BREAKING

Selasa, 26 Juni 2012

MUI dan Problematika Label Halal


MUI dan Problematika Label Halal

Oleh : Ramdhany



Ada seseorang—sebut saja su`eb--masuk ke sebuah mini market, orang tersebut melihat dan memilih makanan yang terdapat di dalam toko tersebut. Ditemukan di dalam sebuah produk makanan bertuliskan kata “halal”. Dan su`eb langsung memakan makanan tersebut, lalu dia bergegas keluar. Tapi kemudian, ada seorang penjaga toko yang meneriaki orang tersebut dengan teriakan “maling. .  .maling. .  . maling” dan kemudian orang tersebut digebuki sampai babak-belur dan diserahkan kepada polisi.

Dari sepenggal cerita di atas ada beberapa permasalahan yang harus dijelaskan terlebih dahulu sebelum menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah. Karena penomena tersebut muncul dari imajinasi penulis ketika melihat beberapa kemungkinan realitas yang terjadi di bumi Indonesia.

Bagi saya, ketika menganalisis kejadian tersebut, harus diawali dari pemahaman kita mengenai kata “halal”. Dikatakan di dalam ajaran Islam bahwa yang halal dan yang haram itu sudah sangat jelas dan diantara keduanya adalah sesuatu yang dinamakan syubhat. Sudah jelas di dalam hukum Islam (syari`ah) khususnya dalam disiplin ilmu fiqh, yang dimaksud dengan halal adalah sesuatu yang diperbolehkan untuk memakannya selama tidak membahayakan bagi jiwa dan raganya.

Halal mencakup dua hal, pertama halal dalam dimensi dzat-nya dan yang kedua halal dalam dimensi sifatnya(termasuk dalam cara memperolehnya). Jika seandainya dilihat dari segi komposisi dasar pembuatannya halal tapi dari segi memperolehnya dengan cara mencuri, maka hal tersebut mengakibatkan sesuatu itu menjadi haram. Dan begitu pun ketika barang itu diperoleh dengan jalan mu`amalah tapi dari segi dzatnya itu haram (seperti: Babi, narkoba) maka secara otomatis sesuatu itu menjadi haram juga. Sesuatu bisa dikatakan halal jika telah memenuhi dua kriteria di atas yaitu dari segi dzat-nya dan dari segi sifat-nya.

Dalam konteks di atas, seseorang tersebut (su`eb) telah melihat label halal pada makanan yang ia makan. Label halal tersebut di keluarkan oleh lembaga keagamaan yaitu Majlis Ulama Indonesia (MUI). Konsuekwensi logisnya adalah bahwa MUI bertanggung jawab atas keterjaminan kehalalan makanan tersebut.

Masalahnya adalah bahwa MUI hanya sekedar mencantumkan lebel halal tanpa mencantumkan dan memberikan sebuah penjelasan yang jelas. MUI hanya sebatas mencantumkan label halal dengan menggunakan bahasa Arab tanpa “alif lam”. Halal dimaksud mengandung penafsiran yang universal atau umum, karena halal yang dicantumkan dalam segi ilmu kebahasaan Arab bermakna ”nakirah” yang berarti umum. Lawan dari nakirah adalah ma`rifat yang berarti bahwa sesuatu itu telah terketahui atau sudah dispesifikasikan.

Jadi dalam penafsiran saya halal yang dimaksud MUI itu bermakna umum (nakirah), mencakup aspek materi atau dzat yang menjadi bahan dasar pembuatan dan aspek sifat yang telah dijamin untuk langsung dimakan atau dikonsumsi tanpa harus melakukan sebuah transaksi terlebih dahulu.

Jadi sangatlah jelas bahwa dalam peristiwa diatas secara hukum syara`, su`eb tidak bersalah dan bukan seorang pencuri. Yang salah dalam hal ini adalah MUI yang secara sengaja mencantumkan label halal yang bernuansa umum bukan khusus. Dan sungguh ironis sekali ketika melihat fenomena seperti ini, orang yang dianggap mengerti dan sebagai penjaga tatanan agama dan masyarakat menetapkan sebuah kebijakan hukum syara` yang dapat menimbulkan kekacauan di dalam fenomena kemasyarakatan.
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2009 Piush
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Videosmall Flickr YouTube