BREAKING

Rabu, 20 Juni 2012

MENUJU BUDAYA POP: SEBUAH ANALISIS ATAS TRANSFORMASI KEBUDAYAAN USHULUDDIN


MENUJU BUDAYA POP:
SEBUAH ANALISIS ATAS TRANSFORMASI KEBUDAYAAN USHULUDDIN


“Menjadikan Fakultas Ushuluddin sebagai salah satu fakultas yang terkemuka Dalam pengembangan dan pengintegrasian ilmu-ilmu dasar dan sosial yang berdimensi
 etis, keindonesiaan dan kemanusiaan. (Visi Ushuluddin).
“Ushuluddin merupakan suatu konsep dasar pemahaman tentang : spirit of human being”.
(Pagar Dewo, Yapentush).

Ushuluddin: Sebuah Sketsa
Klaim bahwasanya Ushuluddin merupakan “jantung” UIN Syarid Hidayatullah Jakarta, kiranya itu merupakan suatu penilaian yang tidak berlebihan jikalau kita melihatnya secara objektif dan proposional. Hal demikian tentunya menjadi sebuah tanggung jawab dan beban moral yang sangat berat bagi segenap civitas akademik Ushuluddin, karena sudah selayaknya Ushuluddin wajib untuk memposisikan diri sebagai sesuatu — dalam pengertian sebuah Fakultas -- yang mampu untuk merealisasikan konsep “jantung” ke dunia nyata.
Sebelum IAIN berganti nama ke UIN, Ushuluddin dipandang sebagai fakultas yang bisa dikatakan wah. Bukan dalam artian mahasiswanya banyak secara kuantitatif akan tetapi dalam perwujudannya, Ushuluddin menjelma dalam sesuatu yang berlandaskan atas argumentatsi kesadaran dan kualitas individu dan sosial kemahasiswaan. Dan konon katanya menurut cerita para pendahuluya (senior), Ushuluddin dipandang sebagai suatu pusat peradaban dan pusat wacana ilmu pengetahuan khususnya ilmu keagamaan, yang dikemudian hari para tokoh-tokoh besar bermunculan dari fakultas ini.
Entah harus dengan tolak ukur apa, sehingga Ushuluddin dulunya dikalim sebagai pusat peradaban kampus. Apakah dari realitas mahasiswanya, birokratnya, dosen pengajarnya, output pemikirannya, wilayah ideologinya ataukah para tokoh besar yang terdapat didalamnya. Hal demikian sangatlah penting untuk diketahui, jika kita ingin mengetahui pola yang terjadi di masa lalu. Sehingga untuk melakukan suatu langkah kongkrit ke depannya, Ushuluddin tidak kehilangan akar budaya yang telah melekat sebagai sebuah ciri khas keberadaannya (eksistensi).
Para pemikir biasanya lebih mendahulukan isi (esensi) ketimbang eksistensi. Keduanya memang saling terhubung dan berkaitan. Akan tetapi permasalahannya adalah apa yang menentukan apa. Apakan esensi yang menentukan keberadaan sesuatu, ataukah eksistesi yang menentukan inti dari sesuatu itu?
 Seperti halnya Rane Descartes sebagai tokoh filosof  Francis yang beraliran rasionalis, ia berpendapat bahwa manusia harus mengetahui dulu hakikat dirinya, lalu setelah mengetahui hakikat dirinya, manusia akan menyadari keberadaannya. Hal itu ia ungkapkan dengan istilah “cogito ergo sum” yang dalam bahasa Indonesia diartikan “aku berfikir maka aku ada”.
Ushuludin: dalam Realitas Kekinian dan Budaya Pop
Mengutip perkataannya Muhammad `Abduh bahwa “al-Islamu mahzubun bi al-muslimi” yang artinya Islam terhalang oleh muslim. Dan mungkin kiranya ada hikmah bagi segenap rakyat Ushuluddin di balik kalimat tersebut. Menjawab permasalahan modernisme dan sekularisme pendidikan menjadi tantangan tersendiri yang sedang dihadapi. Disamping tanggung jawab dan beban moral yang sedang di tanggung karena adanya “dosa turunan” bahwa Ushuluddin telah berani dijuluki sebagai pusat peradaban dan jantung kehidupan kampus.
Dalam keadaan fenomena objektif, dengan pendekatan atas pengalaman (empiris a post-teriori) sebagai rakyat Ushuluddin, ada sebuah aroma yang berbeda dan terjadi pergeseran orentasi. Fenomena sosial ke-ushuluddin-an seakan menjadi kaku dan berbasis formalistik. Kebebasan berekspresi dibatasi baik dalam wacana akademis pengetahuan maupun dalam wilayah penampilan (perform). Tidak nampak lagi adanya kebebasan akademis dan kebebasan berekspresi.
Mahasiswa yang selayaknya menjadi komponen dasar yang sangat penting dalam dunia kampus sebagai subjek pelaku, beralih fungsi dan orientasi menjadi sebuah objek belaka. Mahasiswa seolah dijadikan sebagai bahan komoditas dalam kepentingan tertentu, sehingga kualitas pemikiran yang menjadi esensinya terabaikan.
Selanjutnya, terjadi sebuah transformasi budaya ideologis ke ranah budaya pop. Budaya Pop dapat digambarkan sebagai produk dari industrialisasi dan komersialisasi masyarakat. Budaya pop merupakan sintesa dari budaya ideologis. Budaya ideologis yang dulunya menjadi sebuah basis dasar untu menopang nilai-nilai yang tekandung dalam setiap tindakan individu dan sosial kini telah berpindak ke budaya pop yang bersifat sementara dan rapuh.
Dalam tataran ideologis, mahasiswa dituntut supaya bertindak kritis dan memiliki kesadaran yang tinggi. mahasiswa Ushuluddin telah berani secara radikal mengembangkan suatu konsep Ushuluddin kepada tingkat yang lebih mulia yaitu Ushuluddin sebagai “spirit of human being”. Basis ideologis mempu memperikan keberanian dan kepercaya-dirian yang tinggi bagi siapapun yang mengaku dirinya sebagai warga Ushuluddin.  Budaya ideologis pada intinya menjadi sebuah landasan dasar dari setiap tindakan individu yang berepek ke tindakan sosial.
Jika seandainya budaya pop telah menjalar dan mengakar, maka budaya ideologis sebagai produk lokal yang diproduksi dengan berlandaskan kesadaran nilai, akan tercerabut dari akar budayanya. Seperti halnya budaya keroncong diganti dengan budaya rock dan pop melayu, singkong dengan pizza hut, kiyai dengan ustadz artis dan lain sebagainya. Pola pencitraan sebagai suatu tindakan nyata yang dicirikan oleh budaya pop menjadi suatu tujuan untuk mencapai kepentingan domestik.
Budaya pop juga ditandai dengan selebrasi, kemeriahan, banalitas, massifitas dan tolak ukur pada sesuatu yang bersifat formal-materialistis. Dan jika budaya pop ini kita biarkan begitu saja berkembang, maka kemungkinannya adalah apakan keadaan yang menentukan kesadaran ataukah sebaliknya. Dan  mungkin saja dua atau lima tahun ke depan label “jantung” tidak lagi layak disandingkan dengan Ushuluddin.   
Kesadaran akan keadaan yang sekarang ini, menimbulkan sebuah pertanyaan besar, yaitu apakan Ushuluddin mampu untuk menjawab tantangan dan mampu untuk merealisasikan sebuah visi mengembangkan dan mengintegrasikan ilmu-ilmu dasar dan sosial yang berdimensi etis, keindonesiaan dan kemanusiaan?
Wallahu a`lam.
Yang Penting Ushuluddin. . .!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2009 Piush
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Videosmall Flickr YouTube