oleh AlFaizör Vincitore
Tidak boleh ada paksaan dalam agama. Sungguh telah jelas  (berbeda) kebenaran dari kesesatan. Maka, barang siapa yang kafir  (menolak) tirani dan beriman kepada Tuhan, maka sungguh dia telah  berpegang pada tali yang teguh yang tidak akan terlepas. Tuhan Maha  Mendengar dan Maha Mengetahui (Al Baqarah. 2:256).
Setiap  ulama’ Islam pasti mengetahui ayat ini, dan tentunya juga memahami bahwa  dalam ayat tersebut ada prinsip tidak ada paksaan dalam beragama. Dalam  ayat ini disebutkan bahwa tidak diperbolehkannya memaksakan suatu agama  dikarenakan manusia dinilai mampu dan harus diberi kebebasan dalam  menentukan agamanya. Ini berarti bahwa Tuhan telah menganggap manusia  saat ini telah dewasa untuk memilih jalan bagi hidupnya untuk menuju  kepada Kebenaran.
Karena “kepercayaan” Tuhan inilah, maka Dia  tidak lagi mengirim Utusan dan Rasul yang menuntun mereka kepada  Kebenaran. Utusan dan Rasul-Nya telah ditutup dengan kedatangan Muhammad  SAW Rasul terakhir-Nya. Dan hari ini, manusia diserahi tanggung jawab  untuk menangkap pesan dan nilai-nilai pokok yang ada dalam ayat-ayat  Tuhan yang disebarkan oleh Nabi penutup tersebut secara “kreatif”. Hal  ini tersirat pada penggalan ayat di atas “Sungguh telah jelas (berbeda) kebenaran dari kesesatan”.
Alasan  kedua dari tidak diperbolehkannya paksaan dalam agama adalah memaksakan  kehendak kepada orang lain kepada orang lain tanpa memberikan peluang  untuk mempertimbangakan hal tersebut dengan akal sehatnya. Dan ini  sangat identik dengan sikap tiranik yang dalam al Quran disebut Thughyân yang dari kata tersebut diambil kata Thâghût  (orang yang berbuat tiranik). Karena dalam sikap tiranik, tersirat  pandangan bahwa diri sendiri benar, sedangkan yang elain dirinya adalah  salah (memutlakkan diri sendiri).
Padahal, jika kita menyatakan  diri beriman kepada Tuhan (syahadat) maka kosekuensi yang harus kita  tanggung adalah pengakuan secara sadar bahwa tidak ada satupun selain  Tuhan yang memiliki sifat Mutlak (tidak terbatas) dan semua selain  daripada-Nya adalah nisbi (terbatas). Karena Tuhan adalah dimensi yang  memungkinkan adanya dimensi-dimensi lain; Dia memberikan arti dan  kehidupan bagi segala sesuatu. Dia Serba Meliputi, yang secara harfiah  dapat diartikan bahwa Dia-lah yang Tak Terhingga. Dalam kehidupan,  segala sesuatu selain dari Tuhan, terlihat tanda keterhinggaannya, dan  tanda bahwa ia adalah ciptaan Tuhan. Hal ini sejalan dengan Kitab Suci  Tuhan, dalam surat al Ikhlâs ayat 4.
Firman Tuhan tersebut semakin  memperjelas bahwa sikap hidup tiranik bertentangan dengan sikap hidup  beriman kepada Tuhan. Dan karena itu pula, sikap memaksa-maksa sangat  tidak relevan dengan kata Iman kepada Tuhan. Karena, iman kepada Tuhan  akan menghasilkan moderasi atau sikap ”tengah” (sikap adil) dan tanpa  ekstremitas (al ghuluww). Iman kepada Tuhan, akan melahirkan  sikap yang selalu menyediakan ruang bagi akal untuk mempertimbangkan dan  membuat penilaian terhadap berbagai persoalan secara jujur dan fair. Dalam hal ini pun, Nabi diingatkan oleh Tuhan yang terekam dalam al Qur’an surat Yunus ayat 99. “Kalau  seandainya Tuhanmu menghendaki, tentu berimanlah semua manusia di bumi.  Maka apakah engkau (Muhammad) akan memaksa manusia hingga mereka  menjadi orang-orang yang beriman semua” (Yunus, 10:99)
Maka  dari itu, prinsip kebebasan beragama merupakan sebuah kehormatan bagi  manusia dari Tuhan, karena Tuhan telah “mengakui” hak manusia untuk  mencari, memilah dan memilih sendiri jalan hidupnya.

 
 
 
 







Tidak ada komentar:
Posting Komentar