oleh Pagar Dewo pada 19 Desember 2011 pukul 19:16
Kamis (15/12) lalu, Pojok Inspirasi Ushuluddin (Piush) menggelar diskusi menyoal Ushuluddin dan Kebudayaan. Saya mewakili Yapentush, sebuah paguyupan intelektual di Indonesia, hadir sebagai salah-satu dari empat pembicara lainnya, Iman Firmansyah dari Fakultas Sains dan Teknologi UIN Jakarta, Yusuf Albana Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci), dan M. Yan Anwar dari Fisip UIN Jakarta.
Diskusi berlangsung tanpa moderator. Panitia langsung menyerahkan mikrofon kepada saya jelang mulainya acara. Sebab itu agak gagap pula saya, bingung harus mulai darimana.
Satu hal yang masih selalu muncul pada tiap pembahasan kultur ushuluddin adalah soal gaya hidup mahasiswanya. Hingga awal angkat 2007/2008, mahasiswa ushuluddin masih terkenal dengan style yang nyleneh. Rambut gondrong, sandal jepit dan kaos oblong, yang mana hal itu bertentangan dengan kode etik mahasasiswa UIN Jakarta.
Sekilas hal macam itu dinilai hanya seperti sensasi kosong belaka. Namun perlu dicatat, apa yang dilakukan para mahasiswa ushuluddin tersebut merupakan sentakan atau teror guna menyadarkan, hendaklah kita kuliah atau belajar itu lebih mengandalkan otak bukan pakaian. Don’t judge book from the cover.
Rambut gondrong dan sandal juga bisa diartikan sebagai media pemberontakan atas kungkungan aturan-aturan yang kaku dan kurang manusiawi. Agar manusia sadar akan dirinya sebagai manusia, bukan mesin. Bahwa masing-masing kita sebagai manusia itu berbeda, tak bisa diseragamkan seperti sekelompok hewan atau tumbuh-tumbuhan tertentu.
Tak berhenti di pakaian, seloroh dan ucapan-ucapan yang terlontar dari mahasiswa ushuluddin kerap kontroversial. Misalnya ‘Tuhan telah mati’ sebagaimana dalam pemikiran Nietzsche, anjing-Hu akbar, dan lain sebagainya yang kerap membuat telinga serta perasaan kelompok tertentu merah dibuatnya.
Sekali lagi itu merupakan teror yang membuat kita berpikir dan perlu dikaji lebih dalam. Artinya tak semestinya kita berhenti di situ, pada makna denotatif kalimat tersebut.
Bermacam hal dan persoalan yang terkait dengan ushuluddin pun terkuak. Mulai dari masa depan kehidupan mahasiswa dan orang yang menggelutinya dan lain-lain. Perlu dicatat, ushuluddin yang dimaksud di sini bukan sekadar sebagai institusi atau salah-satu fakultas yang ada di UIN Jakarta. Lebih dari itu, ushuluddin adalah budaya, ruh kehidupan umat manusia, atau spirit of human being. Semangat yang diusung ushuluddin adalah semangat kesadaran dan perubahan.
Manusia bukanlah apa yang tampak dari raga, melainkan dibaliknya, yang membuat raga itu bergerak, berfikir dan bertindak. Itulah ushuluddin. Ushuluddin adalah kekuatan tak kasat mata, yang bisa diterima oleh manusia yang menggunakan akal dan terbuka hatinya. Sehingga untuk menjadi manusia unggul tak harus berstatus Mahasiswa Fakultas Ushuluddin, melainkan cukup dengan mengintegrasi nilai dan semangat ushuluddin dalam diri. Tokoh-tokoh seperti Nabi Muhammad, Soekarno, Che Guefara, Galileo, Einsten, Newton dan sebagainya adalah contoh dari manusia yang memiliki jiwa Ushuluddin.
http://yapentush.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar