BREAKING

Rabu, 09 Mei 2012

PLURALISME DAN RADIKALISME AGAMA


PLURALISME DAN RADIKALISME AGAMA
 Makalah
Disusun untuk memenuhi persyaratan ujian akhir (UAS)
Dalam Mata Kuliah Flisafat Agama
                                  

Oleh

 

Dedi Sutiadi

NIM: 109033100012
Dani Ramdani
NIM: 109033100026


PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2011 M
1431 H

   

PLURALISME DAN RADIKALISME AGAMA

A.    Pendahuluan
Perkembangan zaman yang syarat dengan kemajuan dalam bergam aspek dan pembangunan peradaban baru dengan tegas dijawab Agama dengan keeksistensiannya dalam keikutsertaannya beraktualisasi dalam bermacam fenomena yang berkembangn di zaman baru ini. Walau sempat diisukan kehilangan perananya dalam arus global namun nampaknya hal itu sekali lagi tegas dapat dijawab Agama dengan keteguhannya berada di era ini tanpa harus terinfilterasi oleh fenomena-fenomena dan nomena-nomena yang yang belakangan ini marak terjadi.
Yang menarik kemudian adalah bahwa beragam fenomena sosial yang terjadi belakangan ini tidak sidikit yang beroman atau bernuansakan agama dengan lugasnya mengusung simbol-simbol keagamaan. Inilah mungkin yang dimaksud cak Nur dalam tulisannya yang dimuat Jurnal Ulumul Quran tahun 1993, yang memberikan statement bahwa “Peta dunia sekarang ditandai oleh konflik dengan warna keagamaan. Meskipun agama bukan merupakan satu-satunya faktor, namun jelas sekali bahwa pertimbangan keagamaan dalam konflik-konflik itu dalam eskalasinya banyak memainkan peran.”
Tantangan yang kita hadapi dewasa ini sebenarnya bukan dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya, akan tetapi tantangan pemikiranlah yang sedang kita hadapi saat ini. Sebab persoalan yang ditimbulkan oleh bidang-bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya ternyata bersumber dari pemikiran. Di antara tantangan pemikiran yang paling serius saat ini adalah dibidang pemikiran keagamaan. Tantangan yang sudah lama kita sadari adalah tantangan internal yang berupa kejumudan, fanatisme, taklid buta, dan sebagainya.
Sedangkan tantangan eksternal yang sedang kita hadapi saat ini adalah masuknya paham liberalisme, sekulerisme, relativisme, pluralisme dan radikalisme agama dan lain sebagainya, kedalam wacana pemikiran keagamaan kita. Hal ini disebabkan oleh melemahnya daya tahan umat islam dalam menghadapi glombang globalisasi dengan segala macam bawaannya.
Makalah singkat ini akan membahas salah satu tantangan eksternal dengan memfokuskan pada kajian pluralisme dan Radikalisme agama beserta sejarah, faktor-faktor, penyebaran, dampak dan solusinya. Mengingat paham ini telah begitu menyebar dan telah merasuk kedalam wacana keagamaan kita dan di adobsi tanpa sikap kritis oleh beberapa kalangan termasuk kita selaku mahasiswa.




B.     Pluralisme Agama

Secara etimologis, pluralisme agama berasal dari dua kata, yaitu “pluralisme” dan agama. Dalam bahsa Arab diterjemahkan “al-ta’addudiyyah al-diniyyah” dan dalam bahasa Inggris “relogious pluralism”. Oleh karena itulah istilah pluralisme agama ini berasal dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada kamus bahasa tersebut. Pluralism berarti “jama” atau lebih dari satu. Dalam kamus bahasa Inggris memiliki tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara brsamaan, baik bersifat kegerejaan ataupun non-kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis: ber pengertian filosofis: berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosial-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik bercorak ras, suku, aliran maupun partai engan tetap menjungjung tinggi aspek perbedaan yangsangatkarakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut.[1]

Para ahli bidang sosiologi dan antropologi cenderung mendefinisikan agama dari sudut fungsi sosialnya, yaitu suatu sistem kehidupan yang mengikat manusia dalam satuan-satuan atau kelompok-kelompok soisal. Pendapat ini didukung oleh Durkheim, Robert N Bellah, Thommas Luckmann dan Clifford Geetz. Sedangkan kebanyakan pakar teologi, fenomenologi, dan sejarah agama melihat agama dari aspek subtansinya yangsangat asasi, yaitu sesuatu yang sakral. Pendapat inidalah yangdiyakini oleh Rudolf Otto dan Mircea Eliade.

 Dan jika “pluralisme” dirangkai dengan “agama” sebagai prdikatnya, maka berdasarkan pemahaman tersebut diatas bisa dikataka bahwa “pluralisme agama” adalah kondisi hidup bersama antar agama (dalam arti yang luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama.[2]  

Namun dari segi konteks di mana “pluralisme agama” sering digunakan dalam studi-studi dan wacan-wacana sosio ilmiah pada era modern ini, istilah ini telah menemukan difinisi dirinya sendiri yang sangat berbeda dengan yang paparkan sebelumnya: definisi ini dikutip dari John Hick yang mnegaskan bahwa; pluralisme agama adaah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap, yang riil dan yang maha agung dari dalam pranata kultural manusia bervariasi; dan bahwa tranformasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatan hakikikat terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata kultural manusia tersebut, dan terjadi sejauh yang dapat diamati, sampai pada batas yang sama.[3]

Dengan kata lain, Hick ingin menegaskan bahwa sejatinya semua agama adalah merupakan manifestasi-masnifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian, semua agama sama dan tidak ada yang lebih dari yang lain. Sangat jelas, rumusan Hick tentang pluralisme agama di atas adalah berangkat dari pendekatan subtantif, yang mengungkung agama dalam ruang prifat yang sangat sempit, dan memandang agama lebih sebagai konsep hubungan manusia dengan kekuatan sakral yang transendental dan bersifat metafisik ketimbang sebagai suatu sistem sosial. Dengan demikian telah terjadi proses pengebirian dan reduksi pengertian agama yang sangat dahsyat. Sesungguhnya pemahaman yang agama yang reduksionalistik inilah yang merupakan “pangkal permasalahan” sosio-teologis modern yangsangat akut dan kompleks yang tidak mungkin terselesaikan dan ditemukan solusinya kecuali dengan dengan mengembalikan agama itu sendiri ke habitat aslinya, ke titik orbitnya yang sebenranya, dan kepada pengertiannya yang benar dan komperhansif, dan tidak reduksionalistik.
   
 Dan justru mengejutkan, bahwa fakta di lapangan menunjukan ternyata pemahaman reduksionalistik inilah justru yang semakin populer dan bahkan diterima di kalangan para ahli dan berbagai disiplin ilmu pemikiran yang berbeda, hingga menjadi sebuah fenomena baru dalam apa yang sudah dikenali secara umum. Yang unik dalam fenomena baru ini adalah bahwa pemikiran persamaan agama ini, tidak saja dalam memandang eksistensi riil agama-agama, namun juga dalam memandang aspek esensi dan ajarannya (syariat), sehingga dengan demikian diharapkan akan tercipta suatu kehidupan bersama antar agama yang harmonis, penuh toleransi, saling menghargai, atau apa yang biasa disampaikan pluralis sebagai Pluralisme Agama.

 Terlepas dari itu semua, fenomena pluralitas agama telah terjadi menjadi fakta soisal nyata yang harus dihadapi masyarakat modern. Untuk pertama kali dalam sejarahnya, manusia menyaksikan dirinya secara global hidup berdampingan dengan berbagai penganut agama yang berbeda dalam satu negara. Dalam satu kota dan dalam satu wilayah dan bahkan dalam satu gang yang sama. Fenomena demikian bagi masyarakat yang belum terbiasa dan belum dan belum memiliki pengalaman dalam berkoeksistensi damai, seperti barat, tentunya akan menibulkan problematika tersendiri sehingga, sehingga memakasa para ahli dari disiplin ilmu untuk meformalisakan suatu solusi maupun pendekatan untuk merespon problematika tersebut.

Dari sinilah kemudian muncul sejumlah teori pluralisme agama, yang mungkin bisa diklasifikasikan, sesuai denga pokok-pokok pemikiran dan karakter utamnya. Ke dalam empat katagori, yaitu:
(a)   Humanisme Sekuler;
Secara umum, konsep Humanisme Sekuler bercirikan “antroposentris”, yakni menganggap manusia sebagai hakikat sentral kosmos (center of cosmos), atau menempatkannya di titik sentral. Pada hakikatnya, pemikiran akan sentralitas manusia sebagai referensi nilai dalam segala hal adalah pemikiran yang cukup tua yang akar-akarnya bisa ditelusuri pada paruh kedua abad ke-5 SM, yaitu pemikiran protogoras (sekitar tahun 490-420 SM), seorang pemuka kaum Sophist. Dari filosof inilah ditemukan prnyataan bahwa “manusia adalah satu-satunya standar bagi segala sesuatu”.[4]

(b)   Teologi Global;
Derasnya arus globalisasi telah mempengaruhi secara nyata dan signifikan munculnya gagasan-gagasan dan wacan-wacana teologis baru yang sangat radikal, yang intinya menganjurkan bahwa tidak perlu bersikap resisten dan menentang globalisasi dan globalisme yang sudah nyata-nyata menjadi sebuah kenyataan dan tidak mungkin menghindarinya, dimana jagad telah semakin mengkerut dan sekat-sekat atau batas-batas geografis telah meleleh. Sebaliknya, manusia harus mengubah atau merombak pemikiran-pemikiran dan keyakinan-keyakinan agama tradisional agar seirama dengan semangat zaman, zeitgeist, dan nilai-nilainya yang diyakini “universal”. Hanya saja yang tampak kemudian secara menonjol dari pembacaan kritis terhadap gagsan-gagasan teologi global ini ternyata hanyalah sebuah upaya sistematis yang menggunakan topeng teologis untuk meletakan dasar-dasar teologis bagi sebuah teori baru yang sangat krusial,yang dewasa ini dikenal dengan toeri “pluralisme  agama”.[5]

(c)    Singkretisme;
Tren sungkretisme tampak sebagai fenomena yang begitu mengesankan dalam sejarah pemikiran agama, dulu maupun kini. Tren Singkretisme adalah suatu kecenderungan pemikiran yang berusaha mencampur dan merekonsiliasi berbagai unsur yang berbeda-beda bahkan bertolak belakang yang diseleksi dari berbagai agama dan yang ada. Sebagaiman diketahui secara luas, singkretisme sebagai tren pemikiran, dalam prosesnya selalu mengandaikan adanya lingkungan kultural dan pemikiran yang toleran terhadap perbedaan dan keragaman serta menghormatinga, dan disaat yangsam juga mengsakrlakan “relativisme” semua bentuk nilai-nilai moral, aqidah dan tradisi yang ada di dunia.[6]

(d)   Hikmah Abadi;
Hikmah abadi adalah “hakikat esoteric” yang eternal yang merupakan asas dan esensi dari segala sesuatu yang wujud dan terekspresikan dalam bentuk “hakikat-hakikat exoteric” dengan bahsa yang berbeda-beda. Hakikat pertama adalah “hakikat transenden” yang tunggal, sementara yang kedua adalah “hakikat religius” yang merupakan manifestasi ekternal yang beragam dari hakikat transenden tadi. Cara pandang ini kemudian menjadi pakem Hakikat Abadi dalam memandang segala realitas atau hakikat yangada dalm wujud, termasuk hakikat keberagaman atau pluralitas agama. [7]

Hanya saja keempat tren tersebut, jika ditelaah lebih lanjut berakhir pada muara yang sama. Yaitu memberikan legitimasi yang setara kepada semua agama yang ada, agar dapat hidup berdampingan bersama secara damai, aman, penuh, tenggang rasa, toleransi, dan saling menghargai. Serta tanpa adanya persaan superioritas dari salah satu agama di atas yang lain. Setidaknya inilah nilai-nilai yangingin diwujudkan oleh tren-tren tersebut dan inilah yang kini dikenal dengan secara luas dengan istilah pluralisme agama.


C.    Radikalisme Agama
Kasus radikalisme agama tidak terkecuali masuk dalam ‘dilema’ penjelasan tetang fenomena agama. Dari segi etimologis saja istilah ‘radikalisme’ masih mengundang berbagai pertanyaan. Ciri-ciri apa saja yang dapat masuk dalam ‘Radikalisme’? apakah ia selalu mengandaikan kekerasan, aktivisme politik anti kemapanan, ataukah lebih bermuatan religius? Bila radikalisem dikaitkan dengan semangatkeagamaan, apa beda istilah ini dengan puritanisme? Sebaliknyajika iadikaitkan dengan tujuan politik, apakah bisa dibedakan dari gerakan seperti ektrimisme dan fundamentalisme? Perrtanyaan lain yang berhubungan dengan gerakan keagamaan tentunya bisa dikemukakan lebih lanjut.
Mengadopsi temuan Horace M.Kallen, radikalisme sosialpalig tidak dicirikan oleh tiga kecenderungan umum. Pertama, radikalisme merupakan respon terhadap kondisi yangsedang berlangsung. Biasanyarespon tersebut muncul dalam bentukevaluasi, pelwanan atau penolakan. Masalah-masalahyang itolak bisa berupa asumsi, ide,lembaga, atau nilai-nilai yang dipandang bertanggungjawab terhadapkeberlangsungan kondisi yang ditolak. Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berusaha mengganti tatanan tersbut dengan bentuk tatanan lain. Ciri ini menujukan bahwa dalamra dikalisme terkandungsuatu program atau pandangan dunia tersendiri. Kaum radikalisme berusaha keras berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai gnti dari tatanan yan ada. Dengan demikian sesuai dengan kata radic , sikap radikal mengandaikan keinginan untukmengubah keadaan secara mendasar. Ketiga, kuatnya kyakinan kaum radikalis akn kebenaran program atau ideologiyang mereka bawa. Sikap pada saaat yang sama dibrengi dengan penafian kebenaran sistem lain yang akan diganti. Dalam gerakan sosial, keyakinan tentang kebenaran program atau filosofi sering dikombinasikan dengan cara-cara pencapaian yang mengatasnamakan nilai-nilai ideal seperti kerakytan atau kemanusiaan. Akan tetapi keyakinan tersebut dapat mengakibatkn munculnya sikap emosional di kalangan kaum raikalis.[8]    
Radikalisem agama dalam tulisan ini mencoba mengakajinya dari beberapa pendekatan tiga agama yaitu Islam, Katholik, Protestan. Dan agar tidak mencedrai pembahasannya disni kami mengambil pendapat tokoh yang berlatarbelakang agma tersebut,a gar kjian ini tetap objektif dan komperhsip. Tidak semua tokoh sepakat menggunakan istilah radikalisme dalam menjelaskan gejala-gejala serupa dalam tradisi agama yang menjadi objek bahasan.
Th. Sumtrana lebih memilih kata fundamentalisme dalam menjelasakan gejala-gejala agama yang terdapat dalam tradisi protestan, sedangkan Tarmizi Tahir dan Eddy Krisyanto-Franz Magnis Suseno menggunakan radikalisme untuk menggambarkan fenomena serupa dalam Islam dan Katolik. Perbedaan ini terjadi karna fenomena yang ditemukan oleh masing-masing penulis berbeda, sehingga dibutuhkan suatu penerapan istilah yang lebih mampu mewkili realitas.
Radikalisme Agama dalam Islam
Meskipun Tarmizi Taher dan Eddy Krisyanto-Franz Magnis Suseno menggunakan istilah radikalisme, makna asosiatif yang dijabrkan keduanya tidak sama. Ng Tarmizi Taher mengasosiasikan kata tersebut dengan kata gerakan-gerakan keagamaan dalam Islam yang cenderung menoloak mdel keberagamaan konservatif serta sistem nilai sosial politik sekuler, gerkan tersebut dicirikan oleh keinginan untuk menerapkan ajaran Islam secara menyeluruh dalam kehidupan kluarga, konomi, politik dan budaya. Tekanan pada politik sangat kuat, sebgaimna yang terermin dalampemikiran tokoh al-Ikhwan al-Muslimin, Sayyid Qutub, dan pemimpin Jamaat-i –Islami, Abul A’ala Maududi. Mereka secara tegas memandang bahwa negara Islam meruakan salah agenda pokok yng harus diperuangkan dalam rangka mewuudkan kehidupan yang Islami.
Sudah disinggung seblumya bahwa gerakan radikal dalam sejarah Islam memiliki agenda yang berbeda. Secaraidealmerekamemang berusaha untuk menerapkan ajaran-ajaran agamasecara menyeluruh, tetapi metode dan pemahaman atas teks suci serta impiratif-impiratif yang dikandungnya saling berbeda. Hal ini terkait erat dengan suasana  zaman serta respons masyarakat yang duhadapi. Ketika Abdul Wahhab melancarkan purifikanisme, masyarakat ketika itu beum menghadapi kekuatan barat. Oleh karena itu sasaran yang dicanangkan oleh Abdul Wahhab terbatas terbatas pada komunitas internalmuslim.
Memasuki fase abad sembilan belas, suasana dunia telah berubah dan menuntut suatu respons yang lebih luas. Pada masa ini barat telah uncul sebagai kekuatan dunia yang telah mendominasi keberadaan Muslim. Muhammad Abduh, Jamluddin al-Afgani dan Rsyid Ridha adalah manifstasi dari realitas Muslimyang merasakan supermasi tersebut. Agenda pembaharuan Islam pun berkembang, dari persoalan internal menuju eksternal. Di satu sisi tokoh-tokoh reformis ini asih disibukan dengan agenda yang dihadapi kalangan revivalis, tetapi di sisi lain mereka juga harus menghadapi tantangan dari luar, yaitu modernisme.[9]
Kenyataan historis meunjukan bahwa pada periode sesudahnya Islam tidak saja kalah, tetapi juga kehilangan posisinya di tengah masyarakat. Pada saatyangsamadominasi politik, ekonomi dan kultural barat melaju tidak terbendungkan dan meminggirkan posisi Islam. Dalam konteks inilah gerakan kebangkitan Islam yang tadinya mengambil jalur kultural dan teologis berubah menjadi gerakan politik dan ideologis.meskiun sama-sam menghendaki kebangkitan Islam, kalngan radikalis cenderung bersikap reaksioner dan idealistik. Peneguhan Islam dilakukan melalui penolakan non-Islam (Barat),dan realitas historis kejayaan Islam dipakai sebagai ideologi alternatif bagi masyarakat muslim.[10]
Radikalisme Agama dalam Katholik-Protestan
            Sementara dalam tradisi Katholik, Eddy- Franz Magnis Suseno tidak menemukan gerakan radikal dalalah "m Katolik yangmempunyai tujuan mendirikan tatanan poltik tersendiri. Tradisi Kristen, Kristen enurut mereka, sejaka awal telah terkena proses sekularisasi, sehingga masalah-masalah politik relatif tidak mewarnai gerakan radikalisme agama. Aspek yang ingin diperjuangkan oleh tokoh-tokoh radikal dalam tradisi Katolik banyak menyangkut masalah keagamaan dan institusi agama. Istilah “Fraticelli” menunjukan bahwa persoaln yang diperselisihkan lebih berpusat pada perbedaan interpretsi atas ajaran agama. Dan kalupun merembet pada masalah otoritas dan istitusi agama, gerakan itu tidak sampai pada aspirsi untuk mengganti tatanan politik.[11]
Menuru Sumartana, sama dengan yang terjadi dalam tradisiKatolik, fundamentalisme Protestan tidak mengarahkan agenda-agendanya untuk mencapai tujuan politik. Aspirsi yang utama yang hendak diperjuangkan lebih bersifat keagamaan. Rata-rata aspirasi politik kaum fundamentalis justru bersifat konservatif, dan dengan demikian berbeda secaracontras dengan aspirasi kaum radikal dalam tradisi Islam. Akibatnya, pihak yang dijadikan sasaran gerakan radikalis/ fundamentalis dalam Katolik dalam Protesten berbeda dari gerakan srupa dalam Islam. Walaupun semuanya menentang “aliran utama” yang ada dalam tradisi masing-masing.[12]
Masa kemunculan gerakan radikalisme/fundamentalisme berbeda –beda dari satu tradisi satu agama ke tradisi yang lain. Kasus Islam menunjukan bahwa, meskipun pada periode awal telah tercatatgerakan serupa, radikalisme justru tumbuh subur pada zaman modern. Kenytaan tersebut mirip dengan Protestan, dimana gerakan fundamentalisme juga merebak pada masa modern. Katolik memiliki kecenderungan yang berbeda, karena, menurut Eddy- Franz Magnis, gejala tersebut hanya dijumpai pada abad pertengahan. Dengan demikian,masalah-masalah sosialyang bersinggungan dengan gerakan radikalisme-fundamentaisme dari masing-masing tradisi tidak sama. Misalnya, kasus Islam dan protestan mungkin bersiggungan dengan dengan budaya modern, tapi kasus Katolik sama sekali tidak. 
D.    Penutup
Gagasan tentang Pluralisme agama, yakni kesetaraan agama, sepintas tampak sebagai solusi yang menjanjikan harapan-harapan dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur,  namun kajianyang lebih mendalam, obyektif dan kritis terhadap gagasan tersebut, telah menunjukan hakikat yangjustru sebaliknya, dan justru menyikap topeng yang menyembunyikan wajah aslinyayang ternyata bengis, tak ramah dan toleran. Disamping kontradiksi yangsangat jelas dengan arti etimologis pluralisme agama, gagasan ini sebenarnya mendukung problem yang sangat krusial. Sebagian diantarnya adalah problem etimologis, dan sebagian lainnya adalah problem metodologis, dan lainnya adalah problem teologis, sehingga ketika diimplementasikan dalam kehidupan nyata secara apa adanya jelas justru akan menimbulkan problem-problem yang berlawanan secara diametral dengan tujuan-tujuan yang semulaingin dicapai. Sehingga yang terjadi adalah intoleran dan bukan toleran, pemaksaan dan bukan kebebasan, kezaliman dan bukan keadilan, dan lain sebagainya. Oleh karna itu gagasan ini adalah problem itu sendiridaripada soslusi.
Kemudian adapun tentang gagasan radikalisme agama yang tadi sudah coba diurai melalui pedekatan tiga tradisi Agama yakni Islam, Katolik, dan Protestan terlihat jelas berbeda dari sisi sejarahnya dan respons kemunculannya, namun ada juga kemiripannya. Namun, meski terlihat terdapat kemiripan sekaligus perbedaan  dalam masing-masing kasus, gerakan radikalisme/fundamentalisme dalam Islam, Katolik dan Protestan menampakan karakteristk umum yang berlaku bagi seluruhnya diantaranya yang menonjol adalah kecenderunagan harfiah dalam memahami ajaran agama atau teks suci. Kaum radikalis juga memiliki sikap teguh bahkan cenderung tidakmau kompromi dalam memegang kebenaran yang diyakini.sikapini pada saat yang sama dibarengi dengan sikap emosional dalam menyikapi perbedaan. Bebrapa kasus menunjukan bahwa bentrokan antara kaum radikalis dan ‘mainstream’ sering mengakibatkan timbulnya kekerasan. Ksamaan karkteristik ini menunjukan bahwa istilah radikalisme atau fundamentalisme tetap dapat dijadikn sebagai titik tolak dalam memahamifenomena keagamaan tertentu. Akan tetapi, perbedaan, kekhususan dan detil dari masing-masing kasus tetap harus dipertimbangkan. Dengan cara ini terbuka peluang untukmencapai sebuah pemahaman yang tidak menggeneralisasi keuniakn suatu peristiwa.   

   Daftar Pustaka
Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo. Radikalisem Agama. Jakarta: PPIM, 1998.
Edited by C.T. Onions. Oxford English Dictionary. Oxford: The Clarendon Press, 1933
Malik Thoha, Anis. Tren Pluralisme Agama. Jakarta: Gema Insani, 2006.














[1] Edited by C.T. Onions. Oxford English Dictionary. (Oxford: The Clarendon Press, 1933), h. ...
[2] Anis Malik Thoha. Tren Pluralisme Agama. (Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 13-14
[3] Anis Malik Thoha. Tren Pluralisme Agama. (Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 15
[4]  Anis Malik Thoha. Tren Pluralisme Agama. (Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 51
[5] Anis Malik Thoha. Tren Pluralisme Agama. (Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 70
[6]Anis Malik Thoha. Tren Pluralisme Agama. (Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 90
[7]Anis Malik Thoha. Tren Pluralisme Agama. (Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 111
[8] Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo. Radikalisem Agama. (Jakarta: PPIM, 1998), h. xvi
[9]Tarmizi Taher, ed. Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo. Radikalisem Agama. (Jakarta: PPIM, 1998), h. 41
[10]Tarmizi Taher, ed. Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo. Radikalisem Agama. (Jakarta: PPIM, 1998), h. 42
[11] Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo. Radikalisem Agama. (Jakarta: PPIM, 1998), h. xxiii
[12] Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo. Radikalisem Agama. (Jakarta: PPIM, 1998), h. xxiv

1 komentar:

  1. PESAN IMAM MAHDI MENYERU UNTUK PARA IKHWAN
    BENTUKLAH PASUKAN MILITER PADA SETIAP ZONA ISLAM
    SAMBUTLAH UNDANGAN PASUKAN KOMANDO BENDERA HITAM
    Negara Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu

    Untuk para Rijalus Shaleh dimana saja kalian berada,
    bukankah waktu subuh sudah dekat? keluarlah dan hunuslah senjata kalian.

    Dengan memohon Ijin Mu Ya Allah Engkaulah Pemilik Asmaul Husna, Ya Dzulzalalil Matien kami memohon dengan namaMu yang Agung
    Pemilik Tentara langit dan Bumi perkenankanlah kami menggunakan seluruh Anasir Alam untuk kami gunakan sebagai Tentara Islam untuk Menghancurkan seluruh Kekuatan kekufuran, kemusyrikan dan kemunafiqan yang sudah merajalela di muka bumi ini hingga Dien Islam saja yang berdaulat , tegak perkasa dan hanya engkau saja Ya Allah yang berhak disembah !

    Firman Allah: at-Taubah 38, 39
    Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu jika dikatakan orang kepadamu: “Berperanglah kamu pada jalan Allah”, lalu kamu berlambat-lambat (duduk) ditanah? Adakah kamu suka dengan kehidupan didunia ini daripada akhirat? Maka tak adalah kesukaan hidup di dunia, diperbandingkan dengan akhirat, melainkan sedikit
    sekali. Jika kamu tiada mahu berperang, nescaya Allah menyiksamu dengan azab yang pedih dan Dia akan menukar kamu dengan kaum yang lain, sedang kamu tiada melarat kepada Allah sedikit pun. Allah Maha kuasa atas tiap-tiap sesuatu.

    Berjihad itu adalah satu perintah Allah yang Maha Tinggi, sedangkan mengabaikan Jihad itu adalah satu pengingkaran dan kedurhakaan yang besar terhadap Allah!

    Firman Allah: al-Anfal 39
    Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi, dan jadilah agama untuk Allah.

    Peraturan dan undang-undang ciptaan manusia itu adalah kekufuran, dan setiap kekufuran itu disifatkan Allah sebagai penindasan, kezaliman, ancaman, kejahatan dan kerusakan kepada manusia di bumi.
    Ketahuilah !, Semua Negara Didunia ini adalah Negara Boneka Dajjal

    Allah Memerintahkan Kami untuk menghancurkan dan memerangi Pemerintahan dan kedaulatan Sekular-Nasionalis-Demokratik-Kapitalis yang mengabdikan manusia kepada sesama manusia karena itu adalah FITNAH

    Firman Allah: al-Hajj 39, 40
    Telah diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi, disebabkan mereka dizalimi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa untuk menolong mereka itu. Iaitu
    orang-orang yang diusir dari negerinya, tanpa kebenaran, melainkan karena mengatakan: Tuhan kami ialah Allah

    Firman Allah: an-Nisa 75
    Mengapakah kamu tidak berperang di jalan Allah untuk (membantu) orang-orang tertindas. yang terdiri daripada lelaki, perempuan-perempuan dan kanak-kanak .
    Dan penindasan itu lebih besar dosanya daripada pembunuhan(al-Baqarah 217)

    Firman Allah: at-Taubah 36, 73
    Perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagai mana mereka memerangi kamu semuanya. Ketahuilah bahawa Allah bersama orang-orang yang taqwa. Wahai Nabi! Berperanglah terhadap orang-orang kafir dan munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.

    Firman Allah: at-Taubah 29,
    Perangilah orang-orang yang tidak beriman, mereka tiada mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan tiada pula beragama dengan agama yang benar, (iaitu) diantara ahli-ahli kitab, kecuali jika mereka membayar jizyah dengan tangannya sendiri sedang mereka orang yang tunduk..

    Bentuklah secara rahasia Pasukan Jihad Perang setiap Regu minimal dengan 3 Anggota maksimal 12 anggota per desa / kampung.
    Bersiaplah menjadi Tentara Islam akhir Zaman sebelum anda dibantai oleh Zionis,Salibis,Munafiq dan Musyrikin
    Siapkan Pimpinan intelijen Pasukan Komando Panji Hitam secara matang terencana, lakukan analisis lingkungan terpadu.

    Apabila sudah terbentuk kemudian Daftarkan Regu Mujahid
    ke Markas Besar Angkatan Perang Pasukan Komando Bendera Hitam
    Negara Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu

    Mari Bertempur dan Berjihad dalam Naungan Pemerintah Khilafah Islam, berpalinglah dari Nasionalisme (kemusyrikan)

    email : seleksidim@yandex.com

    Dipublikasikan
    Markas Besar Angkatan Perang
    Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu

    BalasHapus

 
Copyright © 2009 Piush
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Videosmall Flickr YouTube