“KORUPSI DAN ANOMALI”
Siapa
sangka bahwa salah satu buah dari
reformasi adalah mewabahnya penyakit korupsi di negeri ini. Hal demikian
disebabkan oleh keberadaan dan peran dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
memaksa para koruptor terjerumus ke dalam besi jeruji.
Meskipun
tindak pidana korupsi merupakan ranah hukum, tetapi ada yang unik dan menarik
untuk kita cermati dibalik kasus dan tindakan pidana korupsi di Indonesia,
yaitu perubahan sikap yang drastis dan penggunaan simbol-simbol keagamaan yang
digunakan para koruptor — baik terduga,
tersangka maupun terdakwa — yang ditunjukan ke ranah publik.
Menurut
pengamat sosial Usep Mujani Ardabily (UMA) menyatakan bahwa “kamus politik kita
memiliki kosa kata yang sangat aneh, seperti halnya kata ‘dzolim’ seringkali
digandengkan secara saporadis bersamaan dengan munculnya skandal korupsi”. (12/01/2014)
Secara
kebahasaan, term dzolim merupakan perlawanan kata dari term adil. Bagi UMA,
Term “Dzolim” merupakan suatu perasaan dikorbankan layaknya halte terakhir bagi
para koruptor untuk belindung dari jeratan hukum. Dzolim juga dapat diartikan
sebagai ketidakpantasan suatu predikat disandingkan/dilekatkan terhadap
dirinya. Seperti contoh KPK menjadikan RAC dan AU sebagai tersangka
korupsi. RAC dan AU merasa bahwa kata
“tersangka korupsi” tidak layak dan tidak pantas bersanding dan melekat pada
diri keduanya dan itu merupakan perbuatan yang dzolim yang dilakukan oleh
penegak hukum.
UMA
memberikan contoh statemen para tersangka korupsi : Ratu Atut merasa didzalimi,
Luthfi Hasan Ishak divonis 16 tahun meras didzalimi, Nazaruddin didzalimi
secara sadis, dan Anas Urbaningrum merasa didzalimi penguasa. Kenyataan
tersebut seolah-olah bahwa para koruptor diposisikan sebagai korban dari
penegak hukum yang dzolim karena telah memvonis dirinya sebagai tersangka atau
terdakwa, sedangkan mereka sendiri tidak pernah memikirkan bahwa tindakan
korupsi merupakan kejahatan yang sangat kejam dan mendzolimi masyarakat dan
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Lebih
lanjut UMA menerangkan bahwa para tersangka korupsi kerapkali menggunakan
simbol-simbol keagamaan dan berprilaku religious ketika tampil di ruang publik.
Hal demikian meraka lakukan sebagai pencitraan diri untuk mengurangi rasa takut
dan tekanan batin yang sangat luar biasa dengan melakukan defense mechanism sebagai ganti dari rasa takut dan tekanan batin
tersebut. Wallahu a`lam [RD]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar