“Menggapai Sarjana yang Berkualitas”
Oleh Ahmad Hazami*
Buat apa sekolah
Kalau hanya menciptakan
Badut-badut yang haus kekayaan
Bapak simpan saja uangmu
Buat beli tanah kuburan
Aku ingin bermain dalam kegelapan
Menghayati kemiskinan dan kelaparan
Kalau hanya menciptakan
Badut-badut yang haus kekayaan
Bapak simpan saja uangmu
Buat beli tanah kuburan
Aku ingin bermain dalam kegelapan
Menghayati kemiskinan dan kelaparan
Begitulah para seniman Bulunganh bilang, untuk mengekspresikan kegundahannya dalam melihat realitas manusia terpelajar yang kurangngajar.
Hari ini aktifitas akademi perkuliahan kembali dimulai, semua hal-hal baru akan dihadapi, mata kuliah baru, dosen-dosen dengan wajah dan karakteristik baru, bahkan sampai kawan baru. Semua yang baru itu akan menambah pengalaman dan menjadi sejarah baru. Namun persoalan mendasar adalah apa yang telah kita perbarui untuk diri kita sendiri? apakah kita sudah siap menghadapi semua yang baru di luar diri kita itu? Apakah kita hanya bangga dengan predikat “mahasiswa” atau kalu lulus nantinya gelar “sarjana” yang keduanya hanya pembeda dan strata sosial di kampung halaman saja? Atau apakah kita tergiur dengan tawaran-tawarn “modernitas” yang memberi mimpi indah: punya mobil mewah, credit card dan kursi manajer yang empuk dan nyaman?.
Persoalan-persoalan tersebut sesungguhnya kembali kepada kesadaran murni tujuan melanjutkan studi di tingkat yang lebih tinggi (dunia perkuliahan). Kita mungkin sering mendengar bahkan hafal lagu “sarjana muda” yang dinyanyikan Iwan Fals, kritik lagu tersebut bukan hanya kritik terhadap pemerintahan tetapi seharusnya juga terhadap diri kita sendiri, kritik yang membakar semangat dan mengupas kembali makna “sarjana”. Jangan sampai naantinya hanya mendapatkan selempang gelar dan toga, yang kita sendiri tidak paham fungsi dan maksudnya.
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat bisa menjadi sarana yang tepat untuk menghadapi tantangan modernitas, mengingat lulusan mahasiswa Ushuludin dan Filsafat itu berkualitas-berkualitas, baik dalam hal agama maupun karir. Seperti telah dikatakan Dekan FUF sendiri, M. Amin Nurdin, “mayoritas para alumni Fakultas Ushuluddin tidak ada yang menganggur, mereka dapat mengadaptasikan dirinya dalam berbagai lapangan pekerjaan.” Tapi apakah itu benar akan terjadi pada diri kita?, atau jangan-jangan hanya menjadi bagian dari kawan-kawan mendahului kita saja sebagai pengangguran atau kalau ada sebagai manusia-manusia bertoga yang mengintip kursi-kursi yang barang kali masih kosong dibalik kaca-kaca tebal-transparan?.
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat bisa menjadi sarana yang tepat untuk menghadapi tantangan modernitas, mengingat lulusan mahasiswa Ushuludin dan Filsafat itu berkualitas-berkualitas, baik dalam hal agama maupun karir. Seperti telah dikatakan Dekan FUF sendiri, M. Amin Nurdin, “mayoritas para alumni Fakultas Ushuluddin tidak ada yang menganggur, mereka dapat mengadaptasikan dirinya dalam berbagai lapangan pekerjaan.” Tapi apakah itu benar akan terjadi pada diri kita?, atau jangan-jangan hanya menjadi bagian dari kawan-kawan mendahului kita saja sebagai pengangguran atau kalau ada sebagai manusia-manusia bertoga yang mengintip kursi-kursi yang barang kali masih kosong dibalik kaca-kaca tebal-transparan?.
Lagi-lagi, sesungguhnya semua itu kembali pada diri kita untuk memahami fungsi, maksud dan tujuan “sarjana”, sehingga menghasilkan tekad bahwa setiap waktu yang kita lalui itu berharga dan akan menjadi sejarah yang membahagiakan, mahasiswa yang membentuk sejarah “sarjana” yang tidak melulu menyalahkan ketidakbecusan pemerintah, tetapi juga “sarjana” yang dapat beradaptasi dan sekaligus membenahi ketidakbecusan tersebut.
*Mahasiswa TH smster VIII, Presiden BEMF FUF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar