Oleh Muflih Hidayat
Faksionalitas
yang terjadi antarelite dan kader merupakan fenomena yang sah dalam menemani
laju dinamika partai politik. Perbedaan orientasi politik melahirkan
fragmentasi internal yang terkadang menimbulkan perpecahan. Layaknya
PPP, seteru antara Romahurmuziy dan Djan Faridz merupakan bukti faksionalitas
yang ada dalam internal PPP.
Wasisto
Raharjo, seorang pengamat politik mengutip teori Katz dan Mair tentang
faksionalitas, bahwa faksionalitas terjadi dalam dua tipe pembilahan; mutually
excluded dan mutually restricted. Pengertian pertama, faksionalitas
terjadi secara laten yang kemudian menciptakan kubu-kubu kecil dalam tubuh
partai, namun antara kubu satu dengan kubu lainnya masih berupaya menjalin
harmonisasi. Pola transaksional atau bargaining politic
menjadi jalan tengah yang menghubungkan antarkubu dalam memutuskan
pilihan tertentu sehingga melahirkan koalisi kolektif dalam partai. Pengertian
kedua, faksionalitas terjadi sebagai bentuk perlawanan kubu kecil terhadap kubu
dominan yang berada di elite partai. Kubu kecil tersebut mengidentifikasi dan
mengafiliasi diri sebagai kompetitor elite partai. Tipe faksionalitas yang
kedua ini biasanya menghasilkan pemisahan diri anggota partai yang kemudian
melahirkan partai baru. Betapapun pemisahan diri itu terjadi namun relasi
antara keduanya masih terjalin sebagai fungsi mentoring dan koordinasi antara
partai baru dengan partai induk.
Sosok
seorang figur menjadi kata kunci dalam menghadapi fenomena faksionalitas tersebut.
Figur inilah yang menjadi simbol pemersatu dan pengontrol internal partai
sekaligus sebagai kompetitor ketika berhadapan dengan eksternal partai.
***
Melihat
PPP sebagai kontestastan politik di Indonesia, tentunya PPP sudah mengalami
berbagai fenomena kepartaian termasuk tipe mutually
excluded dan mutually restricted.
Buktinya, saat menjelang Pemilu 2014, Suryadharma Ali yang menjabat sebagai ketua
umum terlihat mesra dengan Prabowo. Ia turut hadir dan bergandengan tangan
dengan Probowo saat kampanye di Senayan dan menyambut kedatangan Probowo di
kantor DPP PPP. Di lain pihak, beberapa petinggi DPP PPP menyampaikan kekecewaannya terhadap
sikap SDA yang menentang hasil Mukernas tersebut, saat Mukernas tidak ada nama
Prabowo dalam bursa calon yang akan didukung oleh PPP. Hal ini dianggap
menggadaikan nama baik partai. Konfrontasi disampaikan di berbagai media dengan
ekspresi yang cukup menggelegar. SDA menanggapi hal itu dengan berdalih bahwa
sikap tersebut dilakukan atas dukungan dan arahan sesepuh PPP, Maimoen Zubair.
Selang
beberapa waktu, akhirnya PPP bulat mendukung Prabowo tanpa menyisakan
konfrontasi yang ditampakkan seperti sebelumnya. Hal ini mengindikasikan adanya
faksionalitas tipe pertama yang penyelesaiannya melalui transaksi dan bargaining politic, yakni ketika pembagian “kue” dirasa merata, maka tak satupun pihak
yang menolak tawaran. Sedangkan faksionalitas tipe kedua yang terjadi dalam tubuh
PPP ialah ketika era Zainuddin MZ dan beberapa tokoh PPP membentuk partai baru
bernama Partai Bintang Reformasi (PBR) sebagai bentuk kekecewaan Zainuddin MZ
terhadap kepemimpinan Hamzah Haz. Pemisahan diri Zainuddin MZ dari PPP sama
sekali tidak merusak hubungannya dengan Hamzah Haz, keduanya masih beriringan
dalam menentukan beberapa pilihan politisnya.
Faksionalitas
dalam tubuh PPP memang sangat wajar terjadi karena secara historis PPP
merupakan partai fusi dari empat partai sebelumnya; Nahdhatul Ulama (NU),
Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII),
dan Partai Islam Perti. Sistem kepartaian Orba mengharuskan perampingan partai
islam sehingga keempat partai tersebut memutuskan melebur menjadi satu partai
yakni PPP pada tanggal 5 Januari 1973.
Biasanya
sengketa internal PPP selalu terjadi antara dua kubu besar yakni NU dan
Parmusi. Keduanya adalah kubu terbesar dalam internal PPP. Pada 2008 silam, ada
konflik antara SDA yang terlahir dari gerbong NU dengan Bachtiar Chamsyah dari
gerbong Parmusi. Konflik berawal dari pemecatan Choirul Mahfiz oleh SDA dari
kursi Sekjen DPP PPP, Choirul adalah kader kesayangan Bachtiar di Parmusi.
Pemecatan Choirul turut menyeret karir politik Bachtiar menjadi redup. Bachtiar
sempat juga masuk penjara.
Menjelang
akhir kepemimpinan SDA, ada hal aneh mewarnai konflik PPP yakni sengketa
terjadi bukan antara barisan NU-Parmusi melainkan antarkader dari gerbong NU
sendiri. SDA yang NU merestui dan mendukung Dzan Faridz untuk menggantikannya
sebagai ketua umum, sementara itu kompetitornya adalah Romahurmudziy yang lahir
dari gerbong NU pula. Kali ini konflik internal PPP terkesan bukan akibat
perbedaan haluan ideologis, tetapi seolah-olah akibat pembagian “kue” yang
tidak merata. Ini hal yang nyeleneh dan menjadi
pertanyaan besar yang harus dijawab oleh SDA. Ia merupakan orang yang paling
bertanggung jawab dalam hal ini, sebab ia adalah sosok representatif NU yang
seharusnya mampu mengakomodir sekaligus meredam ego sektoral kader-kader NU.
***
Kronologis
pertikaian PPP berawal dari Muktamar PPP di Surabaya pada tanggal 16 Oktober
2014 yang menetapkan secara aklamasi Romahurmudziy sebagai ketua umum. Program
pertama yang akan ia lakukan setelah terpilih ialah mengonsolidasi organisasi
mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah, wilayah, cabang, dan ranting
dalam rentan waktu 1,5 tahun. Ia pun mengatakan akan merekrut kader yang
memiliki integritas, loyalitas, dan dedikasi untuk menjadi ikon baru partai.
Berselang
15 hari, tepatnya 31 Oktober 2014, muncul muktamar tandingan yang menetapkan
Dzan Faridz sebagai ketua umum. Di tengah hiruk pikuk sengketa internal
tersebut, Suryadharma Ali selaku ketua demisionerpun tak mampu menjadi sosok
penengah. Justru ia terlibat secara langsung dalam menetapkan Dzan Faridz
sebagai penggantinya.
SDA
menyatakan Muktamar yang diselenggarakan oleh Romahurmuziy tidak sah karena
tidak diselenggarakan oleh ketua umum demisioner. Sementara Romahurmuziy
berdalih Muktamar Surabaya adalah sah karena dihadiri oleh 26 DPW dari total
keseluruhan 33 DPW.
SDA
dan Romahurmuziy sama-sama memiliki landasan konstitusi yang sah dan tidak bisa
dibantah. Akan tetapi ada perbedaan yang menonjol di antara keduanya yakni SDA
menggunakan kekuatan individunya, sementara Romahurmuziy menggunakan kekuatan
kolektif akar rumput. Romahurmuziy membawa bekal lebih dari 2/3 kehadiran sekaligus
dukungan DPW yang menjadi syarat legalisasi mengadakan Muktamar, ini adalah
bukti bahwa di tingkat wilayah lebih membutuhkan sosok Romahurmudziy sebagai
pemimpin PPP daripada Dzan Faridz. Sementara itu, SDA tidak mengakui kekuatan
dukungan DPW yang sudah mencapai Quorum tersebut, SDA hanya memanfaatkan jabatan
ketua umum yang melekat pada dirinya untuk menolak hasil Mukernas Surabaya. SDA
terkesan berupaya mempertahankan kekuasaan pribadinya.
Sikap
Romahurmudziy yang seolah-olah melawan terhadap seniornya di NU ini merupakan
suatu bukti kepemimpinan SDA yang tidak mampu mengakomodir kepentingan kubunya
sendiri, lantas bagaimana ia mampu memperjuangkan kebutuhan PPP secara
keseluruhan jika kadernya sendiri tak mampu ia penuhi kebutuhannya.
Entah
apa yang terjadi di kemudian hari jika konflik antara Romahurmuziy dan Djan
Faridz tidak menemukan titik temu. Upaya rekonsiliasi masih sekadar dalam
bentuk wacana. Sementara masih banyak hal yang seharusnya dilakukan oleh PPP
untuk turut berperan membangun Indonesia daripada hanya sekadar disibukkan oleh
konflik internal memperebutkan posisi ketua umum.
***
Jika
kita menelaah fenomena faksionalitas di negara-negara maju, seperti Amerika dan
Inggris, maka kita akan melihat hasil yang berbeda. Faksionalitas di negara
maju terjadi disebabkan oleh fragmentasi ideologi yang tidak tertampung dalam
partai induk, bukan oleh upaya merebut dan mempertahankan aset serta kekuasaan personal
layaknya di Indonesia.
Perpecahan
di tubuh PPP menjadikan publik menduga-duga apakah ini disebabkan perbedaan
ideologis atau karena adanya upaya mempertahankan dan memperebutkan keuntungan
pribadi. Pemberontakan Romahurmudziy terhadap SDA sudah cukup menjadikan publik
su’udzon bahwa ini diakibatkan upaya mempertahankan kekuasan pribadi
yang dilakukan oleh SDA. Tentunya, ini mengharuskan seluruh kader PPP untuk
menyelesaikannya dan sesegera mungkin diutarakan kebenarannya kepada
publik demi
mengembalikan trust publik terhadap PPP.
Tak lama
lagi Indonesia akan mengadakan pilkada serentak, tentunya seluruh partai
politik harus menyiapkan diri untuk berkontestasi dalam mengawal proses
demokrasi ini. Mekanisme pilkada telah disepakati, yakni diselenggarakan dan
dipilih oleh rakyat. Oleh sebab itu setiap partai dituntut bersaing meningkatkan alektabilitas partai di tingkat akar rumput.
***
Nampaknya
PPP sedang merindukan seorang figur yang mampu menjadi panutan di tengah
dinamika organisasi yang pelik dalam rangka mengawal regenerasi
kepemimpinan. Krisis tauladan sedang melanda PPP. Momen genting seperti ini
mengharuskan “para dewa” turun gunung jika memang keutuhan PPP masih ingin
terjaga.
Mungkin
sosok Maimoen Zubair sangat
dinanti-nanti kehadirannya untuk angkat bicara. Kyai asal Rembang ini adalah
sosok yang cocok dan pantas untuk ditunjuk sebagai penengah karena secara de
facto beliau merupakan Ketua Majelis Syariah PPP sekaligus sesepuh NU.
Sementara secara de jure karismatik Mbah
Moen masih dipandang oleh kedua kubu. Buktinya, SDA menyebut nama Mbah Moen
saat berdalih mengapa ia memilih berkoalisi dengan Prabowo sementara hasil
Mukernas sebelumnya mengatakan hal lain. Di lain pihak, Mahfudhoh selaku
Anggota Mahkamah PPP dari kubu Romahurmudziy menyatakan “Saya pikir Muktamar
(versi Surabaya) ini sudah memenuhi
syarat. Nanti akan kita bicarakan ke Mbah Moen”. Mahfudhoh akan mempertahankan
hasil Muktamar Surabaya ke Mbah Moen, jika Mbah Moen menggelar Muktamar lagi,
maka ia berharap itu melegitimasi keterpilihan Romahurmuziy.
Sekedar
catatan untuk Mbah Moen. Tentunya, beliau harus bersikap netral dan dewasa
dalam menangani perpecahan antara Romahurmudziy dan Dzan Faridz ini. Karena
jika tidak, maka pertikaian akan semakin panjang dan berjalan secara simultan.
Perlu
diingat bahwa tugas PPP tidak hanya sebatas menyelesaikan konflik internal
saja, tetapi PPP juga harus mampu menjawab persoalan-persoalan eksternal jika
memang PPP masih ingin dihargai oleh rakyat. SDA dituntut sigap dalam hal ini.
Ia seharusnya husnul khotimah sebelum mangkat
dari jabatan ketua umum dengan berupaya meredam ego sektoral dalam tubuh PPP,
bukannya malah menyisakan konflik, Apalagi konflik sesama kubu NU.*
*Tulisan Ini Diajukan pada Lomba Karya Tulis Ilmiah dan Memperoleh Juara Harapan II yang Diselenggarakan oleh DPP PPP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar