oleh Pagar Dewo pada 14 September 2011 jam 15:47
Berhentilah berumpat bangsat, teman sekamarku. Mereka adalah nyamuk. Bukan anjing atau babi. Aku berani bertaruh, kau tak mungkin bisa mengasuhnya. Sejarah telah menernakkan mereka menjadi lestari. Terhanyut banjir di musim hujan dan berubah banyak di musim kemarau, akibat aliran sungai yang menggenang tenang karena tersumbat sampah.
Umpatanmu sia-sia, karena siklus terus berputar. Walau di kemudian hari, misalnya, kau sukses membangun pabrik racun, mereka tak mungkin punah. Lagipula sekarang, apa yang bisa kita lakukan? Obat nyamuk bakar tak sanggup menyembuhkan kerakusan mereka akan darah. Racun semprot, cuma malah mengotori udara. Mengusir nyamuk beberapa menit saja. Mustahil pula kau hiasi kamar compang-camping itu dengan AC. Sekali lagi itu mustahil.
Tinggal satu solusi terakhir, lotion anti nyamuk. Dan kau tak sudi memakainya. Bukankah kau orang tradisional yang berpikir modern? Otakmu telah terganyang doktrin para medis. Kau sangat mengimani betapa obat nyamuk bakar dan semprot itu akan merusak kesehatan napasmu. Bagimu lotion anti nyamuk juga tak kalah menyeramkan ketimbang serbuan ribuan nyamuk yang sangat meresahkan.
Demikian, kondisimu terjepit. Kau tak punya pilihan. Karena itu mungkin kau mengeluh dan mengumpat. Ya, mengumpatlah semaumu. Atau marah. Itu hakmu. Tapi ingat, nyamuk tak paham bahasamu.
Lalu aku bersemedi. Menutup sementara semua potensi panca indera. Mencoba memahami bagaimana nyamuk bicara.
Percaya atau tidak, aku sukses berdialog dengan mereka. Dengan para nyamuk itu. Mau tahu hasil pembicaraan kami? Baiklah, akan coba aku terjemahkan dalam bahasa Indonesia. Berikut petikan dialog singkat tersebut.
Kenapa kalian datang dan terus mengusik kami?
Kami tak berniat mengusik. Kami hanya mencari makan. Mencari sehisap darah untuk bertahan hidup.
Tahukah kalian tentang Surat Terbuka Untuk Nyamuk yang ditulis teman sekamarku?
Ya, aku sudah baca. Surat itu sempat jadi perbincangan hangat di kalangan tokoh nyamuk selama beberapa generasi. Kau tahu, rata-rata umur nyamuk hanya sepekan. Sudah lima hari lima malam aku numpang tinggal di sela-sela tanggalan bajumu
Bagaimana kau menanggapi surat itu?
Dulu waktu masih muda, jiwaku sangat revolusioner. Aku tersinggung dan marah. Aku provokasi teman-teman untuk mengadakan serangan lebih dahsyat ke kamar ini. Tapi sekarang aku makin bijak. Umpatan kawanmu itu wajar. Kuakui, kami layaknya Amerika menginfasi Timur Tengah demi minyak. Manusia adalah ladang darah dan sumber kehidupan kami.
Hmm, kalian telah mendzalimi kami.
Oh, benarkah?
Ya, sangat.
Kalau begitu kami, segenap dan seganjil nyamuk sedunia mohon maaf atas ketidaknyaman Anda semua. Dan maaf sekali lagi karena kami tak bisa menghentikan aksi ini.
Kalian sadar perbuatan itu merugikan pihak lain. Tapi kenapa kalian terus melakukannya seperti tanpa perasaan?
Ah, dasar kau manusia, maunya menang sendiri. Ini demi keberlangsungan hidup kami. Kalau kau tanya kenapa, kami pun tak tahu. Aku, selaku nyamuk juga yakin bahwa kau dan seluruh umat manusia tak tahu pasti kenapa terus mencari makan dan bertahan hidup. Padahal kalau seluruh dunia itu berhenti bekerja, lalu kalian mati bersama, semua akan baik-baik saja.
Baiklah kalau begitu. Tapi setidaknya, bisakah aku minta kalian untuk tidak datang ke kamarku? Tidak mencari makan dengan menggigit dan mengusik di kamar kami?
Berikan alasan yang kuat agar kami berhenti bekerja menghisap darah di kamar Anda. Bukankah Anda dan teman sekamar Anda sama-sama manusia, yang menjadi kilang darah, sumber kehidupan kami?
Aku berpikir sejenak, mencari alasan tepat agar mereka tak menyerbu kamarku lagi. Saat itulah obrolan terputus. Hingga tulisan ini dibuat, nyamuk-nyamuk masih riang terbang, naik, turun dan hinggap menggigit kulitku. Bisakah saudara-saudara pembaca memberiku jawaban itu, plys?
Catatan ini merupakan jawaban atas Surat Terbuka Untuk Nyamuk-nya Abdullah Alawi di http://ceritaremeh.blogspot.com/2011/08/surat-terbuka-untuk-nyamuk.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar