BREAKING

Senin, 19 Maret 2012

REALISME


REALISME
Kerangka Pemikiran Muhammad Baqir Al-Shadr

Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok pada Mata Kuliah
Filsafat Islam Kontemporer



















Oleh
Dhany Ramdhany
109033100026




JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012 M



A.   Pendahuluan
Tongkat estapet tradisi intelektual Islam (filsafat) terputus, yaitu ketika Al-ghazali menyerang habis-habisan para failasuf Muslim melalui magnum ovusnya Tahafut al-Falasifah. Yang kemudian al-Ghazali pun mendapatkan serangan balik dari Ibn-Rusyd, sebagai pembela kaum Failasuf melalui Tahafut al-Tahafut. Dialektika pemikiran Islam seolah telah selesai di tangan mereka, sehingga umat Muslim kehabisan stok untuk menghasilkan para failasuf selanjutnya.
Memang benar, Langit tidak selalu cerah, akan tetapi badai pasti berlalu. Mungkin itulah perumpamaan yang tepat bagi pasang surutnya dunia pemikiran Islam. Disaat dunia Islam mengalami degradasi keilmuan intelektual dan dunia Barat mulai melakukan hegemoni dalam berbagai aspek, di awal abad ke-20 lahirlah sosok Muhammad Baqir al-Shadr sebagai salah satu tokoh pembaharu sekaligus sebagai seorang failasuf Islam.
Tradisi intelektual Islam memang begitu sangat kaya, karena memadukan antara dua sumber utama dalam menentukan kebenaran sebuah pengetahuan, yaitu melalui peranan akal atau rasio dan kitab suci yaitu wahyu al-Quran. Sehingga dari tiadanya pemisahan antara keduanya, perjalanan khazanah keilmuan dunia Islam tiada henti, dan  pada setiap zamannya melahirkan sosok-sosok yang dapat mewarnai dan mengubah dunia ini.
Dalam kitab Falsafatuna yang dikarang oleh Muhammad Baqir al-Shadr, dijelaskan tentang kerangka pengetahuan (epistemologi). Dari sisi positif peran logika dan tradisi intelektual filosofis Islam, Muhammad Baqir al-Shadr mencoba melakukan sebuah tela`ah dan kritik atas beberapa aliran filsafat yang dijadikan rujukan oleh dunia modern ini, seperti rasionalisme, empirisme, meterialisme dan lain sebagainya.
Beliau berupaya untuk menjelaskan landasan semua pola pemikiran itu dan ideologi-ideologi yang telah melanda dunia Islam semenjak abad ke 19 dan yang telah menggelapi pandangan Islam tentang realitas yang didasarkan pada supremasi Allah dan pengetahuan yang membawa kepada-Nya.perlu dicatat bahwa tidak seperti para pembaharu Islam dewasa ini, Muhammad Baqir al-Shadr Muhammad Baqir al-Shadr  menegaskan akan pentingnya logika, perlunya kausalitas dan peran pemikiran filosofis dan teologis yang tangguh, sehingga mampu memerangi kekuatan-kekuatan sekularisme dan agnostisisme.[1]
B.   Riwayat Hidup dan Latar Belakang Sosial
Muhammad Baqir al-Shadr al-Sayyid Haydar adalah seorang ulama, sarjana, failasuf, dan salah satu tokoh politik revolusioner Irak. Dia lahir di Kazmain, Baghdad, pada tanggal 25 Dzu al-Qa`dah 1353H/1 Maret 1935 M. dari keluarda religius dan terpandang. Ayahnya, Haidar al-Shadr sangat dihormati dan merupakan `alim Syi`ah peringkat tinggi. Daris keturunannya kembali ke nabi Muhammad melalui imam Syi`ah yang ketujuh yaitu musa khazim. Beberapa tokoh kenamaan juga lahir dari keluardanya seperti Sayyid Shadr al-Din al-Shadr seorang marja`[2] di Qum, Iran. Muhammad al-Shadr merupakan seorang pimpinan religius yang memainkan perang penting dalam revolusi Irak melawan Inggris dan mendirikan Haras al-Istiqlal (pengawal kemerdekaan) dan Musa al-Shadr merupakan seorang pimpinan syi`ah di Lebanon.[3]
Pada usia empat tahun, Muhammad Baqir al-Shadr kehilangan ayahnya dan kemudian diasuh oleh ibu dan kaka laki-lakinya, Isma`il, yang juda seorang mujtahid ternama di Irak. Pada usia sepuluh tahun, dia mulai berceramah tentang sejarah Islam dan beberapa aspek tentang kultur islam. Dia sudah mampu menangkap wacana teolodis tanpa bantuan seorang guru pun. Ketika berusia sebelas tahun, dia mengambil studi logika dan menulis buku yang mengkritik para failasuf. Pada usia empat belas tahun, kakanya mengajarkan Ushul `Ilm al-Fiqh (Asas asas Ilmu tentang Prinsip-prinsip Hukum Islam). Pada usia enam belas tahun, Ia pergi ke Nazaf untuk menempuh pendidikan yang lebih baik dalam berbagai cabang ilmu Islam di Universitas Nazaf al-Asyraf, Irak. Sekitar empat tahun kemudian, dia menulis ensiklopedi tentang Ushul Ghayah al-fikr fi al-Ushul (Pemikiran Puncak dalam Ushul). Karya ini hanya berhasil diterbitkan satu volume. Ketika usia dua puluh tahun, dia mulai mengajar bahst al-Kharij (tahap akhir Ushul) dan fiqh. Dan pada usia tiga puluh tahun, Muhammad Baqir al-Shadr telah menjadi mujtahid.[4]
C.    Karya Tulis
Berikut beberapa karya tulis yang dilahirkan oleh Muhammad Baqir al-Shadr.
v  Al-Fatwa al-Wadhihah (Fatwa yang Jelas)
v  Manhaj ash-Shalihin (Jalan Orang-orang Saleh)
v  Iqtishaduna (Ekonomi Kita)
v  Manabi` al-Qudrah fi Daulat al-Islamiyah (Sumber-sumber Kekuasaan dalam Negara Islam)
v  Al-Insan al-Mu`ashir wa Al-Musykilah al-Ijtima`iyah ( Manusia Modern dan Problem Sosial)
v  Al-Ushul al-Mantiqiyah li al-Istiqra (Asas-asas Logika dalam Induksi)
v  Falsafatuna (Filsafat Kita)
D.   Sumber Pokok Pengetahuan
          Terjadi perdebatan filosofis yang sengit di sekitar pengetahuan manusia, yang menduduki pusat permasalahan di dalam filsafat, terutama filsafat modern. Pengetahuan manusia adalah titik tolak kemajuan filsafat, untuk membina filsafat yang kukuh, tentang semesta (universe) dan dunia. Jika sumber-sumber pemikiran manusia, kriteria-kriteria dan nilai-nilainya tidak ditetapkan, tidaklah mungkin melakukan studi apa pun, bagaimanapun bentuknya.
Salah satu perdebatan itu adalah diskusi yang mempersoalkan sumber-sumber dan asal-usul pengetahuan. Dengan meneliti, mempelajari dan mencoba mengungkapkan prinsip-prinsip primer kekuatan struktur pikiran yang dianugrahkan kepada manusia. Dengan itu, ia dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: bagaimana pengetahuan itu muncul dalam diri manusia? Bagaimana kehidupan intelektualnya tercipta, termasuk setiap pemikiran dan konsep-konsep (notions) yang muncul sejak dini? Dan apakah sumber yang memberikan kepada manusia arus pemikiran atau pengetahuan ini?[5]
E.     Filsafat Realisme : Idealisme, Materialisme dan Teologi
Sempat menjadi perdebatan yang sangat menarik perhatian manusia Barat abad modern, yaitu mengenai permasalahan realitas atau kenyataan yang memiliki nilai kebenaran itu berlandaskan atas apa, kesadaran subjek, atau fenomena objektif. Permasalahan ini terus mendapatkan perhatian yang begitu spesial, terus berdialektis sehingga membentuk tradisi filsafat yang disebut dengan realisme.
Ada beberapa aliran filsafat yang memperbincangkan masalah kenyataan (realitas) yang diyakini sebagai sumber kebenaran, yaitu idealisme, materialisme dan teologi. Pada aliran yang pertama, Ada beberapa pertanyaan dalam membahas filsafat realisme, yaitu sebagai berikut: “apakah alam dan segala darinya adalah realitas-realitas yang ada (maujud) yang berdiri sendiri dan terlepas dari kesadaran dan pengetahuan; ataukah ini hanya sebatas bentukan dari konsepsi-konsepsi yang berada dalam pikiran kita – dalam artian bahwa pikiranlah yang menjadi pembenaran atas realitas?
Dalam aliran meterialsme dan teologi, diajukan pertanyaan sebagai berikut: “jika sekiranya kita membenarkan kenyataan objektif alam ini, apakah kita akan berhenti pada objektivitas pada batas-batas materi yang terindrai, yang merupakan sebab umum dagi semua fenomena eksistensi dan maujud, yang termasuk didalamnya kesadaran dan pengetahuan; ataukah kita melangkah melampauinya menuju sebab yang lebih tinggi, yaitu sebab yang abadi dan tak terhingga, sebagai sebab primer bagi apa yang kita ketahui atas alam semesta ini secara menyeluruh?”
Konsep tentang realitas yang menganggap bahwa materi adalah pondasi primer atas keberadaan sesuatu, ini yang disebut dengan aliran realistis-materialistis . dan yang melampaui materi menuju sebab yang derada diatas spirit dan alam secara sekaligus, ini adalah aliran realistis-teologis. Jadi, ada tiga konsep tentang alam : idealisme, realisme-materialisme dan realisme-teologis. Idealisme dapat diungkapkan oleh spiritualisme, karena ia menganggap spirit atau kesadaran sebagai pondasi primer atas keberadaan sesuatu.
F.     Koreksi atas Beberapa Kesalahan
            Pertama, anggapan mereka mengenai antara teologis dan meterialisme sebagai ungkapan pertentangan antara idealisme dan realisme. Mereka tidak membedakan antara dua permasalahan tersebut. Klaim bahwa konsep filsafat tentang alam adalah salah satu dari idealisme dan materialisme. Akibatnya, perbincangan tentang kenyataan alam hanya sebatas dua sudut pandang. Jika anda menerangkan alam secara konseptual, dan percaya bahwa konsepsi adalah sebagai sumber realitas, maka anda adalah seorang idealis. Jika anda menolak idealisme yang bersipat subjektif, dan mempercayai adanya realitas di luar ke-aku-an, maka anda tidak mempunyai pilihan lagi, anda akan disebut sebagai materialisme. Dan anda yakin bahwa materi adalah prinsip primer dan bahwa pikiran dan kesadaran hanyahad sebatas refleksi-refleksi tentangnya dan dalam tingkat-tingkat tertentu akan perkembangannya.
            Hal ini sebagai telah kita ketahui, sama sekali tidak sesuai dengan fakta. Realisme tidak terbatas pada konsep materialisme dan idealisme saja, atau subjektivisme bukanlah lawan satu-satunya dari materialistis-filosofis. Tetapi. Dalam realisme terdapat konsep lain untuk mengungkap kenyataan alam ini, yaitu realisme-teologis, yang meyakini realitas eksternal dari dunia dan alam. Spirit (kesadaran) dan meteri menurut konsep teologis ternisbahkan kepada sebab yang berada diluar dunia dan alam.
           
Kedua, tuduhan sementara penulis terhadap konsep teologis yaitu bahwa konsep teologi itu membekukan prinsip ilmiah dalam dunia dan mengeliminasi hukum dan peraturan-peraturan alam yang diungkapkan ilmu prngetahuan .  konsep teologi dalam tuduhan mereka mengaitkan setiap penomena dan maujud dengan konsep teologi.  Sebenarnya, konsep teologi tentang alam tidak berarti tidak membutuhkan sebab-sebab alamidan menolak fakta-fakta ilmiah yang benar.  Akan tetapi aliran teologis menganggap Tuhan sebagai sebab yang berada di luar alam dan memaikan rangkaian mata rantai agen dan sebab kekuatan di atas alam dan materi.
            Ketiga, spiritual mendominasi idealisme dan teologi.  Sehingga spiritualisme dalam konsep teologis mulai tampak memiliki makna yang sama dengan makna konsep idealisme.  Tetapi kita harus mengetahui bahwa yang dimaksud dengan spiritualisme dalam konsep idealis adalah alam yang bertentangan alam material yang terindrai,  yaitu alam kesadaran,  pengetahuan dan ke-aku-an.  Adapun dalam artian teologis adalah cara melihat realitas sebagai suatu keseluruhan bukan sebabai alam tertentu yang bertentangan dengan alam material.  Jadi,  spiritualisme dalam artian teologis adalah suatu metode untuk memahami realitas.
Penutup
Tidak ada yang harus diakhiri dan sekaligus ditutup, karena semuanya belum lah selesai, karena realitas yang sejatinya secara totalitas belumlah terungkap. Realitas akan selalu diperbincangkan dan diperdebatkan, dan akan selalu memunculkan sesuatu yang baru, karena realitas hidup dan realitas dunia pemikiran akan selalu berdialektis. Dan semuanya yang terjadi akan selalu di luar rencana. Karena bisa dimungkinkan realitas bukan milik privasi per individu, dan bukan pula milik bersama secara komunal. selama masih bisa dipikirkan, pikirkanlah. . .!  Sungguh beruntunglah Mahasiswa Aqidah filsafat,di Ushuluddin sebagai tanah yang dijanjikan, kita dituntut untuk mendapatkan kesadaran dan tanggung jawab yang sangat besar, dalam rangka mengungkap dan menghadirkan kebenaran realitas.
Bagi mahasiswa Filsafat,Berfikir secara filosofis itu memanglah penting. . .tapi,
Yang Penting Ushuluddin. . . !!!

Wallahu A`lam bi al-Shawầb




Raferensi
Hanafi, A, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Langeveld, Menuju Pemikiran Filsafat, Tejemahan G. J.Claessen. Jakarta: PT. Pembangunan.
Madjid, Nurcholis, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Shadr, Muhammad Baqῑr, Falsafatuna, Terjemahan M.  Nur Mufid bin Ali,  Bandung: Mizan, 1991.






[1] .  Sayyed Hussein Nashr “Prakata” dalam Falsafatuna, terj. M. Nur Mufid bin Ali, (Bandung: Mizan, 1991).
[2]. Ulama yang dijadikan otoritas rujukan tertinggi dalam madzhab Syi`ah
[3]. Biografi Muhammad Baqir al-Shadr ditulis dalam bukunya Falsafatuna, terj. M. Nur Mufid bin Ali, (Bandung: Mizan, 1991), h. 11.
[4]. Ibid, h. 12.
[5] . Muhammad Baqir al-Shadr, Falsafatuna, h.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2009 Piush
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Videosmall Flickr YouTube