BREAKING

Jumat, 20 Februari 2015

Regenerasi di Tengah Faksionalitas PPP; Upaya Mempertahankan Kekuasaan


Oleh Muflih Hidayat

Faksionalitas yang terjadi antarelite dan kader merupakan fenomena yang sah dalam menemani laju dinamika partai politik. Perbedaan orientasi politik melahirkan fragmentasi internal yang terkadang menimbulkan perpecahan. Layaknya PPP, seteru antara Romahurmuziy dan Djan Faridz merupakan bukti faksionalitas yang ada dalam internal PPP.
Wasisto Raharjo, seorang pengamat politik mengutip teori Katz dan Mair tentang faksionalitas, bahwa faksionalitas terjadi dalam dua tipe pembilahan; mutually excluded dan mutually restricted. Pengertian pertama, faksionalitas terjadi secara laten yang kemudian menciptakan kubu-kubu kecil dalam tubuh partai, namun antara kubu satu dengan kubu lainnya masih berupaya menjalin harmonisasi. Pola transaksional atau bargaining politic menjadi jalan tengah yang menghubungkan antarkubu dalam memutuskan pilihan tertentu sehingga melahirkan koalisi kolektif dalam partai. Pengertian kedua, faksionalitas terjadi sebagai bentuk perlawanan kubu kecil terhadap kubu dominan yang berada di elite partai. Kubu kecil tersebut mengidentifikasi dan mengafiliasi diri sebagai kompetitor elite partai. Tipe faksionalitas yang kedua ini biasanya menghasilkan pemisahan diri anggota partai yang kemudian melahirkan partai baru. Betapapun pemisahan diri itu terjadi namun relasi antara keduanya masih terjalin sebagai fungsi mentoring dan koordinasi antara partai baru dengan partai induk.
Sosok seorang figur menjadi kata kunci dalam menghadapi fenomena faksionalitas tersebut. Figur inilah yang menjadi simbol pemersatu dan pengontrol internal partai sekaligus sebagai kompetitor ketika berhadapan dengan eksternal partai.
***
Melihat PPP sebagai kontestastan politik di Indonesia, tentunya PPP sudah mengalami berbagai fenomena kepartaian termasuk tipe mutually excluded dan mutually restricted. Buktinya, saat menjelang Pemilu 2014, Suryadharma Ali yang menjabat sebagai ketua umum terlihat mesra dengan Prabowo. Ia turut hadir dan bergandengan tangan dengan Probowo saat kampanye di Senayan dan menyambut kedatangan Probowo di kantor DPP PPP. Di lain pihak, beberapa petinggi  DPP PPP menyampaikan kekecewaannya terhadap sikap SDA yang menentang hasil Mukernas tersebut, saat Mukernas tidak ada nama Prabowo dalam bursa calon yang akan didukung oleh PPP. Hal ini dianggap menggadaikan nama baik partai. Konfrontasi disampaikan di berbagai media dengan ekspresi yang cukup menggelegar. SDA menanggapi hal itu dengan berdalih bahwa sikap tersebut dilakukan atas dukungan dan arahan sesepuh PPP, Maimoen Zubair.
Selang beberapa waktu, akhirnya PPP bulat mendukung Prabowo tanpa menyisakan konfrontasi yang ditampakkan seperti sebelumnya. Hal ini mengindikasikan adanya faksionalitas tipe pertama yang penyelesaiannya melalui transaksi dan bargaining politic, yakni ketika pembagian “kue” dirasa merata, maka tak satupun pihak yang menolak tawaran. Sedangkan faksionalitas tipe kedua yang terjadi dalam tubuh PPP ialah ketika era Zainuddin MZ dan beberapa tokoh PPP membentuk partai baru bernama Partai Bintang Reformasi (PBR) sebagai bentuk kekecewaan Zainuddin MZ terhadap kepemimpinan Hamzah Haz. Pemisahan diri Zainuddin MZ dari PPP sama sekali tidak merusak hubungannya dengan Hamzah Haz, keduanya masih beriringan dalam menentukan beberapa pilihan politisnya.
Faksionalitas dalam tubuh PPP memang sangat wajar terjadi karena secara historis PPP merupakan partai fusi dari empat partai sebelumnya; Nahdhatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Perti. Sistem kepartaian Orba mengharuskan perampingan partai islam sehingga keempat partai tersebut memutuskan melebur menjadi satu partai yakni PPP pada tanggal 5 Januari 1973.
Biasanya sengketa internal PPP selalu terjadi antara dua kubu besar yakni NU dan Parmusi. Keduanya adalah kubu terbesar dalam internal PPP. Pada 2008 silam, ada konflik antara SDA yang terlahir dari gerbong NU dengan Bachtiar Chamsyah dari gerbong Parmusi. Konflik berawal dari pemecatan Choirul Mahfiz oleh SDA dari kursi Sekjen DPP PPP, Choirul adalah kader kesayangan Bachtiar di Parmusi. Pemecatan Choirul turut menyeret karir politik Bachtiar menjadi redup. Bachtiar sempat juga masuk penjara.
Menjelang akhir kepemimpinan SDA, ada hal aneh mewarnai konflik PPP yakni sengketa terjadi bukan antara barisan NU-Parmusi melainkan antarkader dari gerbong NU sendiri. SDA yang NU merestui dan mendukung Dzan Faridz untuk menggantikannya sebagai ketua umum, sementara itu kompetitornya adalah Romahurmudziy yang lahir dari gerbong NU pula. Kali ini konflik internal PPP terkesan bukan akibat perbedaan haluan ideologis, tetapi seolah-olah akibat pembagian “kue” yang tidak merata. Ini hal yang nyeleneh dan menjadi pertanyaan besar yang harus dijawab oleh SDA. Ia merupakan orang yang paling bertanggung jawab dalam hal ini, sebab ia adalah sosok representatif NU yang seharusnya mampu mengakomodir sekaligus meredam ego sektoral kader-kader NU.
***
Kronologis pertikaian PPP berawal dari Muktamar PPP di Surabaya pada tanggal 16 Oktober 2014 yang menetapkan secara aklamasi Romahurmudziy sebagai ketua umum. Program pertama yang akan ia lakukan setelah terpilih ialah mengonsolidasi organisasi mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah, wilayah, cabang, dan ranting dalam rentan waktu 1,5 tahun. Ia pun mengatakan akan merekrut kader yang memiliki integritas, loyalitas, dan dedikasi untuk menjadi ikon baru partai.
Berselang 15 hari, tepatnya 31 Oktober 2014, muncul muktamar tandingan yang menetapkan Dzan Faridz sebagai ketua umum. Di tengah hiruk pikuk sengketa internal tersebut, Suryadharma Ali selaku ketua demisionerpun tak mampu menjadi sosok penengah. Justru ia terlibat secara langsung dalam menetapkan Dzan Faridz sebagai penggantinya.
SDA menyatakan Muktamar yang diselenggarakan oleh Romahurmuziy tidak sah karena tidak diselenggarakan oleh ketua umum demisioner. Sementara Romahurmuziy berdalih Muktamar Surabaya adalah sah karena dihadiri oleh 26 DPW dari total keseluruhan 33 DPW.
SDA dan Romahurmuziy sama-sama memiliki landasan konstitusi yang sah dan tidak bisa dibantah. Akan tetapi ada perbedaan yang menonjol di antara keduanya yakni SDA menggunakan kekuatan individunya, sementara Romahurmuziy menggunakan kekuatan kolektif akar rumput. Romahurmuziy membawa bekal lebih dari 2/3 kehadiran sekaligus dukungan DPW yang menjadi syarat legalisasi mengadakan Muktamar, ini adalah bukti bahwa di tingkat wilayah lebih membutuhkan sosok Romahurmudziy sebagai pemimpin PPP daripada Dzan Faridz. Sementara itu, SDA tidak mengakui kekuatan dukungan DPW yang sudah mencapai Quorum tersebut, SDA hanya memanfaatkan jabatan ketua umum yang melekat pada dirinya untuk menolak hasil Mukernas Surabaya. SDA terkesan berupaya mempertahankan kekuasaan pribadinya.
Sikap Romahurmudziy yang seolah-olah melawan terhadap seniornya di NU ini merupakan suatu bukti kepemimpinan SDA yang tidak mampu mengakomodir kepentingan kubunya sendiri, lantas bagaimana ia mampu memperjuangkan kebutuhan PPP secara keseluruhan jika kadernya sendiri tak mampu ia penuhi kebutuhannya.
Entah apa yang terjadi di kemudian hari jika konflik antara Romahurmuziy dan Djan Faridz tidak menemukan titik temu. Upaya rekonsiliasi masih sekadar dalam bentuk wacana. Sementara masih banyak hal yang seharusnya dilakukan oleh PPP untuk turut berperan membangun Indonesia daripada hanya sekadar disibukkan oleh konflik internal memperebutkan posisi ketua umum.

***
Jika kita menelaah fenomena faksionalitas di negara-negara maju, seperti Amerika dan Inggris, maka kita akan melihat hasil yang berbeda. Faksionalitas di negara maju terjadi disebabkan oleh fragmentasi ideologi yang tidak tertampung dalam partai induk, bukan oleh upaya merebut dan mempertahankan aset serta kekuasaan personal layaknya di Indonesia.
Perpecahan di tubuh PPP menjadikan publik menduga-duga apakah ini disebabkan perbedaan ideologis atau karena adanya upaya mempertahankan dan memperebutkan keuntungan pribadi. Pemberontakan Romahurmudziy terhadap SDA sudah cukup menjadikan publik su’udzon bahwa ini diakibatkan upaya mempertahankan kekuasan pribadi yang dilakukan oleh SDA. Tentunya, ini mengharuskan seluruh kader PPP untuk menyelesaikannya dan sesegera mungkin diutarakan kebenarannya kepada publik demi mengembalikan trust publik terhadap PPP.
Tak lama lagi Indonesia akan mengadakan pilkada serentak, tentunya seluruh partai politik harus menyiapkan diri untuk berkontestasi dalam mengawal proses demokrasi ini. Mekanisme pilkada telah disepakati, yakni diselenggarakan dan dipilih oleh rakyat. Oleh sebab itu setiap partai dituntut bersaing meningkatkan alektabilitas partai di tingkat akar rumput.

***

Nampaknya PPP sedang merindukan seorang figur yang mampu menjadi panutan di tengah dinamika organisasi yang pelik dalam rangka mengawal regenerasi kepemimpinan. Krisis tauladan sedang melanda PPP. Momen genting seperti ini mengharuskan “para dewa” turun gunung jika memang keutuhan PPP masih ingin terjaga.
Mungkin sosok  Maimoen Zubair sangat dinanti-nanti kehadirannya untuk angkat bicara. Kyai asal Rembang ini adalah sosok yang cocok dan pantas untuk ditunjuk sebagai penengah karena secara de facto beliau merupakan Ketua Majelis Syariah PPP sekaligus sesepuh NU. Sementara secara de jure karismatik Mbah Moen masih dipandang oleh kedua kubu. Buktinya, SDA menyebut nama Mbah Moen saat berdalih mengapa ia memilih berkoalisi dengan Prabowo sementara hasil Mukernas sebelumnya mengatakan hal lain. Di lain pihak, Mahfudhoh selaku Anggota Mahkamah PPP dari kubu Romahurmudziy menyatakan “Saya pikir Muktamar (versi Surabaya)  ini sudah memenuhi syarat. Nanti akan kita bicarakan ke Mbah Moen”. Mahfudhoh akan mempertahankan hasil Muktamar Surabaya ke Mbah Moen, jika Mbah Moen menggelar Muktamar lagi, maka ia berharap itu melegitimasi keterpilihan Romahurmuziy.
Sekedar catatan untuk Mbah Moen. Tentunya, beliau harus bersikap netral dan dewasa dalam menangani perpecahan antara Romahurmudziy dan Dzan Faridz ini. Karena jika tidak, maka pertikaian akan semakin panjang dan berjalan secara simultan.

Perlu diingat bahwa tugas PPP tidak hanya sebatas menyelesaikan konflik internal saja, tetapi PPP juga harus mampu menjawab persoalan-persoalan eksternal jika memang PPP masih ingin dihargai oleh rakyat. SDA dituntut sigap dalam hal ini. Ia seharusnya husnul khotimah sebelum mangkat dari jabatan ketua umum dengan berupaya meredam ego sektoral dalam tubuh PPP, bukannya malah menyisakan konflik, Apalagi konflik sesama kubu NU.*

*Tulisan Ini Diajukan pada Lomba Karya Tulis Ilmiah dan Memperoleh Juara Harapan II yang Diselenggarakan oleh DPP PPP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2009 Piush
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Videosmall Flickr YouTube