BREAKING

Minggu, 22 April 2012


AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMĀ`AH
ASY`ĀRIYAH
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Wajib Pada Mata Kuliah Aliran Kalām

 
Oleh:
Qidsy Cikal.R : 109033100024
Dani Ramdani  : 109033100026

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010



PENDAHULUAN
Pada zaman Rasulallāh SAW. kaum muslimin dikenal bersatu, tidak ada golongan ini dan tidak ada golongan itu, tidak ada syī`ah ini dan tidak ada syī`ah itu, semua  bersatu dibawah pimpinan dan komando Rasulallāh SAW.

Bila ada masalah atau perbedaan pendapat di antara para sahabat, mereka (sahabat) langsung datang menemui Rasulallah SAW. Untuk meminta solusi dan penjelasan yang terbaik. Itulah  yang membuat para sahabat saat itu tidak sampai terpecah belah, baik dalam masalah aqīdah yang bersipat abstrak, maupun dalam urusan duniawi.

Kemudian setelah  Rasulallāh SAW. wafat, benih-benih perpecahan mulai tampak dan puncaknya terjadi saat pemerintahan `Ali bin Abi Thālib yaitu pada kejadian perang Shifīn antara pasukan Ali bin Abi Thālib dan Mu`awiyyah ibn Abi Sofyan yang diakhiri dengan peristiwa tahkīm yang sangat menguntungkan golongan Mu`awiyyah . Namun perpecahan tersebut hanya bersifat politik, sedang aqīdah mereka tetap satu yaitu aqīdah Islāmiyyah, meskipun saat itu benih-benih penyimpangan dalam aqīdah sudah mulai ditebarkan oleh Ibn Sabā, seorang yang dalam sejarah Islam dikenal sebagai pencetus faham Syī`ah (Rawafid).

Tapi setelah para sahabat wafat, benih-benih perpecahan dalam wilayah politik yang merembet ke ranah aqīdah tersebut mulai membesar, sehingga timbullah faham yang bermacam-macam seperti Syī`ah, Khawārij, Murji`ah, Jabbāriyah, Qadariyyah, Mu`tazilah dan Asy`āriyah yang lazim oran menyebutnya sebagai kaum Sunnī atau Ahl-Sunnah.

Peta komflik diatas merupakan sepintas gambaran untuk dapat mengetahui pengkotak-kotakan umat Islam pada masa itu. Disini, pemakalah akan membahas sekilas tentang salah satu sekte aliran kalām yaitu Ahlu Al-Sunnah Wa Al-Jamā`ah
AHL-SUNNAH WA AL-JAMĀ`H
Ahlu Al-Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi Saw dan sunnah shahabatnya Radhiyallāhu 'anhum. Al-Imam Ibn al-Jauzi menyatakan bahwa tidak diragukan bahwa Ahl Naql dan Atsar pengikut atsar Rasulallāh shallallāhu 'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu adalah Ahl-Sunnah.
Kata "Ahl al-Sunnah" mempunyai dua makna. Pertama, mereka yang mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulallāh shallallāhu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallāhu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqīdah dan ahkām.
Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.
Dengan demikian, Ahl al-sunnah wal jamā`ah adalah istilah yang digunakan untuk menamakan pengikut madzhab As-Salāf al-Shalīh dalam i'tiqad. Banyak hadits yang memerintahkan untuk berjamā`ah dan melarang berfirqah-firqah dan keluar dari jamā`ah. Namun, para ulama berselisih tentang perintah berjamā`ah ini dalam beberapa pendapat:
1. Jamā`ah itu adalah As-Sawādul A'dzam (sekelompok manusia atau kelompok terbesar) dari pemeluk Islam.
2. Para Imam Mujtahid
3. Para Shahabat Nabi Radhiyallāhu ‘anhum.
4. Jamā`ahnya kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu perkara.
5. Jamā`ah kaum muslimin jika mengangkat seorang amir.
Pendapat-pendapat di atas kembali kepada dua makna. Pertama,
bahwa jamā`ah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara', maka wajib mengikuti jamā`ah ini dan haram menentang jamā`ah ini dan amirnya.
Kedua, bahwa jamā`ah yang Ahl al-sunnah melakukan i'tiba' dan meninggalkan ibtida' (bid'ah) adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti dan dijalani menurut manhajnya. Ini adalah makna penafsiran jamā`ah dengan Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits, Ijma' atau As-Sawadul A'dzam.
Istilah ahlu sunnah dan jamā`ah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham yang dilontarkan oleh golongan Mu`tazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M. Dengan perlahan-lahan paham Mu`tazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847 M). Pada masa Al-Makmun, yakni tahun 827 M bahkan aliran Mu`tazilah diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara.
Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Qur’ān tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada lebih dari satu zat yang qadīm, berarti kita telah menyekutukan Allah. Menurut mereka Al-Qur’ān adalah makhluk yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah terhadap mazhab ini, semua calon pegawai dan hakim harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada ajaran mazhab.
Mazhab ahlu sunnah wal jamā`ah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama ahl al-Sunah wal Jamā`ah. Untuk selanjutnya Ahl al-Sunah wal jamā`ah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi Asy’āriyah ataupun Matūrīdiyah.
ASY`ĀRIYAH
As-ariyah merupakan nama suatu aliran yang dinisbatkan kepada pendirinya yaitu abu hasan al asy`ari. Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy'ari keturunan dari Abu Musa al-Asy'ari, salah seorang sahabat yang menjadi perantara dalam sengketa antara Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah. Al-Asy'ari lahir tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M. Al-Asy'ari lahir di Basra, namun sebagian besar hidupnya di Baghdad.

Pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang Mu'tazilah terkenal, yaitu Al-Jubbai, mempelajari ajaran-ajaran Mu`tazilah dan mendalaminya. Aliran ini diikutinya terus sampai berusia 40 tahun, dan tidak sedikit dari hidupnya digunakan untuk mengarang buku-buku keMu`tazilahan. Meskipun demikian, rupanya ia merasakan ketidak puasan ketika bergabung dengan mu`tazilah.

Pada tahun 912 dia mengumumkan keluar dari paham Mu'tazilah, dan mendirikan teologi baru yang kemudian dikenal sebagai Asy'āriah.Ketika mencapai usia 40 tahun ia bersembunyi di rumahnya selama 15 hari, kemudian pergi ke Masjid Basrah. Di depan banyak orang ia menyatakan :
“ hadirin sekalian, saya selama ini mengasingkan diri untuk berpikir tentang keterangan-keterangan dan dalil-dalil yang diberikan masing-masing golongan. Dalil-dalil yang dimajukan, dalam penelitian saya, sama kuatnya. Oleh kerena itu saya meminta petunjuk dari Allah dan atas petunjuk-Nya saya meninggalkan keyakinan-keyakinan lama dan menganut keyakinan keyakinan baruyang saya tulis dalam buku-buku ini. Keyakinan-keyakinan lama saya lemparkan sebagaimana saya melemparkan baju ini.”
Setelah itu, al-asy`ari  memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibānah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Al-asy`ari menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Mu`tazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabī’in, serta imam ahl-had
POKOK PEMIKIRAN ASY’ĀRIYAH
Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah aqīdah.
a. Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Mu`tazilah. Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk aqīdah Mu`tazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b. Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Mu`tazilah yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Mu`tazilah selama 15 hari. Selama hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran aqīdah mu`tazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu: Al-Hayāh (hidup) •Al-`Ilm (ilmu) •Al-Irādah (berkehendak) •Al-Qudrah (berkuasa) •Al-Sama' (mendengar)  Al-Bashar (melihat)  Al-Kalām (berbicara).
Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabāriyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.
c. Periode Ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa takyīf, ta'thīl, tabdīl, tamtsīl dan tahrīf.
Beliau pada periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
takyīf: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
ta'thīl: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
tamtsīl: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu
tahrīf: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna lainnya.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat ketika menyerang aqīdah Islam. Karena itulah metode aqīdah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naql dan `aql. Munculnya kelompok Asy’āriyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Mu`tazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Mu`tazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan—manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
Adapun pandangan-pandangan Asy’āriyah yang berbeda dengan Mu`tāzilah, di antaranya ialah:
1. Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan tidak mempunyai sifat, seperti yang melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
2. Al-Qur’ān itu qadīm, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
3. Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena diciptakan.
4. Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan oleh Tuhan.
5. Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
6. Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apa pun.
7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah baina al-manzilataini), sebaba tidak
mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.
Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Mu`tazilah, yaitu keadilan, tauhid, melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar makrruf nahyi mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut.
Arti keadilan, dijadikan kedok oleh Mu`tazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah tak mungkin menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kedzaliman. Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat zalim.
Adapun tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’ān itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.
Ancaman menurut Mu`tazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya. Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia kehendaki.
Adapun yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran. Sedangkan konsep ”amar makruf nahi mungkar” menurut Mu`tazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku dzalim.
PENUTUP
Dalam pemaparan diatas mengenai aliran ahl-sunnah dapat ditarik kesimpulan bahwa aliran ini merupakan reaksi atas aliran-aliran kalām sebelumnya yaitu diantaranya Mu`tazilah yang sangat memeran pentingkan akal atas wahyu. Disini, ahl-sunnah mencoba untuk memberikan perlawanan atas semua gagasan yang dilontarkan oleh para tokoh Mu`tazilah yang sangat rasional. Sebaliknya, ahl-sunnah yang dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy`ari  memberikan satu solusi mengenai permasalahan dalam ranah aqidah yaitu dengan memadukan peran akal dan wahyu. Wahyu yang mempunyai peran untuk membimbing akal manusia lantas akal berfungsi sebagai alat untuk mengolah wahyu. 
Sebuah kajian atau kritikan terhadap kalām yang berkembang bukanlah usaha untuk menghilangkan subtansi atau membongkar total terhadap pemikiran-pemikiran yang sudah dibangun oleh para mutakallimūn  yang berkembang di zamannya, namun untuk melihat kembali apakan pemikiran tersebut masih relevan di kembangkan pada zaman sekarang yang penuh dengan berbagai macam krakteristik dan dinamika pemikiran atau pemikiran tersebut perlu dikonstruksi sehingga mampu berdaptasi dengan kehidupan modern.
SUMBER REFERENSI
Hanafi, M.A,” Pengantar Theology Islam” ( Jakarta:PT. Al Husna Zikra, 1995)
Nasution, Harun, “Teologi Islam” ( Jakarta: UI-Press, 1986)
 Al-Asy`ari, Abu Hasan ibn Isma`il, kitab “al-ibanah `an Usul al-Diniyah”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2009 Piush
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Videosmall Flickr YouTube