BREAKING

Kamis, 28 Juli 2011

O p i n i : Subjek dalam Pandangan Dunia Posmodernisme

Oleh Anwar Syueb Tandjung
Ada banyak cara orang mempersoalkan posmodernisme. Dalam kesempatan ini saya tak membahas problematika posmodernisme dengan komprehensif, hanya mengklasifikasikan posmodernisme dan manusia postmodern berdasarkan analisis Yasraf Amir Piliang yang mengatakan bahwa manusia posmodernis itu terbagi dua. Pertama, manusia posmodernis minimalis. Kedua, manusia posmodernis pluralis. (Yasraf Amir Piliang, 2006).
Berbicara masalah manusia posmodern, tidak lepas dari pembicaraan manusia sebagai subjek, yang berrelasi antara diri dengan dunia di sekitarnya. Dalam hal ini saya menggunakan istilah kata “subjek” bukan kata individu. Subjek merupakan kata yang merujuk pada manusia yang hidup dalam masyarakat, di mana manusia sebagai subjek yang dipengaruhi oleh budaya atau diskursus yang ada dalam masyarakat tersebut. Manusia sebagai sujbek ini dalam pemikiran posmodernis ada yang mengatakan subjek yang aktif, juga sebagai subjek yang pasif. Sedangkan istilah “individu”, merupakan istilah yang digunakan para pemikir modern untuk merujuk pada manusia yang idependen sekaligus otonom. Manusia yang terbebas dari pengaruh budaya yang ada dalam masyarakat. Manusia super aktif menentukan sendiri apa yang ia maui. Manusia sebagai penentu apa yang ada dalam dirinya juga penentu dunia yang ada di luar dirinya. Itulah manusia modern. Manusia yang cogito.
Subjek sendiri sebenarnya merupakan konsep yang abstrak tentang relasi dirinya dengan dunia sekitar. Para pemikir posmodernis cenderung ke arah posubjektivitas, yakni “penolakan diri berproses menjadi subjek”. Namun penolakan ini bisa diartikan: pertama, tak ada lagi yang namanya subjek, yang kini terlarut dalam genangan struktur (bahasa, objek, wacana atau citra), dan ini akan menggiring kepada kematian subjek. Para pemikir yang termasuk dalam golongan pertama ini antara lain Derrida, Foucault, Lacan, Deleuze, Boudrillard dan Rorty. Kedua, penolakan dalam pengertian kekuasaan subjek terbatas dalam konsep subjek modern sebagai pusat dunia. Para pemikirnya adalah Heidegger, Gadamer, Ricoeur, Touraine, Giddens dan Bourdieu.
Foucault misalnya, seorang filosof yang merayakan matinya subjek, mengatakan bahwa dunia wacana merupakan dunia yang bisa dimasuki manusia, yang di dalamnya sudah terstruktur relasi kekuasaan tertentu. Dan juga di dalamnya bahasa mereproduksi dirinya sendiri dalam memori, imajinasi dan perhatian. Di sini wacanalah yang berdaulat. Manusia (subjek) tidak punya kekuatan apa-apa dalam dunia wacana ini. Ini berarti manusia postmodern terserap dalam dunia discourse (Yasraf Amir Piling, 2006: 4-5).
Sedangakan Heidegger mengkeritik pemikiran yang mengatakan bahwa kebenaaran itu ada dalam diri subjek (individu). Inilah yang ia kataka sebagai “subjek tertutup”. Tertutup dari kebenaran yang ada di luar dirinya. Dan kemudian dia mengajukan “subjek terbuka”. Subjek yang membuka diri terhadap kebenaran yang ada di luar dirinya. Subjek yang seperti ini berarti subjek yang mempunyai kemampuan atau kapasitas untuk menafsir, sekaligus juga terbuka terhadap dunia yang diinterpretasikannya dalam rangka menemukan eksistensinya yang lebih dalam. Subjek yang seperti ini adalah subjek yang tak hanyut dalam dunia bentukan sosial, dengan berupaya menafsir untuk menemukan dunia eksistensinya yang paling esensi.
Homo Minimalis
Istilah minimalis sering digunakan untuk menyebut suatau perbuatan atau keadaan yang minimal, keadaan yang terjerat dalam perspektif dan visi minimalisme. Minimalisme dalam posmodern adalah suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan kondisi minimalis, dalam artian ia dibangun oleh dasar, determinasi, keberaturan, ketetapan yang minimal. Dalam epistemologi atau ontologi misalnya, tidak memiliki pengetahuan yang universal tentang benar-salah atau baik-buruk. Itulah manusia posmodern minimalis, yang secara umum memiiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Pertama, manusia ironis (homo ironia). Manusia ironis cenderung melihat segala sesuatu baik masalah kebenaran atau kebaikan selalu berada dalam ketidakpastian atau kontingen. Meskipun mereka mempercayai adanya ukuran-ukuran tersendiri dalam moral baik-buruk atau benar-salah, tapi mereka meyakini bahwa ukuran itu sendiri selalu berubah-ubah, kontingen atau tidak tetap. Di sisi lain manusia ironis ini mempunyai tekad yang kuat untuk tetap survive dalam keadaan macam apa pun. Mereka mengabaikan rasionalisme universal. Misalnya dalam situasi gejala konsumerisme yang menggilakan ini, mereka sadar bahwa itu akan menghancurkan, tapi tetap mereka ikut arus itu demi keeksistensian dan kesurvaivan mereka.
Kedua, manusia skizofrenik. Skizifrenik adalah konsep yang mengatakan bahawa manusia itu dalam keadaan diri terbelah (divided self) atau diri jamak (multiple self). Manusia yang tidak memiliki ketetapan dan kontinuitas diri, sehingga mengarah ke ketiadaan ego. Manusia skizofrenik ini sangat merayakan kecairan (fluidity) hasrat, yakni megalir begitu saja keberbagai tempat, keyakinan dan idiologi tanpa ada pengendalian yang tetap. Mereka merayakan kebebasan dan berpindah dari pelepasan hasrat yang satu ke hasrat yang lain, dari keimanan yang semula ke keimanan yang lain. tak akan berhenti untuk selamanya. Karena mereka berada dalam medan deteritorialisasi.
Ketiga, manusia fatalis (homo fatallis). manusia fatalis adalah manusia yang tidak bisa lepas dari dunia objeknya. Manusia yang terkurung-terhisap dalam dunia objek. Manusi fatalis bisa dikatakan sebagai manusia layar. Manusia yang selalu menghadapkan diri dan menghabiskan sebagian besar waktunya pada layar. Seperti kepada televisi, komputer, internet, hp, film atau ATM dan lain-lainnya. Di mana mereka terjerembab dalam logika pembenaran citra sebagai realitas, yang menerima dengan cara tidak keritis terhadap glombang-glombang yang menyerang dirinya dari berbagai arah, dan menerima saja citra-citra seperti; iklan, TV, fashion, dan objek-objek yang lainnya sebagai bentuk eksistensinya dalam rangka memakanai kehidupannya. Itulah yang disebut hidup dalam dunia simulakrum.
Homo Pluralis
Manusia posmodern yang pluralis adalah manusia yang tidak menenggelamkan dirinya di dalam mekanisme (wacana, bahasa, objek dsimbol) di luar dirinya. Merupakan kebalikan dari manusia minimalis. Manusia yang berusaha melakukan revisi atau rekonstruksi terhadap dirinya sebagai subjek atau aktor, dengan mengembangakan dunia yang dialogis, komunikaif, toleran dan intersubjektivitas. Ciri-ciri manusia pluralis sebaggai berikut:
Pertama, manusia dialogis (homo dialogus). Manusia dialogis adalah manusia yang menganggap manusia yang lainnya sebagai patner dialaog untuk saling memahami dan menghormati. Manusia dialogis ini memang lebih mengutamakan pemahaman (verestehen) terhadap yang lain. Ini cara untuk memahami diri, sekaligus untuk membangun dirinya. Manusia dialogis adalah manusia yang menghargai warna-warna, yang berbeda dengan dirinya. Yang menurut Mikhail Bakhti, manusia yang terlibat akatif dalam proses pertarungan sosialnya dengan penghargaannya terhadap keanekaragaman.
Kedua, manusia aktivis. Manusia aktivis diartiakan sebagai manusia yang terlibat dalam segala aktivitas merebut kembali kekuasaan subjek sebagai produsen-aktor. Manusia yang tidak bergantung pada aturan-aturan dan nilai-nilai historis, tapi manusia yang mampu membentuk proses sejarahnya sendiri melalui kreasi-kreasi kultural dan perjuangan sosial dengan melakukan memerangi segala bentuk kontrol terhadap proses perubahan yang lebih otentik. Ketiga, manusia multukulturalis. Manusia yang lebih mengharagai akan perbedaan dengan penyamarataan di depan yang berwajib. Berbeda dengan pluralitas, yang di dalamnya masih mengandaikan atau ada problem minoritas dan mayoritas. Manusia kulturalisme dibangun berdasarkan persamaan, kesetaraan dan keadilan.
Makna dan Relevansinya terhadap Budaya Mahasiswa UIN Jakarta
UIN secara fisik arsitektur, cukup megah dan mewah, yang didesain selain sebagai tempat untuk pendidikan juga untuk konsumtif. Ini bisa kita lihat (maknai) dari tembok-tembok tinggi besar yang mengelilingi seluruh bangunan UIN, terutama kampus satu, yang hanya dikasih satu pintu kecil, di dekat pintu utama (gerbang). Kalau dilihat dari semiotika arsitektur misalnya, ini menjadi wajar jika budaya mahasiswa menjadi cenderung glamour dan konsumtif. Budaya-budaya seperti itu disadari atau tidak, itu dibentuk oleh tempat atau spasialitas yang kita tempati. Seperti yang dikatakan Aart van Zoest bahwa “bukan tidak mungkin, daya tanggap kita ditentukan oleh kondisi ruang. Data ruang yang mengelilingi kita setidaknya memberikan kita sebagian besar bahan yang kita pakai dalam kehidupan mental kita: kondisi ruang yang menampilkan diri pada kita sangat menentukan sikap dan reaksi-reaksi intelektual dan emosional kita”. (Aart van Zoest, 1993: 103).
Pada awalnya sebuah ruang dibentuk oleh sosialitas (manusia), tapi lama kelamaan spasialitas itu sendiri yang berbalik membentuk sosialitasnya. Seperti yang ditegaskan Dr. Fransisco Budi Hardiman bahwa “Ruang selalu adalah “ruang untuk” dan merupakan produk sosial; namun elit dominan memproduksi “ruang untuk” yang akan menstrukturasi bentuk-bentuk sosialitas. Mereka adalah desainer sosial”. (F. Budi Hardiman, 2009). Jadi jelas bahwa apa pun relitas yang ada, yang termanifestasi dalam pola kehidupan mahasiswa UIN merupakan wujud manifestasi dari ruang atau spasialitas yang ditempati itu sendiri. Yang pada akhirnya jadi sebuah budaya atau pola gaya hidup.
Juga pilihan konsumsi macam apa yang dilakukan mahasiswa UIN Jakarta, itu sesuai dengan selera dan pola macam bagaimana budaya gaya hidup mereka yang merupakan buah dari konstrukkan spasialitasnya. Seperti yang sudah menjadi budaya populer di kalangan mahasiswa sendiri seperti permainan atau game playstation (PS), facebook (FB), HP, fashion (pakaian ketat, (skinny jeans) kerudung panjang dan baju besar atau baju kurung, nongkrong, hangout atau ngeceng di pusat perbelanjaan. Ini tentu merupakan sebuah pilihan konsumsi dan selera mereka yang dibentuk oleh spasialitas yang ada. (Kita) sebagai subjek ironis, yang meskipun mereka tahu bahwa budaya-budaya tersebut akan membawa teralienasinya “sang diri” sebagai subjek bahkan kehancuran bagi pelakunya, mereka tetap memilih dan menjalankannya. Ini demi ke-eksistensian dan kesurvaivan mereka sendiri terhadap sosialitas yang ada.
Mereka (mahasiswa UIN Jakarta) kabanyakan berada dalam klompok manusia posmodern minimalis. Di mana meskipun sadar akan membahayakan mereka, tapi tetap itu tak bisa ditinggalkannya, karena itu suatu wujud ekspresi untuk menunjukan bahwa dia eksis dan survive (homo ironia). Keyakinan mereka mencair, dari keyakinan yang satu ke keyakinan yang lain, trus dan terus mengalir tak pernah ada kekonsistenan yang langgeng. Bahkan tak lagi mempedulikan norma atau nilai-nilai yang ada dalam sosialitas itu (manusia skizofrenik). Dan dalam kehidupan kesehariannya kebanyakan mereka habiskan dalam dunia layar kaca. Kehidupan normal mereka terserap dalam logikanya, tanpa ada refleksi dan internalisasi dalam rangka membentuk atau memakanai kehidupan yang lebih baik (homo fatalis).
Dalam hal ini, saya memastikan bahwa kematian subjek itu tak akan ada jika sang subjek itu aktif, sekaligus sadar dan merefleksikan kesadarannya dalam dunia nyata (real). Setidaknya menjadi subjek yang mampu memfilter atau menginternalisasi dunia yang ada di luar dirinya saja sudah cukup, kalau tidak bisa menjadi manusia sebagai subjek yang menjadi pusat dunia.

Anwar Syueb T,
Mahasiswa Aqidah Filsafat UIN Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2009 Piush
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Videosmall Flickr YouTube