oleh Sigit Rastafara pada 12 Oktober 2011 jam 19:49
palacur merupakan image yang tertanam dalam diri seseorang khususnya wanita,
para pelacur itu tidak kehilangan kodratnya sebagai wanita. Sebagai wanita, mereka memiliki perasaan yang lebih dalam daripada pria, terutama masalah cinta. Akan ada titik puncak di mana seorang pelacur... atau lebih baik saya katakan... seorang wanita yang melacur merasakan kejenuhan. Setiap hari mereka selalu melayani (beberapa) pria yang ingin memuaskan nafsu birahinya semata-mata tanpa disertai rasa cinta .
Kodrat wanita menuntunnya pada suatu pertanyaan dan refleksi tentang kehidupan yang dijalaninya selama ini: diwarnai oleh pria-pria yang tidak mencintainya namun berhubungan seksual dengannya. Ia pun pada akhirnya memahami bahwa selama ini, pria-pria pelanggannya itu hanya mencintainya fisiknya.
Dalam kondisi yang rumit semacam itu, muncullah kerinduan akan cinta yang sejati. Bukan hanya kata-kata cinta gombal yang umumnya keluar dari para pelanggannya yang hanya hendak memanfaatkan fisik pelacur itu demi memuaskan nafsu birahinya. Ia merindukan seseorang yang akan memberikannya cinta secara seutuhnya, bukan hanya karena kecantikan fisik, tapi terutama karena inner beauty seorang wanita.
Selayaknya, mobil yang bisa berfungsi kalau ada bensin dan accu sebagai sumber tenaganya, manusia pun memiliki sumber tenaga sehingga bisa berfungsi dengan baik. Cinta adalah sumber tenaga manusia. Ahli psikoanalisis, Sigmund Freud menyebutnya dengan libido. Sayangnya, Freud hanya membatasinya dalam fungsi kelamin (hubungan seksual). Tenaga seksual itu sebenarnya tidak hanya sesempit itu. Ia juga meliputi rasa cinta, belas kasih, lembut hati, keberanian, rela berkorban demi orang lain, berhubungan dengan orang lain dan Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar