By 
 on   Rabu, 19 Oktober 2011
 PEMUDA INDONESIA  sejak 1928 telah mengisi labirin sejarah bangsa ini, eksistensinya  kokoh dalam menyulam helaian sejarah. semangat patriotik yang menyala  telah membakar dan melumat habis segala bentuk penindasan mulai dari  imperialisme kulit putih hingga otoriterianisme penguasa yang rakus.  Tentu saja, kita tidak mungkin lupa dengan kata Bung Karno “bawakan  padaku sepuluh orang pemuda, akan ku goncang dunia”.
PEMUDA INDONESIA  sejak 1928 telah mengisi labirin sejarah bangsa ini, eksistensinya  kokoh dalam menyulam helaian sejarah. semangat patriotik yang menyala  telah membakar dan melumat habis segala bentuk penindasan mulai dari  imperialisme kulit putih hingga otoriterianisme penguasa yang rakus.  Tentu saja, kita tidak mungkin lupa dengan kata Bung Karno “bawakan  padaku sepuluh orang pemuda, akan ku goncang dunia”.Begitulah  romantisme pemuda dalam sejarah, perjalanan panjang tentang pemuda  mengingatkan kita pada masa keemasannya. Bayangkan saja, pada tahun 1928  pemuda Indonesia telah mampu menjalin komunikasi lintas pulau, mereka  berkumpul disebuah kost-kosan di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta. dengan  penuh keyakinan, mereka berbait diri, bersumpah hingga melampaui  batasan apapun. Perbedaan suku, bahasa, agama dan budaya justru menjadi  modal sumpah kesatuan tersebut.
Sikap  idealisme, jiwa patriotis dan semangat kebersatuan telah menjadikan  pemuda sebagai perekat bangsa yang terpecah-pecah, bangsa yang selama  350 tahun terkurung dalam kantung imperialisme kulit putih. layak  digarisbawahi, bahwa pemuda pula yang pertama kali mengibarkan  panji-panji kemerdekaan bangsa Indonesia hingga seperti sekarang. 
Ironi Pemuda
Hari  Sumpah pemuda adalah titik kulminasi dari kegelisahan pemuda,  merefleksikan muatan nilai yang dikandungnya harus kita pahami sebagai  bagian dari proses memaknai dan memberikan pengertian atas bangunan  kehidupan yang kita jalani sekarang ini.
sayangnya, hanya sebagian kecil saja yang masih merasakan atmosfer kegagahan pemuda, eksistensinya melebur tergilas zaman.  Pemuda dan cerita-cerita heroiknya kini hanya tersimpan abadi disetiap  museum.  Sumpah Pemuda yang seharusnya tetap hidup dalam setiap ubun-ubun  generasi muda dalam perjalanannya telah berubah menjadi ‘rumah tontonan’  belaka. 
Jiwa  perkasa pemuda telah bertransformasi menjadi narasi yang mati, menjadi  tontonan kolosal, menjadi komoditas politik bagi “para tongkang  berdasi”. Ironi kematiannya disenandungkan sebagai lagu pengantar tidur  anak cucu kita. Hingga kini, Sumpah pemuda dengan tanpa kompromi  ditempatkan sebagai seremonial tahunan tanpa didorong untuk memahami  makna yang dikandungnya.
Alenia-alenia  diatas seperti fiksi, semacam kegelisahan yang dibumbui metafora. Namun  begitulah adanya, kami mengada-ada yang memang ada terlihat, terasa dan  terpikirkan.
Kami  pun merasa perlu untuk memaparkan realita pemuda pada konteks sekarang,  suka atau tidak suka dalam banyak hal makna pemuda telah mengalami  pergeseran yang amat memprihatinkan.
Jika  dahulu pemuda turut menggagas kebersatuan bangsa, maka hari ini justru  pemuda menjadi pemecah kebersatuan itu. Sendi kehidupan mereka telah  dijejali sikap rasisme, maka tidak heran jika ‘pemuda bandung’ sampai  hari ini tetap bermusuhan dengan ‘pemuda jakarta’. 
Selain  itu, dari sekian banyak episode kasus terorisme, kita pun maklum bahwa  hampir seluruhnya diperankan oleh pemuda. Mereka telah menjadi martil  bagi kepentingan golongan tertentu.
Senandung  keberpihakan pada rakyat yang selalu menghiasi karya-karya pemuda sudah  jarang terlihat. Sebaliknya, kini mereka lebih senang memikirkan  bagaimana caranya senandung rakyat berpihak padanya. 
Ironi  diatas hanyalah beberapa, sebagian yang lain biarlah menjadi rahasia  kita bersama. Namun satu hal, coba pikirkan dengan seksama,  apa  yang sebenarnya telah terjadi pada pemuda bangsa ini? Lalu siapa yang  telah tega mencabuli makna pemuda dalam kamus-kamus kita? dan kapan kita  bisa diskusi masalah ini di Ushuluddin?
  
 
 
 







Tidak ada komentar:
Posting Komentar