BREAKING

Selasa, 20 September 2011

Beragama dengan Bebas



Tidak boleh ada paksaan dalam agama. Sungguh telah jelas (berbeda) kebenaran dari kesesatan. Maka, barang siapa yang kafir (menolak) tirani dan beriman kepada Tuhan, maka sungguh dia telah berpegang pada tali yang teguh yang tidak akan terlepas. Tuhan Maha Mendengar dan Maha Mengetahui (Al Baqarah. 2:256).
Setiap ulama’ Islam pasti mengetahui ayat ini, dan tentunya juga memahami bahwa dalam ayat tersebut ada prinsip tidak ada paksaan dalam beragama. Dalam ayat ini disebutkan bahwa tidak diperbolehkannya memaksakan suatu agama dikarenakan manusia dinilai mampu dan harus diberi kebebasan dalam menentukan agamanya. Ini berarti bahwa Tuhan telah menganggap manusia saat ini telah dewasa untuk memilih jalan bagi hidupnya untuk menuju kepada Kebenaran.
Karena “kepercayaan” Tuhan inilah, maka Dia tidak lagi mengirim Utusan dan Rasul yang menuntun mereka kepada Kebenaran. Utusan dan Rasul-Nya telah ditutup dengan kedatangan Muhammad SAW Rasul terakhir-Nya. Dan hari ini, manusia diserahi tanggung jawab untuk menangkap pesan dan nilai-nilai pokok yang ada dalam ayat-ayat Tuhan yang disebarkan oleh Nabi penutup tersebut secara “kreatif”. Hal ini tersirat pada penggalan ayat di atas “Sungguh telah jelas (berbeda) kebenaran dari kesesatan”.
Alasan kedua dari tidak diperbolehkannya paksaan dalam agama adalah memaksakan kehendak kepada orang lain kepada orang lain tanpa memberikan peluang untuk mempertimbangakan hal tersebut dengan akal sehatnya. Dan ini sangat identik dengan sikap tiranik yang dalam al Quran disebut Thughyân yang dari kata tersebut diambil kata Thâghût (orang yang berbuat tiranik). Karena dalam sikap tiranik, tersirat pandangan bahwa diri sendiri benar, sedangkan yang elain dirinya adalah salah (memutlakkan diri sendiri).
Padahal, jika kita menyatakan diri beriman kepada Tuhan (syahadat) maka kosekuensi yang harus kita tanggung adalah pengakuan secara sadar bahwa tidak ada satupun selain Tuhan yang memiliki sifat Mutlak (tidak terbatas) dan semua selain daripada-Nya adalah nisbi (terbatas). Karena Tuhan adalah dimensi yang memungkinkan adanya dimensi-dimensi lain; Dia memberikan arti dan kehidupan bagi segala sesuatu. Dia Serba Meliputi, yang secara harfiah dapat diartikan bahwa Dia-lah yang Tak Terhingga. Dalam kehidupan, segala sesuatu selain dari Tuhan, terlihat tanda keterhinggaannya, dan tanda bahwa ia adalah ciptaan Tuhan. Hal ini sejalan dengan Kitab Suci Tuhan, dalam surat al Ikhlâs ayat 4.
Firman Tuhan tersebut semakin memperjelas bahwa sikap hidup tiranik bertentangan dengan sikap hidup beriman kepada Tuhan. Dan karena itu pula, sikap memaksa-maksa sangat tidak relevan dengan kata Iman kepada Tuhan. Karena, iman kepada Tuhan akan menghasilkan moderasi atau sikap ”tengah” (sikap adil) dan tanpa ekstremitas (al ghuluww). Iman kepada Tuhan, akan melahirkan sikap yang selalu menyediakan ruang bagi akal untuk mempertimbangkan dan membuat penilaian terhadap berbagai persoalan secara jujur dan fair. Dalam hal ini pun, Nabi diingatkan oleh Tuhan yang terekam dalam al Qur’an surat Yunus ayat 99. “Kalau seandainya Tuhanmu menghendaki, tentu berimanlah semua manusia di bumi. Maka apakah engkau (Muhammad) akan memaksa manusia hingga mereka menjadi orang-orang yang beriman semua” (Yunus, 10:99)
Maka dari itu, prinsip kebebasan beragama merupakan sebuah kehormatan bagi manusia dari Tuhan, karena Tuhan telah “mengakui” hak manusia untuk mencari, memilah dan memilih sendiri jalan hidupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2009 Piush
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Videosmall Flickr YouTube