BREAKING

Jumat, 22 Juli 2011

Falsafah dan Agama


KESELARASAN FALSAFAH DAN AGAMA
Perspektif Al-Kindī
Oleh : Dani Ramdhani

Sejarah telah mencatat bahwa islām pernah menapaki puncak kejayaannya, yaitu melalui tradisi kritis falsafah. Keterbukaan (inklusifitas) agama islām dalam menerima segala bentuk ilmu yang didalamnya mengandung banyak sekali hikmah walaupun datangnya dari luar islām itu sendiri menyebabkan banyak sekali tokoh-tokoh terkemuka yang lahir darinya.
Setelah islām mulai melebarkan sayap Dār al-Islāmiyyah kepelosok dunia melalui futūhāt, yang terjadi adalah kerisihan mayoritas umat islām untuk bersentuhan langsung  dengan tradisi kebudayaan luar seperti yang datang dari Yunani. Kalaulah kiranya tidak ada peran para failasuf dalam memberikan pemahaman mengenai permasalahan tersebut, tentunya islām tidak akan pernah mencapai puncak kejayaannya dalam bidang ilmu pengetahuan.
Katakanlah Al-Kindī sebagai tokoh failasuf pertama islām yang sangat berperan sekali dalam perjalanan sejarah peradaban islām ke depan. Salah satu usaha yang dilakukannya adalah menyelaraskah antara falsafah dan agama. kemudian ia mencoba meyakinkan dan melakukan proses penyadaran  kepada umat islām bahwa sesungguhnya antara wahyu dan akal berjalan saling beriringan, saling mengisi satu sama lain dan saling berkolerasi. Meskipun pada waktu itu terjadi benturan-benturan dari para tokoh agama ortodok yang mengklaim bahwa orang yang mempelajari falsafah Yunani adalah pelaku bid`ah dan dituduh sebagai orang kufūr.[1]
Al-Kindī ialah orang islām pertama yang merintis jalan dalam  mengupayakan adanya keserasian antara falsafah dengan agama[2]. Menurutnya antara keduanya tidaklah bertentangan, karena masing-masing keduanya adalah ilmu tentang kebenaran. Sedangkan kebenaran itu satu. Yang dicari dalam falsafah adalah kebenaran, begitu pula agama yang dituntun oleh wahyu. Kebenaran dalam jiwa falsafah adalah kebenaran akal, sedang kebenaran agama adalah kebenaran wahyu. Al-Kindī mencoba memperkenalkan tradisi kritis falsafah  ke dunia islām yaitu dengan cara memberikan pemahaman kepada umat supaya dalam menerima suatu “kebenaran” tidaklah hanya berlaku satu arah yaitu “wahyu”, akan tetapi peranan “akal” juga menjadi salah satu jalan penentu akan “kebenaran” itu sendiri.  
Falsafah dan agama merupakan jalan untuk mengetahui tentang hakikat segala sesuatu, dan mengandung theology, ilmu tauhid, etika dan semua ilmu pengetahuan yang bermanfaat Keselarasan antara falsafah dan agama ini didasarkan kepada tiga alasan : 1) bahwa ilmu agama merupakan bagian dari falsafah, 2) bahwa antara wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran falsafah terdapat kesesuaian, dan 3) bahwa menuntut ilmu secara logika diperintahkan dalam agama.[3]
Sebagai salah satu contoh kasus tematis dalam pembahasan ini adalam mengenai “kebenaran pertama”(al-ĥaq al-awwal). Baik falsafah maupun agama sama-sama mencoba untuk menjelaskan tentang apa atau siapa kebenaran pertama itu. Agama melalui pendekatan wahyu mencoba menela`ah dalīl- dalīl naql akan hal ini, yang pada suatu kesimpulah bahwa kebenaran pertama ini adalah Allah Swt. begitu pun dengan falsafah, melalui pendekatan akal atau rasio dan logika sebagai alatnya, mengupas secara tuntas mengenai “kebenaran pertama” melalui argumentasi-argumentasi rasional yang pada suatu kesimpulan bahwa kebenaran pertama ini adalah wājib al-wujūd yaitu Allah. Sederhananya, dua jalan berbeda berujung di muara yang sama. Wallāhu a`lamu bi al-shawāb


[1] Ahmah Fu`ad el Ehwani, Risalah al-Kindī tentang“Falsafah Awal” (Kairo:1948),82.
[2] Musthafa `Abd al-Rāziq,  Failāshuf al`-Arāb wa al-Mu`allim al-Tsāni (Kairo:1945), 47.
[3] M.M.Syarif.M.A., Para Filosof Muslim (Bandung, Mizan:1985), 85.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2009 Piush
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Videosmall Flickr YouTube