BREAKING

Jumat, 22 Juli 2011

RASIONALISASI KONSEP KENABIAN


RASIONALISASI KONSEP KENABIAN
PERSPEKTIF IBN SĪNA



Disusun oleh :

Dani Ramdhani



Pemikir terkemuka, Abū `Alī al-Husayn Ibn Sīnā, radliyallahu `anhu, berkata :
Anda meminta – semoga Allah memberi kesejahtraan kepada anda – agar saya meringkaskan dalam satu risalah inti dari apa yang telah saya katakana kepada anda, untuk menghilangkan keraguan yang melekat pada anda dalam menerima kebenaran kenabian, disebabkan adanya kemungkinan bahwa pengakuan-pengakuan para nabi itu mengandung hal-hal yang bersipat mungkin (boleh jadi) tetapi diprlukan sebagai wajib (bersifat pasti), tanpa ditopang oleh suatu argumentasi, baik yang burhani (demonstratife) maupun yang jadali (dialekik). Atau sebaliknya, pengakuan0pengakuan tersebut mengandung hal-hal yang tidak masuk akal dan bernilai sebagai dongeng belaka, sehingga kesibukan menerangkannya oleh para pengaku kenabian iu patut megandung tertawaan. Maka saya ingin memenuhi permintaan anda – semoga Allah memanjangkan umur anda – sebagai berikut :
Sesuatu yang berada di dalam sesuatu yang lain secara esensial (bidz-dzat) adalah juga berada didalamnya secara aktual (bil-fi`li), selama sesuatu yang kedua itu tetap ada ; dan sesuatu yang berada di dalam yang lan secara kebetualan (bil-`aradl, accidental) adalah berada didalamnya, kadang-kadang secara potensial(bil-quwwah) da kadang-kadang secara aktual. Dan sesuatu yang memiliki sifat esensial adalah selamanya juga bersifat aktual. Sesuatu yang esensial itulah yang mengubah sesuatu potensialitas menjadi aktualitas, baik dengan maupun tanpa perantara.
Contoh untuk ini ialah cahaya, yang secara esensial Nampak, dan menjadi sebab bagi perubahan sesuatu yang potensial Nampak menjadi akual nampak. Juga api, yang dalam esensinya panas dan membuat lainnya panas, daik dengan perantara – sebagaimana umpamanya jika api itu memanasi air melaluai perantara priok tembaga – atau tanpa perantara – sebagai mana jika api itu memanasi piok tembaga itu sendiri, yakni dengan sentuhan langsung. Banyak missal yang bisa diberikan dalam hal ini.
Selanjutnya, jika sesuatu terdiri dari dua bagian, da jika dari salah satu keduanya itu bisa terwujud tanpa yang lain, maka yang lainnya itu pun bisa terwujud tanpa yang pertama. Salah satu contoh dalam hal ini ialah oksimel (oxymel,sakanjabin) yang tediri dari cuka dan madu; jika cuka bisa terwujud tanpa madu, maka madupun bisa ada tanpa adanya cuka. Contoh lainnya adalah bangunan patung yang terdiri dari perunggu dan bentuk manusia ; kalau perunggu bisa ada tanpa bentuk manusia, maka bentuk manusiapun bisa ada tanpa adanya perunggu. Ini semua dapat diketahui melalui induksi, dan untuk itu banyak missal lainnya.
Sekarang saya katakan, didalam manusia terdapat kekuatan yang membedakannya dari binatang dan benda lain. Kekuatan itu dinamakan jiwa rasional (an-nafs an-nathiqah). Ini ada pada setiap orang tanpa kecuali, namun tidak (ada pada setiap orang) dalam sifat-sifatnya yang khusus, karena kemampuan jiwa rasional itu berbeda-beda diantara banyak orang. Begitulah, maka ada kekuatan pertama yang mampumenerima gambaran tentang bentuk-bentuk universal yang diabstrakan dari benda, dan yang pada dirinya tidak mempunyai bentuk. Oleh sebab itu kekuatan pertama ini dinamakan intelek material ( al-`aql al-hayulani), secara qiyas dengan materi pertama (al-hayula). Kekuatan ni adalah kekuatan dalam potensialitas, sama dengan api yang potensial panas, tidak dalam pengertian bahwa api mempunyai kemampuan untuk membakar.
Kemudian ada kekuatan kedua yang mempunyai kemampuan serta kesediaan positif untuk menangkap bentuk-bentuk universal karena bentuk-bentuk universal itu mengandung pikiran yant telah diterima dan bersifat umum. Ini juga merupakan kekuatan dalam potensialitas, tetapi dalam pengertian seperti jika kita katakana bahwa api mempunyai potensi untuk membakar.
Disamping kedua kekuatan tersebut, terdapat kekuatan ketiga yang secara aktual menangkap bentuk-bentuk pengertian universal, dimana kedua kekuatan terdahulu itu menjadi bagian jika kekuatan-kekuatan itu telah menjadi aktual.  Kekuatan ketiga ini dinamakan kekuatan perolehan (mustafad, diperoleh karena latihan dan yang sejenisnya) kekuatan mustafad itu secara aktual tidak terdapat di dalam intelek material, jadi juda tidak terdapat di dalamnya secara esensial. Karenanya adanya intelek mustafad dalam intelek material itu adalah disebabkan adanya sesuatu yang lain yang di dalamnya terkandung intelek mustafad secara esensial dan yang menyebabkan wujud; dengan sesuatu itulah apa yang potensial menjadi aktual.  Sesuatu kekuatan ini dinamakan intelek universal, jiwa universal, da jiwa alam ( al-`aql al-kulli, an-nafs al-kulli, nafs al-`alam).
Pemahaman sesuatu yang secaa esensial memiliki kemungkinan sesuatu untuk bisa dimengerti terjadi dalam dua cara : secara langsung atau secara tidak langsung. Demikian pula pemahaman dari intelek aktif universal (al-`aql al-fa`al al-kulli) terjadi dalam dua cara. Adapun yang secara langsung ialah seperti penerimaan aka pikiran-pikiran umum dan kebenaran-kebenaran yang jelas pada dirinya. Adapun penerimaan dengan perantara ialah seperti penerimaan pengertian-pengertian sekunder dengan perantaraan pengertian primer, dan penerimaan pengertian yang terjadi dengan mengguakan alat-alat atau benda-benda seperti indera akal sehat (al-hiss al-musytarak, common sense) dugaan dan pikiran. Karena jiwa rasional itu – sebagai mana telah kita tunjukan – menerima pengertian kadang-kadang secara tidak langsung, maka kemampuanya untuk menerima secara langsung tidak berada pada dirinya secara esensial, melainkan secara kebetulan. Sebab itu tentunya kemampuan tersebut terdapat secara esensial pada sesuatu yang lain, yang daripadanya jiwa rasional itu mendapatkan kemapuan tadi. Sesuatu yang lain ini dinamakan intelek Malaikat, yang secara esensial mampu menerima tanpa perantara bagi kekuatan-kekuatan lainnya lagi untuk juga bisa menerima.
Sifat-sifat khusus pada pengertian-pengertian primer yang membuatnya bisa diterima tanpa perantaraan ada dua hal  ; ringkasnya, baik karena memang pengertian-pengertian itu sendiri mudah diterima, atau karena si penerima bisa menerima tanpa perantaraan hanya hal-hal yang mudah diterima.
Kita juga mengetahui bahwa terdapat berbagai tingkat kekuatan dan kelemahan, kemudhan dan kesulitan, dalam si penerima dan dalam hal-hal yang diterima. Dan adalah mustahil bahwa kepastian untuk menerima itu bersifat tanpa batas. Sebab terdapat keterbatasan pada jurusan kelemahan, berupa ketidak mempuan kekuatan tertentu untuk menerima biarpun hanya satu bentuk pengertian, langsung ataupun tidak langsung ; dan terdapat keterbatasan pada jurusan kekuatan, yang terdiri dari kesanggupan kekuatan tertentu untuk menerima secara langsung. Jadi, pendapat bahwa kesanggupan untuk menarima itu tek terbatas akan menyangkut pengertian bahwa kesanggupan itu sekaligus terbatas dan tak terbatas pada kedua jurusan lemah dan kuat, dan ini adalah kontradiksi yang mustahil.
Selanjutnya, telah diterangkan bahwa dalam hal sesuatu yang terdiri dua bagian, jika salah satu dari keduanya itu bisa terdapat terpisah dari yang lain, maka yang lain ini pun bisa terdapat terpisah dari yang pertama. Demikian pula telah kita lihat adanya sesuatu yang tidak mempu menerima pancaran intelek tanpa pelantara; juga jika terdapat keterbatasan pada kemampuan itu pada jurusan kekuatanya.
Sekarang tigkat-tingkat keunggulan diantara sebab-sebab adalah seperti saya katakana katakana ini: sebagian esensi individual berdiri sendiri dan sebagia lagi tidak; maka yang pertama itu adalah yang lebih unggul. Yang berdiri sendiri itu bisa berupa wujud-wujud esensial yang immaterial, atau bisa yang berupa wujud-wujud material; dan yang pertama itu yang lebih unggul. Marilah kita lanjutka dan kita bagi lagi kelompok yang terakhir ini, karena disitu terdapat apa yang sedang kita cari. Bentuk-bentuk material yang memberi wujud kepada benda-benda bisa bersifat organik atau tidak organik; dan yang pertama itulah yang unggul. Yang organik  itu bisa berupa binatang atau bukan binatang; yang berupa binatang itu yang lebih unggul. Seterusnya, binatang rasional atau tidak rasional; yang rasional yang lebih unggul. Yang rasional itu boleh jadi memiliki akal dengan kesediaa positif atau tidak memilikinya. Dan yang memiliki itu menjadi aktual secara sempurna atau tidak; dan yang menjadi aktual secara sempurna itulah yang unggul. Yang bisa menjadi aktual secara sempurna itu ada yang secara langsung da nada yang melalui pelantara; dan yang pertama itu yang lebih unggul. Inilah yang disebut Nabi, yang padanya terdapat puncak tingkat-tingkat keunggulan dalam lingkungan bentuk-bentuk material. Karena yang unggul berdiri di atas yang rendah serta menguasainya, maka Nabi berdiri di atas semua jenis wujud yang diunggulinya serta menguasai mereka.
Wahyu adalah bentuk pancaran, dan Malaikat adalah kekuatan yang memancarkan, yang diterima oleh para Nabi dan yag turun kepada mereka, seolah-olah ia merupakan pancaran yang bersambung dengan intelek universal, yang terperinci bukan secara esensial melainkan secara kebetulan, disebabkan kekhususan para penerimanya. Begitulah, maka para Malaikat mempunyai nama yang berbeda-beda, bersangkutan dengan pengertian yang berdeda-beda pula. Meskipun begitu, mereka membentuk keseluruhan yang tunggal, yag kekhususannya tidak terjadi secara esensial akan tetapi secara kebetulan, disebabkan kekhususan para penerimanya.jadi kerasulan merupakan bagian dari pancaran itu yang dinamakan wahyu, yang diterima dalam berbagai bentuk ekspresi untuk kepentingan umat manusia, baik dialam baka atau dialam dunia berkenaan dengan ilmu pengetahuan dan politik. Rosul ialah orag yang menyampaikan apa yang ia peroleh dari pancaran yang diseut wahyu, sekali lagi dalam bentuk ekspresi apapun yag dianggap terbaik, agar dengan ajaran-ajarannya itu bisa dihasilkan adanya perbaikan dalam alam indera melalui politik, dan dalam alam intelektual dengan ilmu pengetahuan.
Maka inilah inti pembahasa tentang pengetahuan kenabian pembuktian esensinya, serta keterangan tentang wahyu, para malaikat dan apa yang diwahyukan. Adapun berkenaan dengan kebenaran kenabian Nabi Muhammad SAW. Adalah sudah jelas bagi setiap orang yang berakal bila ia mau membandingkan Nabi itu denga Nabi-nabi yang lain alaihissalam . kita tidak perlu lagi menerangkannya secara panjang lebar.
Wallahu a`lam 







 

Sumber :
Nurcholis Madjid (ed), Khazanah Intelektual Islam,( Bulan Bintang, Jakarta : 1994) dari Itsbā an-Mubuwwāt li ibn Sīnā,  diedit dengan pengantar dan antonasi oleh Michael Marmura, Dār al-Nahār, Beirut, 1968


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2009 Piush
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Videosmall Flickr YouTube