BREAKING

Jumat, 22 Juli 2011

IBNU MISKAWIH DALAM FILSAFAT MORAL

Bagian yang terpenting dari kegitan filosofis Miskawih ditujukan pada moral, karena ia seorang moralis yang mana beliau mendapatkan pencerahan dari Al-Farobi., yang mana telah memberikan banyak informasi mulai dari Aristoteles sampai dengan Plato. Filsafat moral sangat berkaitan dengan psikologi, sehingga miskawih memulai risalah besarnya itu dengan akhlak, Tahdzib al-Akhlaq, dan masih ada dua kitab yang terpenting tentang etika telah samapai kepada kita yaitu, Tartib al-Sa’adah dan Jawidan Khirad.
Menurut positivisme logis Ayer, sebuah pernyataan dapat dikatakan bermakna hanya jika dapat diverifikasi : jika anda tidak dapat mengatakan dibawah kondisi, apakah pernyataan itu benar , anda tidak dapat memberinya makna apapun.tetapi bagi Ayer satu-satunya cara verifikasi yang mungkin terhadap sebuah pernyataan adalah menunjukan bahwa secara logis pernyataan itu niscaya, atau membuktikan bahwa ia  diperkuat oleh pengamatann, atau secara logis berasal dari pengamatan yang benar. Hume dan More telah menunjukan bahwa keputusan moral  tidaklah secara logis niscaya, atau secara logis berasal dari apapun yang dapat di amati, karena itu jika kaum positivis ( seperti yang di tafsirkan Ayer ) benar, keputusan moral mustahiljadi pernyataan yang bermakna. Dipihak lain keputusan moral sangatlah penting dan berpengaruh, dan tidak dapat ditolak sebagai omong kosong belaka . karena itu, diajukanlah solusi bahwa keputusan moral sama sekali bukanlah pernyataan tentang manusia  dan perbuatannya, tetapi mengungkapkan perasaan kita terhadapanya. Jika kita berkata bahwa A merampas uang B, kita menyatakan sebuah fakta. Jika kita tambahakan bahwa ini salah, kita menyatakan tak lebih dari apa yang terjadi , dan sekedar mengungkapkan ketidaksetujuan kita terhadap tindakan itu. Harus diperhatikan bahwa kitatidak sedang menjelaskan perasaan kita (seperti jika kita berkata, “kami tidak setuju dengan pencurian itu”), tapi mencurahkannya. Karena itu menurut teori ini, pernyataan “mencuri itu salah”tidak benar dan tidak juga salah, sama halnya dengan teriakan sakit atau senang (meskipun itu sungguh-sungguh atau tidak).[1]
Masalah perailihan dari psikologi ke akhlak disajikan pada halam 18 hingga 21, yang dengan mengikuti Plato, ia mempersamakan pembawaan-pembawaan ruh dengan kebajikan-kebajikan. Ruh mempunyai tiga pembawaan : rasional, keberanian, dan hasrat, tiga kebajikan yang saling berkaitan : bijaksana, berani, dan sederhana . dengan berkaitan ketiga hal itu, kita dapat memperoleh yang ke empat, yaitu : keadilan. Orang-orang Yunani bersifat teoritis dan spekulatif, sehingga Plato tidak dapat beranjak lebih jauh dari itu. Dengan memakai aturan pribadi moral, Miskawih membagi kebijaksanaan menajadi tujuh : ketajaman Intelegensia, kesigapan akal, kejelasan pemahaman, fasiliitas perolehan, ketinggian pengharapan, keteguhan, kepatan dalam membedakan,penyimpanan dan pengungkapan kembali ; sebelas bagian dalam keberanian, yaitu :kemurah-hatian , kebersamaan, ketinggian pengharapan, keteguhan, kesejukan, keterarahan, keberanian, kesabaran, kerendah dirian, semangat dan kemampuan;  dua belas dalam keseederhanaan, yaitu : persahabatan, persatuan, kepercayaan, kasih sayang, persaudaraan, pengajaran, keserasian, hubungan yang terbuka, ramah tamah, taat, penyerahdirian, pengabdian kepada Tuhan, meninggalkan permusuhan, tidak membicarakan sesuatu yang menyakiti orang lain, membahas sifat keadilan, tak mengenal ketidak adilan dan lepas dari mempercayai yang hina, pedagang yang jahat dan penipu. Tetapi kita tidak dapat menentukan secara pasti apakah pembagian-pembagian dan pembedaan-pembedaan ini hanya dilakukan oleh Miskawih. Tentu ia banyak memperoleh manfaat bagi dirinya dari para pendahuulunya, terutama dari jalur Abu Sulaiman al-Sajistani al-Mantiqi, yang gema karya-karyanyadalam Muqabasatnya Tauhidi.[2]
Sebagaimana yang telah dituliskan dalam kitab al-fauz al-Asghar, dalam Tahdzib al-Akhlaq. Miskkawih sangantlah tidak setuju dengan prang –orang yang melakukan Pertapaan, karena cukup jelas pendapatnya “bagaimana mungkin orang yang memisahkan diri bisa hidup bersahaja, adil, makmur, dan berani kalau ia pun menjauh dari kebajikan moral dan berinteraksi dengan orang lain. Karena dengan mempunyai moral manusia mempunyai tujuan hidup yaitu kebahagian Ilahiyyah, yang mana pada dasarnya  manusia mempunyai mis bersama dalam menciptakan kedamaian.



[1] . Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika (Menyisir Perdebatan hangat dan memetik wawasan baru tentang dasar-dasar moralitas), Penerbit Serambi, Jakarta 2005, hal .8

[2] . Editor M.M. Syarif, M.A, Para Filosof Muslim, diterjemahkan dari buku “The Philosophers dan History of Muslim Philosophy, penerbit MIZAN, hal. 90-91

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2009 Piush
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Videosmall Flickr YouTube