BREAKING

Kamis, 12 Juli 2012

'angan' Bodoh Atas 'nama'

Beberapa saat yang lalu 11 juli 2012  periode 2012-2017 Pilgub DKI Jakarta telah selesai dilaksanakan, peristiwa fenomenal yang dilaksanakan sekali dalam lima tahun ini berjalan dengan semestinya, bukanlah masalah siapa yang akan memimpin Jakarta nanti, tetapi yang menjadi masalah mampukah pemimpin baru Jakarta pada periode baru ini menyelesaikan permasalahan ‘abadi’ Jakarta.
Kurang lebih 9 juta pemilik KTP Jakarta ‘nyoblos’ untuk menentukan siapa pemimpin yang akan mengarahkan kemudi Jakarta kedepannya, mayoritas diantara mereka sangat menginginkan perubahan terjadi, beberapa diantara mereka puas dengan apa yang telah mereka dapatkan dari pemimpin sebelumnya (baca:Fauzi Bowo), bahkan diantara mereka ada yang pasrah saja dengan apa yang terjadi.
Fenomena pilkada Jakarta 2012-2017 ini cukup menarik untuk dibicarakan, kontradiksi yang terlihat dari setiap pilihan warga Jakarta cukup menjadi perhatian penulis, kenapa, 3 fenomena itu cukuplah menjelaskan apa yang sebenarnya diharapkan oleh warga Jakarta kedepannya. 11 juli 2012 dijadikan hari libur bagi seluruh instansi di Jakarta, kecuali bagi instansi kesehatan yang masuk disesuaikan. Hal ini dilakukan pemerintah Jakarta agar Pilkada kali ini berjalan sukses dan diharapkan juga menjadi saat yang penting untuk sebuah perubahan bagi kota yang vital ini.
Setiap calon menjanjikan janji perubahan bagi setiap warga Jakarta,menjanjikan sesuatu yang akan membawa Jakarta kepada sesuatu yang lebih baik kedepannya, membalikkan aspek-aspek negatif yang masih berlaku menjadi sesuatu yang positif. Memang bukan hal yang mudah, tetapi dengan kelihaian tangan-tangan calon gubernur tentulah bisa mempengaruhi opini masyarakat tentang apa yang telah terjadi selama ini dan apa yang akan berubah kedepannya.
Dapat diyakini bagi pemilih yang menjagokan bukan ‘incumbent’ menginginkan sesuatu yang lebih dari kehidupan mereka sebelumnya, tentunya mereka sudah sadar dengan kebodohan mereka sebelumnya telah memercayakan nasib mereka dan keluarga mereka ditangan pemimpin yang tidak bertanggung jawab yang hanya bisa ‘bermain lidah’ dengan masyarakat. Mereka merasa seolah hidup mereka telah dipermainkan, telah ditipu, dibodohi, keringat mereka telah terkuras untuk sebuah perubahan yang utopis yang pernah mereka harapkan dan beri kesempatan kepada pemimpin sebelumnya. Kesadaran mereka muncul setelah apa yang mereka saksikan, belum terlambat memang untuk sebuah perubahan. Dan pilkada DKI kali ini mereka harapkan bisa mengubah nasib mereka agar lebih hidup lagi untuk kedepannya.
Warga yang memilih pasangan incumbent adalah orang-orang yang merasa diuntungkan dengan kehadiran pemimpin sebelumnya yang tentu menginginkan hal itu sekali lagi bisa mereka dapatkan, barangkali juga mereka masih belum sadar bahwa mereka hanya dibodohi dan dijadikan sapi perahan yang hasil perahan itu akan dijual oleh peternak dan akan terus memperkaya peternak itu sedangkan sapi perahannya terus hidup sebagai binatang bodoh yang terus di*sensor* oleh peternak.
Ada juga yang memilih untuk tidak memilih alias Golput (Golongan Putih), mereka memilih untuk tidak memberi warna pada diri mereka karena tak adanya warna yang dapat mencerahkan mereka, merubah mereka, segalanya tidak akan dinamis untuk sebuah kepemimpinan, mereka berpandangan bahwa yang berduitlah yang akan menang, layaknya hukum rimba. Mereka lebih memilih untuk berdiam didalam keputihan mereka. Golput ini tidak ingin memberikan warna ‘putih’ mereka kepada warna lain yang begi mereka tidaklah indah. “apalah arti suara kecil saya ini”, “saya gag milih juga ga bakalan ngaruh ko”, tindakan dan sikap yang mereka lakukan ini merupakan sebuah tindakan yang bodoh, cenderung kekanakan, mereka pikir Ayah dan Ibu dapat membawa kapal besar ini jauh terbang ke angkasa, tanpa mereka sadari mereka adalah awak kapal yang juga berpengaruh dalam pengambilan keputusan mr.kapten dan mrs.kaptens. mereka lebih memilih untuk memanfaatkan hari libur mereka ini untuk berjalan-jalan ke puncak, hotel, dll. Mereka lebih memilih untuk meramaikan tempat hiburan, daripada menjadi bagian dari sebuah perubahan yang bagi mereka statis belaka, mereka lebih suka menjadi seorang apatis, menjadi bagian dari sebuah kemustahilan sebuah perubahan adalah absurd  belaka tak akan ada artinya, “toh hidup gue tetep gini-gini aja”.
Nilai-nilai yang terkandung dalam pilkada ini lebih pada hitungan pragmatisme belaka, bagaimana sebuah keuntungan dapat diraih agar dapat memuaskan keinginan yang tampak maupun belum tampak pada sorang individu siapapun orangnya, apapun jabatannya. angan terhadap perubahan yang langsung hadir di depan mata tentulah menjadi sebuah kesempatan besar yang tak akan pernah datang untuk kedua kalinya dalam bentuk yang sama sesudahnya, tetapi ia juga membawa dampak negatif bagi orang yang bersikap ego-radikalistis, dan tentu saja tidak akan baik bagi orang yang nanti akan berhubungan dengannya. Anyway, congratulations...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2009 Piush
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Videosmall Flickr YouTube