BREAKING

Selasa, 29 April 2014

Sumbangsih Tradisi Islam Terhadap Pembangunan Indonesia Modern

Oleh: @romansah_92
Judul Buku  : TRADISI ISLAM Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia
Penulis       : Dr. Nurcholish Madjid
Editor         : Kasnanto
Penerbit      : Dian Rakyat & Paramadina, 2008
Tebal           : 257 halaman
Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia, berhasil menganut sistem demokrasi modern. Bila dibandingkan dengan negara-negara Muslim lainnya, seperti di Timur-Tengah, dan bahkan negara non Muslim seperti Korea Utara, demokrasi di Indonesia jauh lebih maju dari mereka. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari sumbangsih tradisi Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia.
Dalam pandangan mendiang Nurcholish Madjid, yang akrab dipanggil Cak Nur, keislaman, keindonesian dan kemodernan — yang notabene berasal dari tradisi yang berbeda — bisa berjalan berbarengan dan saling bersinergi sebagaimana bisa dilihat di Indonesia kontemporer. Konvergensi yang demikian itu dimungkinkan karena karakter ajaran Islam yang ‘egaliter’ dan ‘kosmopolit’ bisa menjadi penyokong bagi pembangunan suatu negara, seperti Indonesia.
Setidaknya itulah garis besar dan pesan kuat yang saya tangkap dan pahami setelah membaca buku Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia karya Nurcholish Madjid, terbitan Dian Rakyat (2008). Buku setebal 257 halaman ini terdiri dari delapan belas tulisan dan dibagi ke dalam empat bab: 1) Kajian Ilmiah Islam Indonesia; 2) Peran Umat Islam Indonesia Menyongsong Era Tinggal Landas; 3) Dimensi Sosial Budaya Pembangunan di Indonesia; dan 4) Demokrasi di Indonesia.
Dari bab-bab tersebut, meski banyak memberikan pengetahuan dan analisis yang luas tentang Islam dan pembangunan di Indonesia, namun secara skematis buku ini bisa diringkas ke dalam tiga pokok utama. Pertama, tradisi Islam yang egaliter dan kosmopolit mudah diterima di Tanah Air. Kedua, masih berkaitan dengan yang pertama, karakter Islam yang demikian itu bisa dengan mudah menopang pembangunan di Indonesia. Dan ketiga perihal perkembangan dan tantangan demokrasi (Pancasila) di Tanah Air yang kaidah-kaidahnya dirujuk pada sumber-sumber tradisi Islam. 
Tradisi Islam yang Kosmopolit
Dengan argumentasi yang meyakinkan, Cak Nur memulai pembahasan tentang tradisi Islam yang kosmopolit seraya memperlihatkan bukti-bukti doktrinal dan historis Islam, baik ketika masuk ke Indonesia maupun pada masa-masa awal kelahirannya. Bagi Cak Nur, kelahiran Islam membawa terobosan baru bagi masyarakat Arab ketika itu, baik secara doktrinal maupun sistem politik yang diwariskannya. Secara doktrinal, Islam mematahkan sistem peribadatan yang jamak digunakan dalam tradisi masyarakat Arab sebelumnya, yaitu melalui pemujaan terhadap berhala-berhala kecil. Dengan memperkenalkan konsep ‘kepasrahan’ (tauhid) hanya kepada Tuhan dan bukan kepada yang lain (berhala, manusia dan lain-lain), Islam menempatkan manusia setara dengan manusia lainnya, dan tak boleh tunduk terhadap mahluk di luar dirinya, kecuali hanya pada Tuhan (Madjid, 2000). Ajaran Islam yang demikian memperlihatkan bahwa semangat egalitarianisme dan prinsip kosmopolitanisme menjadi bagian tak terpisahkan dalam ajaran Islam.
Semangat egalitarianisme Islam yang lahir di tanah Arab ketika itu semakin lengkap karena dibarengi dengan penciptaan tradisi politik ‘modern’ yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Menurut Cak Nur, politik yang diwariskan oleh Nabi Muhammad merupakan terobosan paling modern pada zamannya. Dengan merujuk pada studi-studi yang dilakukan oleh para ahli seperti Robert N. Bellah, Cak Nur memperlihatkan kemodernan warisan politik Rasulullah, yaitu kesediaan untuk tidak menunjuk khalifah atau pemimpin setelahnya berdasarkan garis keturunan, yang waktu itu sangat lazim dilakukan oleh suku-suku lokal. Bahkan, demikian Cak Nur, politik yang diwariskan Nabi Muhammad terlalu modern untuk zamannya sehingga infrastruktur sosial masyarakatnya tak bisa menopang dengan baik.  
Untuk membuktikan warisan politik modern Nabi Muhammad, Cak Nur  mengutip dengan cukup panjang tulisan dari Robert N. Bellah yang membahas tentang itu:
"Tidak ada keraguan bahwa di bawah (Nabi) Muhammad, masyarakat Arab telah membuat lompatan ke depan yang menakjubkan dalam kecanggihan sosial dan kemampuan politik. Ketika struktur mulai terbentuk di bawah Nabi kemudian dikembangkan oleh khalifah-khalifah pertama untuk memberi prinsip keorganisasian bagi suatu imperium dunia, hasilnya adalah sesuatu yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern. Ia modern dalam tingkat yang tinggi dari komitmen, keterlibatan, dan partisipasi yang diharapkan dari semua susunan keanggotaan masayarakat. Ia modern dalam keterbukaan dalam posisi kepemimpinannya terhadap kemampuan yang diuji berdasar alasan-alasan yang universalistik dan dilambangkan dalam usaha melembaga-kan suatu pinpinan tidak berdasar warisan". (hal. 83)
Islam yang berkarakter egaliter dan kosmpolit seperti telah dibahas, menjadi salah satu alasan kuat kenapa agama ini bisa masuk dan diterima dengan mudah di Nusantara. Sebelum Islam menyebar ke Indonesia, agama Buddha dan Hindu, dengan Sriwijaya dan Majapahit sebagai simbolnya, menjadi salah satu agama yang dianut mayoritas penduduk Nusantara. Akan tetapi, ketika Islam masuk melalui Selat Malaka dan daerah pantai-pantai lainnya, secara drastis ia menyebar, diterima dan menggantikan posisi mayoritas.
Seperti pada saat kelahirannya di tanah Arab, masuknya Islam ke Indonesia juga ditandai dengan perubahan revulusioner untuk masa itu. Semangat revolusioner dari masuknya Islam ke Indonesia setidaknya bisa dilihat dari dua hal. Pertama, ialah sumbangsih Islam sebagai agama egaliter radikal, berakibat berhentinya sistem kasta dalam masyarakat Hindu di Indonesia dan penghentian praktik sati (sebuah tradisi yang mengharuskan seorang istri terjun ke dalam api mengikuti suaminya yang wafat). Kedua, Islam dengan kesadaran hukumnya yang amat kuat telah melengkapi penduduk negeri ini, khususnya para pedagang, dengan sistem hukum yang berjangkauan internasional, yang mampu mendukung kegiatan perdagangan dalam konteks ekonomi global yang saat itu sedang berada dalam kekuasan Islam (hal. 17).
Menurut Cak Nur, kendati dua kerajaan di Nusantara (Sriwijaya dan Majapahit) merupakan salah satu kerajaan besar di muka bumi, tetapi dalam konteks perdagangan internasional ia justru kalah dengan kemaha-rajaan mesiu (gunpowder kingdoms) Islam, seperti Mogul di India, Safawi di Persia, dan Turki Utsmani atau Ottoman di Turki (hal. 16). Dalam bacaan saya, fakta historis ini sengaja diangkat Cak Nur dalam buku ini untuk memperlihatkan bahwa semangat egaliter dan kompolitanisme menjadi bagian tak terpisahkan dari agama Islam. Dengan wataknya yang egaliter dan kosmopolit itulah, Cak Nur ingin mengatakan bawah sejak semula Islam menyokong ide-ide kemajuan seperti pembangunan, industrialisasi dan demokrasi.
Pembangunan di Indonesia
Berpijak pada karakter Islam yang egaliter dan kosmpolit seperti telah dibahas, maka tak ada alasan bagi kaum Muslim Indonesia untuk tidak berkontribusi positif pada pembangunan negaranganya. Bahkan Cak Nur menuntut, cendikiawan Muslim Indonesia, tidak dapat terelakkan untuk ikut meratakan jalan terjadinya proses-proses penerimaan  industrialisasi di negeri ini. Akan tetapi Cak Nur menyadari, bahwa cendekiawan Muslim masih memiliki trauma-trauma sejarah dalam kaitannya dengan Barat, sebagai tempat lahirnya modernitas dan rujukan utama teknikalisasi dan industrialisasi (hal. 82).
Namun demikian, trauma-trauma seperti itu bisa diatasi dengan menumbuhkan kesadaran pada sebanyak mungkin kaum Muslim tentang adanya hubungan organik antara Islam (masa) klasik dengan modernitas. Hubungan organik ini terdapat pada peringkat doktrinal maupun pada peringkat historis Islam seperti telah disebutkan di bagian awal, yaitu Islam yang berwatak egaliter dan kosmopolit. Karena menurut Cak Nur, dalam beberapa hal zaman modern ini merupakan pengulangan dari nilai-nilai yang sudah ada pada Islam (zaman) klasik. Dengan mengutip seorang sejarawan, Marshal Hudgson, Cak Nur menegaskan:
"Dunia Islam—disebabkan lebih kosmopolitan dalam zama-zaman Tengah—Islam dibanding dengan Barat-mengandung lebih banyak persyaratan untuk kalkulasi bebas dan inisiatif pribadi dalam pranata-pranantanya. Sungguh banyak peralihan-peralihan dari adat sosial ke kalkulasi pribadi yang di Eropa merupakan bagian dari “modernisasi”-nya Perubahan Besar (tranmutetion) mengandung suasana membawa Barat lebih dekat pada apa yang sudah sangat mapan dalam tradisi Dunia Islam". (hal 84)
Bagi Cak Nur, kesadaran historis hubungan organik antara Islam dan modernitas perlu diangkat dan disebarluaskan kepada lebih banyak kaum Muslim. Karena dengan begitu, kaum Muslim akan memiliki rasa percaya diri yang lebih tinggi dalam menghadapi berbagai permasalahan modernisasi, teknikalisasi, dan industrialisasi. Dengan rasa percaya diri ini maka kaum Muslim juga lebih berpeluang menyumbang secara positif dan konstruktif dalam pembangunan dengan menempatkan persoalan-persoalan yang dibawa modernitas dengan proposional dan melihat dari segi-segi positifnya.
Kesadaran historis tentang hubungan organik antara Islam dan modernitas itu sedikit demi sedikit sepertinya sudah mulai bangkit. Setidaknya itu diperlihatkan oleh elit-elit kaum Muslim ketika merumuskan dasar negara ini, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Para elite politik umat Islam tidak memaksakan kehendak untuk menjadikan Islam sebagai ideologi, tetapi meski mereka berat hati, mereka tetap menyepakati Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia yang sudah final. Kenyataan bahwa mereka menerima kesepakatan ideologi tersebut dan tidak melakukan tindakan-tindakan makar, merupakan kontribusi yang nyata dari kaum Muslim dalam pembangunan Indonesia. Kita tidak membayangkan bila elite kaum Muslim tidak mau menerima Pancasila, dan tetap bersikukuh panda ideologi Islam. Mungkin negara ini mengalami konflik berkepanjangan.
Kendati sebagian elite politik kaum Muslim melihat Islam tetap lebih unggul dibandingkan dengan Pancasila, namun bagi Cak Nur, Pancasila sudah mantap yang kedudukannya merupakan titik temu (common platform/kalimatun sawa) antara berbagai komunitas masyarakat yang berbeda atau plural. Dan pencarian titik-temu yang demikian, menurut Cak Nur, di dalam Islam bukan hal baru dan sudah terjadi sejak dulu (h. 23-24).
Demokrasi di Indonesia
Dengan Pancasila sebagai ideologi, negara Indoensia menganut sistem demokrasi dalam mekanisme dalam pemilihan pemimpinnya, sesuai dengan sila keempat dalam Pancasila. Dalam konteks pembangunan demokrasi ini, Cak Nur berpendapat bahwa demokrasi adalah sebagai “cara” men-capai tujuan, bukan untuk “tujuan” itu sendiri. Karena itu, Cak Nur menambahkan, demokrasi tidak bisa diterapkan begitu saja secarea kaku dan “dogmatis,” apalagi bila diperkirakan justru mengganggu hasil-hasil positif perkembangan negara yang telah dicapai (hal. 120).
Disadari atau tidak, demokrasi adalah sebagai “cara” atau “jalan” akan menentukan kualitas tujuan yang dicapai oleh suatu masyarakat. Suatu tujuan yang dicapai secara demokratis akan memiliki kualitas keabsahan yang lebih tinggi daripada yang dicapai secara tidak demokratis. Maka berarti antara “cara” dan “tujuan” pun tidak bisa sipisah-pisahkan satu dari yang lain.
Tetapi suatu rintangan dalam masayarakat demokratis dilahirkan dalam musyawarah dan pembahasan, yang hasil dan mutunya tergantung kepada para peserta yang taat dan setiap pada aturan musyawarah dan pembahasan. Dalam masyarakat-masyarakat yang diatur oleh prinsip-prinsip musyawarah, tidak ada “kebenaran mutlak” ataupun dalil-dalil mati (yang tidak bisa ditawar-tawar) yang menentukan tingkah laku manusia. Untuk meneguhkan pendapatnya ini, Cak Nur mengutip perkataan Imam Abu Hanifah, “pendapat kita benar tetapi masih mengandung kemungkinan salah, dan pendapat orang lain salah tetapi masih mengandung kemungkinan benar” (hal. 225).
Terkait dengan demokrasi di Indonesia, Cak Nur juga membahas tentang pemilihan umum, prinsip persamaan dan komponen-komponennya, partai politik, penting oposisi, dan prinsip-prinsip demokrasi lainnya. Penting juga dicatat, Demokrasi Pancasila menurut Cak Nur juga menjamin posisi minoritas kaitannya dengan hak-hak mereka dalam konteks kenegaraan. Dalam konteks kemajemukan ini, ia sangat mengapresiasi para pendahulu kita yang merumuskan “Bhinneka Tunggal Ika”, sebagai salah satu prinsip menjaga pluralitas dalam demokrasi.
Catatan Penutup
Sebagai catatan penutup, Cak Nur, sebagai seorang cendekiawan Muslim terkemuka di Indonesia, melalui buku ini ia mampu memperlihatkan dengan sangat baik bahwa antara tradisi Islam, modernitas, dan keindonesiaan bisa berjalan berbarengan sebagaimana tercermin dalam Indonesia kini. Bagi Cak Nur, watak Islam yang egaliter dan kosmopolit bisa berkonstribusi secara positif pada pembangunan dalam skala yang lebih luas, baik dalam konteks nasional maupun dalam konteks global.
*Dimuat dalam portal online http://inspirasi.co/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2009 Piush
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Videosmall Flickr YouTube