oleh Ali Topan Ds
Kran demokrasi terbuka lebar pasca reformasi yang dimotori mahasiswa tahun 1998. Perubahan pun terjadi pada tatanan pemerintahan Negara ini, setelah dominasi tirani menguasai. Harapan baru muncul untuk mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa. Perubahan tersebut meniscayakan adanya tranparasi dalam berbagai aspek menyangkut kelembagaan Negara. Kebebasan mulai menemukan tempatnya yang kokoh dan tinggi. Orang dapat berekspresi dimedia baik cetak maupun elektronik.
Pada saat bersamaan, gelombang globalisasi terus mengalir dengan kencang. Tanpa sadar, bangsa ini sedang menghadapi tantangan global pula. Tua, muda bahkan anak-anak sedang menghadapi mimpi trend globalisasi yang ada didepan mata. Mahasiswa yang berada dalam posisi centre menjadi pemikul tanggung jawab besar ini. Tuntutan demi tuntutan pun menumpuk di pundak mahasiswa.
Dalam menghadapi persaingan global, tentu saja dibutuhkan sarana yang dapat menunjang kemajuan pendidikan. Jika mengandalkan meja kuliah, mustahil dapat melahirkan mahasiswa kompeten. Bisa saja kompeten dibidangnya, namun buta pada bidang lainnya. Organisasi kemahasiswaanlah yang tentu berperan menciptakan generasi unggul mahasiswa. Hal ini terbukti bahwa tidak sedikit mahasiswa yang dulunya punya peran aktif dalam berorganisasi dapat melakukan lompatan-lompatan prestasi.
Di kampus UIN Jakarta, kegiatan organisasi di kampus cukup banyak. Tidak hanya organisasi intra kampus, tetapi juga ekstra. Tentu saja hal ini menjadi sarana pembelajaran dan “character building” bagi mahasiswa selain bangku kuliah. Keterkaitan antara organisasi intra-ekstra kampus terlihat kental, terbukti dengan sinergi yang dilakukan ketika mengadakan sebuah event. Contoh kecilnya, jika ada organisasi ekstra yang mempunyai hajatan acara, maka intra yang menfasilitasinya.
Pada satu tahun periode terakhir ini, agaknya ada hambatan bagi sebagian organisasi intra. Terutama yang terdapat di fakultas (sebut saja fakultas UF). Organisasi intra “SG” yang digadang-gadang sebagai organisasi miniatur Negara serta sarana pembelajaran berdemokrasi nyaris tidak mendapat tempat di fakultas, dengan berbagai alasan yang dikemukakan oleh elit fakultas tersebut. Hal ini tentu saja menjadi cambuk bagi proses latihan demokrasi yang dijalankan mahasiswa. Apakah elit tersebut sudah merasa bosan dengan praktik demokrasi yang tidak sedikit mengumbar kebabasan dan merebut kebebasan orang lain?, praktik demokrasi yang tidak tepat? atau ada intrik-intrik politik dibalik semua itu?.
Menyikapi hal di atas perlu menggunakan akal sehat. Mahasiwa tidak boleh gegabah dalam merespon realita ini. Penulis memaknai, bahwa apa yang terjadi saat ini merupakan cambuk bagi idealisme organisasi. Penulis melihat bahwa tidak sedikit terjadi pergeseran dari idealisme ke pragmatisme. Organisasi ekstra yang melalukan recruitment anggota hanya dijadikan alat politik untuk pemenangan Pemilu Raya kampus. Hal ini jelas sudah mencederai idealisme organisasi tersebut, karena organisasi yang ada bukan organisasi politik, melainkan organisasi pengkaderan, pergerakan dll.
Tampaknya , kita perlu sejenak berpikir “bagi aktivis organisasi”. Apakah kita telah benar-benar menjadikan organisasi kita sebagai sarana pembentukan dan pengembangan diri, atau hanya menjadikan sebagai kendaran politik saja. Selayaknya ini menjadi koreksian bersama, bahwa organisasi ekstra perlu lagi membaca tujuan, visi dan misi nya. Hal ini menjadi penting, karena tidak jarang para aktivis organisasi melupakan visi-misi organisasi kerena mabuk sebagai pecandu politik praktis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar