BREAKING

Jumat, 26 April 2013

Kriteria seorang filosof dan problematiknya

Kriteria seorang filosof dan problematiknya

Oleh: ihya ulumuddin

berbicara kriteria-kriteria yang harus dimiliki seorang failasuf tentu kita akan berpandangan tajam bahwa seorang yang ingin menjadi pemikir handal dan radikal atau failasuf jika kita memanggilnya demikian tentu kita haruslah mengedepankan atau meninggikan sifat rasionalitas kita. dan seperti yang diketahui bahwa rasionalitas kita gambarkan sebagai sebuah akal yang merupaka anugrah dari allah kepada manusia yang paling penting, karna perbedaan manusia dengan hewan terletak pada akalnya, oleh karena itu manusia dijuluki pula sebagai al-hayawan al-natiq (hewan yang berfikir). Bukan berarti manusia itu berbentuk seperti hewan akan tetapi kalimat tadi menunjukan metaforis dari manusia, maka tidak diherankan apabila manusia yang di anugrahi akal tidak menggunakan akalnya sebagaimana manusia ia hanya menggunakan insting, firasat, dan hawa nafsu sebagai suatu landasan hidup maka dialah manusia yang bernaluri  hewan dalam suatu sistim kehidupanya. Sudah sifat bagi akal manusia yang selalu ingin tahu terhadap segala sesuatu termasuk yang menciptakanya dan dirinya sendiri.

Ketidak puasan akan memandang hanya dari satu sudut perspektif saja dari suatu bidang keilmuan adalah hal yang amat penting bagi seorang failasuf, keradikalan, silogisme, dan kesistematisan adalah suatu karakter yang harus dimiliki oleh sorang failasuf. Sudah pasti karakteristik seperti itu di dalam ruang lingkup mayoritas para ahli agama yang ortodoks dan tradisional tidak di anjurkan, tapi jika kita lihat lagi apabila agama tidak di dominasi oleh pemikiran-pemikiran filosofis maka tidak menutup kemungkinan agama itu akan tinggal formalitasnya saja. seperti gagasan-gagasan kemodernan yang bersifat filosofis yang dikemukakan oleh Muhammad abduh beserta para murid-muridnya yang telah memajukan negaranya yang berbekgroun islam yaitu mesir pada saat itu, selanjutnya ada Mustafa kemmal di turki, sultan Mahmud ll di turki, harun nasution dan nurcholis madjid di Indonesia, dan masih banyak lagi para pembaru-pembaru yang mengedepankan rasionalitasnya. Karna berkat sumbangan rasio itulah sesuatu yang memang dianggap mistik yang tak berlandasan agama atau kitab suci bisa terkuak secara esensial.

Ada banyak teman yang kontra dengan saya dan mulai mengemukakan argumenya, menurut mereka “seorang yang selalu meninggikan atau mentaqdiskan rasionya adalah seorang yang zindik atau bisa disebut sebagai orang kafir karna dia lebih mengedepankan akal dari pada wahyu”, tapi bagi saya sendiri orang yang berkata seperti itu adalah orang yang mengambil kuliah di fakultas tarbiyah dan syari’ah saja yang hanya mempelajari hitam putih semata yang tidak mengerti betapa pentingnya akal kita yang di ciptakan sedemikian mulyanya oleh allah, sehingga kita bisa menalar segala sesuatu yang terdapat di alam semesta ini, bahkan jika orang yang hanya mengandalkan wahyu saja ia tidak akan bisa mengartikan secara hakiki dari alam semesta ini, bukan berarti seorang yang menguatkan akal sebagai suatu pencarian kebenaran itu menafikan wahyu dan sunnah, akan tetapi baginya di dalam alqur’an dan hadits sendiri itu banyak ayat-ayat metaforis dan mengandung makna yang kontekstual untuk, memahami  hal tersebut kita harus menguatkan akal kita, jadi cukup jelas kiranya bahwa seorang yang berkriteria seperti ini bukan berarti ia menafikan al-qur’an dan hadits akan tetapi ia menempatkan landasan agama islam tersebut di posisi ke dua setelah akal.

Lebih lanjut, Seorang failasuf tidak hanya taqlid atau mengikuti doktrin-doktrin dogmatis serta tidak mengadopsi teori dari failus-failasuf terdahulu, akan tetapi selain mengambil kosep dari failasuf-failasuf  terdahulu ia juga harus memelopori teori-teori baru tersendiri dari logika kita berdasarkan teori dari failasuf terdahulu itu.

Katakanlah ibnu sina atau avicena kalau untuk sebutan orang-orang barat yang sebagian banyak pemikiran filsafatnya dipengaruhi oleh failasuf dari yunani, yaitu aristotelas, akan tetapi ibnu sina sendiri tidak hanya mengadopsi semua pemikiran aristoteles dan mengaplikasikanya kepada pemikiran filsafatnya, ibnu sina pun secara keras mengkritiknya, dan banyak lagi para failasuf baik islam yang terpengaruh oleh pemikiran failasuf barat dan barat yang terpengaruh pemikiran failasuf islam dan tidak hanya mengadopsinya saja.

Mungkin hal-hal yang sifatnya pribadi kalau kita berbicara pada ranah kriteria seorang failasuf itu harus di dominasi pula, seperti halnya kecerdasan dalam suatu penalaran keilmuan, mempunyai sifat kritikis yang tinggi, selalu berfikir logis, radikalis, dan secara sistematis. definisi dari berfikir seara logis ini adalah berfikir secara teratut dan tertata dengan rapih shingga menghasilkan buah pikiran yang lebih dipahami lagi yang mana di dalam alam pikiran kita banyak sekali unsur ide-ide yang belum tersusun secara rapih. kalau kita ambil contoh seperti rumah yang masih berantakan, Radikalis adalah berfikir secara mendalam dimana kita menerima sebuah pengetahuan dan meragukan akan kebenaranya. Disinilah kita akan tertarik oleh unsur radikalis tadi untuk mencari sebuah keesensialan dari pengetahuan tersebut, adapun sisitematis seperti dikatakan tadi dari sekian banyak gagasan-gagasan yang terdapat di alam pikiran kita ternyata kesemuanya itu ada yang saling bertentangan dan bertolak belakang, kita perlu mengaitkan dan menyesuaikan antara satu objek kata dengan kata yang lain sehingga menjadi suatu kesimpulan yang sempurna, menurut saya inilah yang dinamakan berfikir secara sistematis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2009 Piush
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Videosmall Flickr YouTube