BREAKING

Senin, 13 Januari 2014

“KORUPSI DAN ANOMALI”

KORUPSI DAN ANOMALI
Siapa sangka bahwa salah satu  buah dari reformasi adalah mewabahnya penyakit korupsi di negeri ini. Hal demikian disebabkan oleh keberadaan dan peran dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memaksa para koruptor terjerumus ke dalam besi jeruji.
Meskipun tindak pidana korupsi merupakan ranah hukum, tetapi ada yang unik dan menarik untuk kita cermati dibalik kasus dan tindakan pidana korupsi di Indonesia, yaitu perubahan sikap yang drastis dan penggunaan simbol-simbol keagamaan yang digunakan  para koruptor — baik terduga, tersangka maupun terdakwa — yang ditunjukan ke ranah publik.
Menurut pengamat sosial Usep Mujani Ardabily (UMA) menyatakan bahwa “kamus politik kita memiliki kosa kata yang sangat aneh, seperti halnya kata ‘dzolim’ seringkali digandengkan secara saporadis bersamaan dengan munculnya skandal korupsi”. (12/01/2014)
Secara kebahasaan, term dzolim merupakan perlawanan kata dari term adil. Bagi UMA, Term “Dzolim” merupakan suatu perasaan dikorbankan layaknya halte terakhir bagi para koruptor untuk belindung dari jeratan hukum. Dzolim juga dapat diartikan sebagai ketidakpantasan suatu predikat disandingkan/dilekatkan terhadap dirinya. Seperti contoh KPK menjadikan RAC dan AU sebagai tersangka korupsi.  RAC dan AU merasa bahwa kata “tersangka korupsi” tidak layak dan tidak pantas bersanding dan melekat pada diri keduanya dan itu merupakan perbuatan yang dzolim yang dilakukan oleh penegak hukum.
UMA memberikan contoh statemen para tersangka korupsi : Ratu Atut merasa didzalimi, Luthfi Hasan Ishak divonis 16 tahun meras didzalimi, Nazaruddin didzalimi secara sadis, dan Anas Urbaningrum merasa didzalimi penguasa. Kenyataan tersebut seolah-olah bahwa para koruptor diposisikan sebagai korban dari penegak hukum yang dzolim karena telah memvonis dirinya sebagai tersangka atau terdakwa, sedangkan mereka sendiri tidak pernah memikirkan bahwa tindakan korupsi merupakan kejahatan yang sangat kejam dan mendzolimi masyarakat dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Lebih lanjut UMA menerangkan bahwa para tersangka korupsi kerapkali menggunakan simbol-simbol keagamaan dan berprilaku religious ketika tampil di ruang publik. Hal demikian meraka lakukan sebagai pencitraan diri untuk mengurangi rasa takut dan tekanan batin yang sangat luar biasa dengan melakukan defense mechanism sebagai ganti dari rasa takut dan tekanan batin tersebut. Wallahu a`lam [RD]




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2009 Piush
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Videosmall Flickr YouTube