرسلها الله على
أصحاب الفيل، بحجارة من سجيل.
وقد بيَّنا معنى سجيل في موضع غير هذا، غير أنا نذكر بعض ما قيل من
ذلك في هذا الموضع، من أقوال مَنْ لم نذكره في ذلك الموضع.
ذكر من قال ذلك:
حدثنا ابن حميد، قال: ثنا مهران، عن سفيان، عن السديّ، عن عكرمة، عن
ابن عباس( حِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ ) قال: طين في حجارة.
حدثني الحسين بن محمد الذارع، قال: ثنا يزيد بن زُرَيع، قال: ثنا
سعيد، عن قتادة، عن عكرمة، عن ابن عباس( تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ )
قال: من طين.
وقوله:( فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ )
يعني تعالى ذكره: فجعل الله أصحاب الفيل كزرع أكلته الدواب فراثته،
فيبس وتفرّقت أجزاؤه; شبَّه تقطُّع أوصالهم بالعقوبة التي نزلت بهم، وتفرّق آراب
أبدانهم بها، بتفرّق أجزاء الروث، الذي حدث عن أكل الزرع.
وقد كان بعضهم يقول: العصف: هو القشر الخارج الذي يكون على حبّ
الحنطة من خارج، كهيئة الغلاف لها.
*ذكر من قال: عُني بذلك ورق الزرع:
حدثني محمد بن عمرو، قال: ثنا أبو عاصم، قال: ثنا عيسى; وحدثني
الحارث، قال: ثنا الحسن، قال: ثنا ورقاء، جميعا عن ابن أبي نجيح، عن مجاهد، قوله:(
كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ ) قال: ورق الحنطة.
حدثنا ابن عبد الأعلى، قال: ثنا ابن ثور، عن معمر، عن قتادة(
كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ ) قال: هو التبن.
وحُدثت عن الحسين، قال: سمعت أبا معاذ، قال: أخبرنا عبيد، قال: سمعت
الضحاك يقول في قوله:( كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ ) : كزرع مأكول.
*ذكر من قال: عني به قشر الحبّ:
حدثني محمد بن سعد، قال: ثني أبي، قال: ثني عمي، قال: ثني أبي، عن
أبيه، عن ابن عباس( كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ ) قال: البرّ يؤكل ويُلقى عصفه الريح
والعصف: الذي يكون فوق البرّ: هو لحاء البرّ.
وقال آخرون في ذلك بما حدثنا ابن حميد، قال: ثنا مهران، عن أبي سنان،
عن حبيب بن أبي ثابت:( كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ ) قال: كطعام مطعوم.
DAFTAR PUSTAKA
Abi Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an
Ta’wîl Ayi al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, 2005
Hasan Basri dan Amroeni, Metodologi Tafsir al-Qur’an: Kajian
Kritis, Objektif & Komprehensif, Jakarta: Riora Cipta, 2000
Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an, Beirut:
Maktabah al-Ashriyah, 2003
Mani’ ‘Abd al-Halim Mahmud, Manahij al-Mufassirin, Kairo:
Dar al-Kitab al-Mishra, tanpa tahun
Manna’ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, Kairo:
Maktabah Wahbah, 1973
Muhammad ‘Ali Iyazi, al-Mufassirun; Hayatuhum wa Manhajuhum,
Teheran: Wizarat ats-Tsaqafah wal Irsyad al-Islamiy, tanpa tahun
Muhammad bin Luthfi ash-Shibbagh, Buhuts fi Ushul at-Tafsir,
Beirut: Maktabah al-Islamiy, 1988
Muhammad Husein adz-Dzahabi, at-Tafsir wal Mufassirun, Kairo:
Dar al-Fikr, 2008
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an,
Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008
Shalah Abdul Fatah al-Khalidy, Ta’rifu ad-Darisina bi Manahij
al-Mufassirina, Damaskus: Dar al-Qalam, 2002
Tengku M. Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009
[1]
Manna’ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah,
1973), h. 328
[2] Jalaluddin
as-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an, (Beirut: Maktabah al-Ashriyah,
2003), h. 190
[3]
Manna’ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, h. 352
[4] Abi
Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayi
al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), h. 5
[5]
Muhammad ‘Ali Iyazi, al-Mufassirun; Hayatuhum wa Manhajuhum, (Teheran:
Wizarat ats-Tsaqafah wal Irsyad al-Islamiy, tanpa tahun), h. 400
[6] Abi
Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayi
al-Qur’an, h. 6
[7]
Mani’ ‘Abd al-Halim Mahmud, Manahij al-Mufassirin, (Kairo: Dar al-Kitab
al-Mishra, tanpa tahun), h. 40
[8]
Muhammad bin Luthfi ash-Shibbagh, Buhuts fi Ushul at-Tafsir, (Beirut:
Maktabah al-Islamiy, 1988), h. 18
[9]
Muhammad Husein adz-Dzahabi, at-Tafsir wal Mufassirun, (Kairo: Dar
al-Fikr, 2008), h. 196
[10]
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka
Insan Madani, 2008), h. 64
[11] Abi
Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayi
al-Qur’an, h. 350
[12]
Hasan Basri dan Amroeni, Metodologi Tafsir al-Qur’an: Kajian Kritis,
Objektif & Komprehensif, (Jakarta: Riora Cipta, 2000), h. 68
[13]
Tengku M. Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2009), h. 214
[14] Manna’
al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, h. 353
[15] Abi
Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayi
al-Qur’an,h. 9
[16] Abi
Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayi
al-Qur’an, h. 13
[17]
Shalah Abdul Fatah al-Khalidy, Ta’rifu ad-Darisina bi Manahij
al-Mufassirina, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2002), h. 358
[18]
al-Khalidy, Ta’rifu ad-Darisina bi Manahij al-Mufassirina, h. 360
[19] al-Khalidy,
Ta’rifu ad-Darisina bi Manahij al-Mufassirina, h. 365
[20]
al-Khalidy, Ta’rifu ad-Darisina bi Manahij al-Mufassirina, h. 361
[21]
al-Khalidy, Ta’rifu ad-Darisina bi Manahij al-Mufassirina, h. 362
[22] Mani’
‘Abd al-Halim Mahmud, Manahij al-Mufassirin, h. 43-44
Tidak ada komentar:
Posting Komentar